Oleh : Sugimin
(Guru Kewirausahaan SMK N 2 Sragen)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh
perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat.
Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan sikap dan perilaku kewirausahaan
sasaran didik, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan
profesional. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja.
Dari lain, secara historis masyarakat kita memiliki sikap feodal yang diwarisi
dari penjajah Belanda, ikut mewarnai orientasi pendidikan kita. Sebagian besar
anggota masyarakat mengaharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab dalam
pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang
memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh warga masyarakat.
Lengkaplah sudah, baik pendidik, institusi pendidikan, maupun masyarakat,
memiliki persepsi yang sama terhadap harapan ouput pendidikan. Orang jawa
bilang “koyo tumbu oleh tutup”.
Berbeda dengan di negara maju, misalkan Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat bahwa sejak 1983 telah merasakan pentingnya pendidikan
kejuruan (Schrag dan Poland, 1987). Pendidikan kejuruan yang dikembangkan diarahkan pada usaha memperbaiki
posisi Amerika dalam persaingan ekonomi dan militer. Pendidikan kejuruan
khususnya yang berkenaan dengan pendidikan bisnis, dikatakan bahwa dapat
dilakukan pada setiap level pendidikan, baik pada level Sekolah Dasar; Sekolah
Menengah; maupun di perguruan tinggi. Pendidikan bisnis di Amerika meliputi,
pendidikan pekerja kantor, distribusi dan pemasaran, dan pemahaman ilmu
ekonomi.
Lebih lanjut Scharg
dan Poland (1987), mengatakan bahwa pendidikan Bisnis menyiapkan siswa untuk
masuk dalam pekerjaan bisnis secara mahir, yang sama pentingnya, menyiapkan
siswa untuk memimpin persaingan binis yang mereka miliki, dan sebagai konsumer
yang pandai serta sebagai warga negara yang pandai dalam ilmu ekonomi bisnis.
Dari batasan batasan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan bisnis di Amerika
di arahkan kepada: 1) menyiapkan siswa sebagai pekerja yang cakap dalam dunia
bisnis; 2) menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis yang handal; 3) meneyiapkan
siswanya sebagai konsumen yang rasional; 4) mengusahakan siswanya untuk
menguasai ilmu ekonomi bisnis. Dalam kaitannya dengan menyiapkan siswa sebagai
pelaku bisnis, tidak lepas dengan penciptaan wirausahawan.
Schumpeter,
sebagaimana dikutip Bygrave (1996) dalam Entrepreneurship, mengatakan seorang
wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi
untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedang Drucker (1996), mengatakan bahwa
wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai
peluang. Oleh karena itu, dapatlah kita katakan bahwa seorang entrepeneur
adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut
peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara
menyusun suatu organisasi. Sebagai suatu proses kewirausahaan menyangkut segala
fungsi, aktivitas, dan tidakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan
penciptaan organisasi untuk mengejarnya (Bygrave, 1996). Karena itu, jika
pendidikan binis memiliki misi melaksanakan pendidikan wirausahawan, maka sudah
selayaknya kurikulum dan stretegi pembelajarannya mengalami perubahan dan
penyesuaian. Melihat karakter wirausahawan di atas, kelihatannya sulit
pembentukan wirausahawan tercapai, manakala proses pembelajarannya tetap
mempergunakan strategi yang boleh dikata “klasik”.
Menurut Scharg et. al.
(1987) wirausahawan merupakan hasil belajar. Meskipun jiwa wirausahawan mungkin
juga diperoleh sejak lahir sebagai bakat, namun jika tidak diasah melalui
belajar dan dimotivasi dalam proses pembelajaran, mungkin laksana pisau yang
tumpul. Untuk mempertajam minat dan kemampuan wirausahawan perlu
ditumbuh-kembangkan memalui proses belajar dan pembelajaran. Di sinilah letak
dan pentingnya pendidikan wirausahawan dalam pendidikan bisnis.
Terlepas dari tersebut
di atas, sebenarnya sejak awal abad 19 Schumpeter (Budiono, 1999; Jinghan,
1999; Todaro, 1997) dalam teori pertumbuhan ekonominya telah mengatakan, bahwa
di samping stok kapital dan teknologi telah membawa pertumbuhan ekonomi, satu
hal lain yang tidak kalah penting adalah wirausahawan. Ia berpendapat, bahwa di
dunia telah muncul pioner-pioner pertumbuhan ekonomi, yang dengan keahlian dan
kreativitasnya pertumbuhan ekonomi telah berkembang, yakni wirausahawan. Banyak
bermunculan wirausahawan kelas dunia telah lahir, yang dapat melakukan
perubahan tatanan perekonomian dunia. Selanjutnya ia berpendapat bahwa di
negara sedang berkembang umumnya kekurangan tenaga wirausahawan (Jinghan, 1999;
Todaro 1997).
Sebagai negara sedang
berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal ini dapat
dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum menunjang kebutuhan
pembangunan sektor ekonomi. Perhatikan, hampir seluruh sekolah masih didominasi
oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Mengapa hal itu
dapat terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang
mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan pemerintah
yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat, misalkan kebijakan harga
maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang tidak mendidik perilaku
ekonomi masyarakat.
Sejalan dengan kurangnya
wirausahawan di negara kita, pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk
menemukan model hipotetis yang mungkin dapat diterapkan pada program pendidikan
bisnis melalui pembelajaran yang menumbuhkan sekaligus mengembangkan sikap
positif terhadap wirausahawan, dengan harapan bahwa di kemudian hari banyak
tumbuh wirausahawan baru yang dapat mendukung program pembangunan ekonomi di
Indonesia. Dengan catatan, bahwa kebijakan pemerintah diasumsikan dapat
menunjang kebijakan pendidikan wirausahawan.
B. Tujuan Penulisan
Secara umum karya ilmiah ini ditujukan untuk
menganalisis dan menguji apakah pengimplementasian improving learning dengan teknik inquiri dapat meningkatkan
keaktifan siswa yang secara langsung juga akan meningkatkan hasil belajar
siswa.
Secara khusus tujuan dari karya ilmiah ini adalah :
1. Menganalisis Pembelajaran Kewirauahaan di
SMK melalui Improving Learning dengan
teknik inquiri untuk Menumbuhkan Sikap Wirausahawan.
2.
Menganalisis Pembelajaran
Kewirauahaan di SMK melalui Improving
Learning dengan teknik inquiri untuk Menumbuhkan Sikap Wirausahawan melalui
peran aktif siswa dalam proses pembelajaran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pembelajaran
1. Pengertian pembelajaran
Gagne (dalam Hidayat dkk 1990
: 2 ), belajar adalah suatu proses yang terjadi secara bertahap (episode).
Episode tersebut terdiri dari informasi, transformasi, dan evaluasi. Informasi
menyangkut materi yang akan diajarkan, transformasi berkenaan dengan proses
memindahkan materi, dan evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
melihat sejauh mana keberhasilan proses yang telah dilakukan oleh pembelajar
dan pengajar.
Pusat Kurikulum Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi siswa dan guru
urituk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan “tahu” terhadap
pengetahuan dan pada akhirnya “mampu” untuk melakukan sesuatu. Prinsip dasar
KBM adalah memberdayakan semua potensi yang dimiliki siswa sehingga mereka akan
mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu
yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk berpikir logis,
kritis, dan kreatif ( 2006 ).
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan, yaitu pengertian belajar dan kegiatan belajar mengajar maka
terdapat istilah yang relevan sesuai dengan perkembangan pendidikan sekarang
yaitu pembelajaran. Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta
didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang
hayat seorang manusia serta berlaku di manapun dan kapanpun ( Wikipedia : 2007
).
2. Jenis-jenis Pembelajaran
a. Pemecahan Masalah
Pemecahan
masalah berarti tindakan memberi respon terhadap suatu masalah untuk menekan
akibat buruknya atau memanfaatkan peluang keuntunganya.
Pemecahan
masalah adalah suatu tindakan (action)
yang dilakukan guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan
yang ada pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses
pemecahannya.
b. Lembar Kerja (LK)
LK
merupakan salah satu cara dan variasi agar siswa dapat lebih aktif selama
proses pembelajaran. LK adalah lembaran duplikat yang dibagikan guru kepada
tiap siswa di suatu kelas untuk melakukan kegiatan/aktivitas belajar mengajar.
c. Suatu Studi Kasus: Model Missouri
Mathematics Project (MMP)
MMP adalah
model pembelajaran yang memuat langkah-langkah: pendahuluan atau review,
pengembangan, latihan dengan bimbingan guru, kerja mandiri dan penutup (membuat
rangkuman pelajaran, membuat renungan tentang hal-hal baik yang sudah dilakukan
serta hal-hal kurang baik yang harus dihilangkan).
d. NHT (Mumbered
Heads Together)
NHT
merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif (cooperative learning), yaitu suatu metode belajar dimana setiap
siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru
memanggil nomor dari siswa.
e. Pendekatan Improving learning
Improving learning adalah pembelajaran yang di dalamnya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif belajar dan lebih memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berkomunikasi kewirausahaan. Sifat
pembelajarannya dengan “mengalami” atau dengan “melakukan”, istilah itu
digunakan untuk rangkaian pendekatan belajar berdasarkan kegiatan termasuk
eksperimen, main peran, metode “penemuan” dan diskusi.
Pendekatan
secara umum memiliki arti yang sangat kompleks. Dalam Wikibooks Indonesia
(2007) dikatakan bahwa Pendekatan adalah suatu upaya penyederhanaan masalah
sampai batas-batas tertentu sehingga masih dapat ditoleransi untuk memudahkan
penyelesaiannya. Upaya ini digunakan hampir dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan di mana suatu masalah baru umumnya diselesaikan dengan menggunakan
modifikasi cara pemecahan yang telah diketahui bagi permasalahan lain.
Basis pendekatan
yang telah diubah terhadap pengajaran dan pembelajaran adalah bahwa pemikir
dunia pendidikan dalam perempat abad 20 terakhir memusatkan perhatiannya agar
para siswa dapat belajar dengan berhasil dalam konteks pembelajaran yang baru.
Piaget (dalam Hamzah, 2001:6) menyatakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan
kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri
merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan
keadaan keseimbangan.
Improving Learning pertama kali dikembangkan oleh Glover Law, beliau
orang Amerika. Improving Learning dikembangkan di Indonesia bertujuan untuk
membuat proses pembelajaran menjadi efesien, efektif dan menyenangkan. Atau
dalam masyarakat sering dikenal dengan pembelajaran yang lebih aktif. Improving
lebih menekankan pada hasil yang dicapai, bukan metode yang digunakan. Selain itu
improving learning cenderung didasarkan pada keaktifan siswa. Jadi improving
learning adalah model perbaikan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk lebih aktif dan lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berkomunikasi matematik.
Teori
belajar Improve memandang anak
sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui
interaksi dengan lingkungan. Guru yang dipandang sebagai fasilitator dalam
proses pembelajaran, sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima
pelajaran, termasuk memilih metode yang tepat dan sesuai dengan tahap
perkembangan anak.
Ruseffendi
(1988: 133) mengemukakan tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga
disebut tahap perkembagan mental, yaitu (1) perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster
dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis
dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Dalam
kaitannya dengan pembelajaran kewirausahaan, guru seharusnya mengetahui hakikat
kewirausahaan itu sendiri, hakikat anak dan cara mengajarkan kewirausahaan
menurut teori yang diterapkan. Menurut teori belajar Improve, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu
saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif
secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif
yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol
kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak
guru (Hamzah, 2001 : 6).
West-Burnham
(1992), mengidentifikasi pendekatan improving learning yang sifat
pembelajarannya lewat “mengalami” atau dengan melakukan. Ia memberikan
pemeri-pemeri mengenai kisaran guru dari “guru pengajar” ke “guru-fasilitator”,
dan kisaran siswa dari “yang pembudak” ke “siswa yang belajar secara aktif”.
Kemampuan menfasilitasi siswa-siswa pelajar aktif tercermin dalam pendekatan
yang dibuat terhadap pengajaran dan dalam menggunakan ketrampilan berpikir
pendukung sebagai basis perencanaan pelajaran.
Untuk
melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan Improve
ini digunakan teknik Inquiry. Menurut buku Making The PYP Happen yang
diterjemahkan oleh Gatut Samuel ( 2004 : 78-80 ) berpendapat bahwa pembelajaran
unit berdasarkan inquiri merupakan point penting dalam belajar kewirausahaan
dimana siswa akan mengalami seakan berfikir dan bertindak sebagai ahli kewirausahaan.
Siswa dan guru mengidentifikasi bersama apa yang mereka sudah ketahui yang
relevan dengan inquirinya, apa yang ingin mereka ketahui, apa yang perlu mereka
ketahui untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan bagaimana cara terbaik
untuk menemukan jawabannya.
Peaget
(dalam Mulyasa, 2005 : 108) menyatakan inquiry merupakan teknik yang
mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri
secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan
penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta
didik lainnya. Inquiry sebagai teknik pengajaran mengandung arti bahwa dalam
proses kegiatan berlangsung mengajar harus dapat mendorong dan dapat memberi
kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dalam belajar. Adapun langkah-langkah
pelaksanaanya:
1) Membina suasana yang responsif diantara
siswa. Penjelasan arti dan proses Improve
dengan menggunakan Inquiry.
2) Mengemukakan permasalahan untuk di Inquiry
(ditemukan) melalui cerita, film, gambar dan sebagainya, kemudian mengajukan
pertanyaan kearah mencari, merumuskan dan memperjelas permasalahan dari cerita
atau gambar.
3) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
siswa. Mengajukan pertanyaan yang bersifat mencari atau mengajukan informasi
atas data tentang masalah tersebut.
4) Merumuskan hipotesis (asumsi atau perkiraan
yang merupakan jawaban dari permasalahan tersebut). Perkiraan jawaban ini akan
terlihat tidaknya setelah pengumpulan data dan pembuktian data. Siswa mencoba
merumuskan hipotesis permasalahan tersebut. Guru membantunya dengan pertanyaan
pancingan.
5) Menguji hipotesis. Guru mengajukan
pertanyaan yang bersifat meminta data untuk pembuktian hipotesis.
6) Pengambilan kesimpulan. Perumusan
kesimpulan ini dilakukan oleh guru dan siswa.
3. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
a. Pengertian
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997: 17) aktivitas diartikan sebagai keaktifan,
kegiatan, kesibukan. Kata aktivitas berasal dari bahasa Inggris dari kata
activity yang berarti kegiatan (Budiono, 1998: 13). Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Kontemporer disebut aktivitas berasal dari kata kerja yang
berarti giat, rajin, selalu berusaha, bekerja atau belajar dengan
sungguh-sungguh supaya mendapat prestasi yang gemilang.
Keaktifan
peserta didik dalam menjalani proses belajar mengajar merupakan salah satu
kunci keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan Aktivitas merupakan asas yang
terpenting dari asas-asas didaktik karena belajar sendiri merupakan suatu
kegiatan dan tanpa adanya kegiatan tidak mungkin seseorang belajar. Aktivitas
sendiri tidak hanya aktivitas fisik saja tetapi juga aktivitas psikis.
Aktivitas fisik adalah peserta didik giat-aktif dengan anggota badan, membuat
sesuatu, bermain ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk dan mendengarkan,
melihat hanya pasif. Sedangkan aktivitas psikis adalah peserta didik yang daya
jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka
pengajaran (Ahmad Rohani, 2004: 6).
Dalam
konsep belajar aktif pengetahuan merupakan pengalaman pribadi yang
diorganisasikan dan dibangun melalui proses belajar bukan merupakan pemindahan
pengetahuan yang dimiliki guru kepada anak didiknya. Sedangkan mengajar
merupakan upaya menciptakan lingkungan agar siswa dapat memperoleh pengetahuan
melalui keterlibatan secara aktif dalam kegiatan belajar. Menurut Piaget
(Pardjono, 2001: 2006), ada 4 prinsip belajar aktif, yaitu: (1) siswa harus
membangun pengetahuannya sendiri, sehingga bermakna, (2) cara belajar yang
paling baik adalah jika mereka aktif dan berinteraksi dengan objek yang
konkrit, (3) belajar harus berpusat pada siswa dan bersifat pribadi, (4)
interaksi sosial dari kerjasama harus diberi peranan penting dalam kelas.
Jadi dalam
proses belajar mengajar, siswalah yang harus membangun pengetahuannya sendiri.
Sedangkan guru berperan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung
bagi terciptanya pembelajaran yang bermakna. Siswa (peserta didik) harus
mengalami dan berinteraksi langsung dengan objek yang nyata. Jadi belajar harus
dialihkan yang semula berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Dan karena sekolah merupakan sebuah miniator dari masyarakat maka
dalam proses pembelajaran harus terjadi saling kerjasama dan interaksi antar
berbagai komponen yang terbaik. Pendidikan modern lebih menitik beratkan pada
aktivitas sejati, dimana siswa belajar dengan mengalaminya sendiri pengetahuan
yang dia pelajari. Dengan mengalaminya sendiri, siswa memperoleh pengetahuan
pemahaman dan ketrampilan serta perilaku lainnya, termasuk sikap dan nilai.
b.
Beberapa
Aktivitas Siswa
Pendidikan
saat ini menghendaki peranan aktivitas siswa dalam kegiatan interaksi dalam
pembelajaran. Hal ini tidak berarti guru pasif atau tidak aktif dalam
pembelajaran berlangsung, tetapi guru berperan sebagai pembimbing dan
fasilitator agar siswa menjadi lebih aktif dan kreatif belajar.
Herman
Handoyo (dalam Rias, 1988 : 121-123) mengklasifikasikan aktivitas belajar atau
yang menurutnya disebut aktivitas intelektual siswa, seperti pada uraian di
bawah ini :
Pertama,
menguji. Pada waktu guru memberikan materi, guru hendaknya melibatkan
intelektual siswa yaitu dengan menguji dan eksplorasi situasi. Maksud dari
kegiatan ini adalah untuk mengabstraksi dan menemukan. Mengabstraksi berarti
mengidentifikasi esensi dari bentuk atau struktur dari hal yang diketahui
sedangkan menemukan berarti menghasilkan sesuatu yang dianggap baru dengan
menggunakan lmajinasi, pikiran atau eksperimen.
Kedua,
mengungkapkan. Aktivitas ini mengharapkan siswa dapat menghasilkan kata,
kalimat, bagan atau table dengan menggunakan symbol yang sesuai dengan situasi
masalahnya. Ini merupakan proses belajar untuk mengkonstruksi model – model kewirausahaan
dari situasi masalah yang dihadapi.
Ketiga,
membuktikan. Apabila siswa sudah berhasil merumuskan sesuatu, mereka perlu
membuktikan berdasarkan argument atau alas an yang terstruktur.
Keempat, mengaplikasikan
masalah. Konsep dan prosedur yang telah diketahui perlu diaplikasikan kesituasi
baru. Dalam mengaplikasikan mungkin siswa harus dapat mengabstraksikan.
Kelima,
menyelesaikan masalah. Dari suatu masalah komplek yang dihadapai namun belum
pernah diselesaikan, seorang siswa harus menyelesaikan dngan konsep atau
teorema serta prosedur yang telah dikuasai.
Keenam,
mengkomunikasikan. Aktivitas ini berupa pertukaran informasi diantara siswa,
masing – masing dengan menggunakan symbol yang ama. Para siswa harus mendapat
kesenpatan untuk menyatakan gagasan kewirausahaannya secara verbal dan
tertulis, mengkomprehensikan dan menginterpretasikan gagasan – gagasan yang
nyatakan siswa lain.
Klasifikasi
aktivitas belajar dari Herman Hudoyo di atas menunjukkan bahwa aktivitas dalam
pembelajaran cukup kompleks dan bervariasi. Aktivitas disini tidak hanya
terbatas pada aktivitas jasmani saja yang dapar secara langsung diamati tetapi
juga meliputi aktivitas rohani.
c. Dampak Aktivitas Siswa
Dalam
belajar sangat diperlukan adanya suatu aktivitas sebab pada prinsipnya belajar
adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku menjadi kegiatan. Tidak
akan ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan
prinsip atau dasar yang sangat penting dalam interaksi belajar mengajar.
Aktivitas tersebut tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja oleh siswa, tetapi
juga harus dilakukan di luar kelas, kapanpun, dimanapun agar mendapat prestasi
yang baik. Biasa melakukan, seperti halnya aktif mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan oleh guru, rajin belajar setiap waktu tanpa ada harus menunggu
disuruh, rajin membaca buku-buku yang berkaitan dengan materi yang disampaikan
oleh guru, rajin mencoba mengerjakan soal-soal yang terdapat didalam buku, dan
juga melakukan aktivitas lainnya untuk meningkatkan prestasi.
Kecenderungan
dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai
dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri.
Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, belajar hanya mungkin terjadi
apabila anak aktif sendiri. Bruner (dalam Erizal Gani, 2003) mengemukakan bahwa
belajar adalah suatu proses yang terjadi secara bertahap (episode). Episode
tersebut terdiri dari informasi, transformasi, dan evaluasi. Informasi
menyangkut materi yang akan diajarkan, transformasi berkenaan dengan proses
memindahkan materi, dan evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
melihat sejauh mana keberhasilan proses yang telah dilakukan oleh pembelajar
dan pengajar.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri, tanpa adanya
aktivitas, maka proses belajar tidak mungkin terjadi. Jadi jelas bahwa dalam
kegiatan belajar, siswa yang sebagai subyek haruslah aktif berbuat. Dengan kata
lain bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas, tanpa aktvitas,
belajar tidak akan mungkin berlangsung dengan baik.
4. Hubungan Aktivitas dan Prestasi Belajar
Dalam
proses belajar yang sedang berlangsung di kelas melibatkan siswa dan menuntut
siswa untuk melakukan aktiviatas belajar. Para siswa dituntut untuk mendengar,
memperhatikan, dan mencerna pelajaran yang disampaikan oleh guru. Selain itu
siswa juga harus aktif bertanya kepada guru tentang hal-hal yang belum jelas.
Siswa harus lebih kritis, kreatif lebih perhatian dalam menerima pelajaran atau
materi yang disampaikan oleh guru. Begitu juga sebaliknya guru juga harus
memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa dan juga harus dapat menciptakan
suasana belajar dalam kelas yang menimbulkan aktivitas siswa sehingga akan
tercipta prose belajar mengajar yang baik dan akan menyebabkan interaksi di
dalam kelas yang dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi didiknya.
Aktivitas
merupakan hal yang sangat penting dalam peningkatan prestasi belajar siswa,
karena di dalam proses kegiatan belajar mengajar tanpada adanya suatu keaktifan
siswa, maka belajar tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Siswa yang aktif
dalam belajar akan mendapatkan prestasi yang baik dibandingkan siswa yang
kurang aktif di dalam belajar. Dengan demikian aktivitas siswa sangat
diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar karena segala sesuatu tidak akan
tercapai secara maksimal bila setiap individu tidak aktif dalam melaksanakan
suatu kegiatan.
B.
Pengertian Inkuiri
Model inkuiri didefinisikan oleh Piaget
(Sund dan Trowbridge, 1973) sebagai: Pembelajaran yang mempersiapkan situasi
bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri; dalam arti luas ingin melihat apa
yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbul-simbul dan
mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu
dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan yang
ditemukan orang lain.
Kuslan Stone (Dahar,1991) mendefinisikan
model inkuiri sebagai pengajaran di mana guru dan anak mempelajari
peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala ilmiah dengan pendekatan dan jiwa para
ilmuwan.
Pengajaran berdasarkan inkuiri adalah
suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok-kelompok siswa
dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang
digariskan secara jelas (Hamalik, 1991).
Wilson
(Trowbridge, 1990) menyatakan bahwa model inkuiri adalah sebuah model
proses pengajaran yang berdasarkan atas teori belajar dan perilaku. Inkuiri
merupakan suatu cara mengajar murid-murid bagaimana belajar dengan menggunakan
keterampilan, proses, sikap, dan pengetahuan berpikir rasional (Bruce &
Bruce, 1992). Senada dengan pendapat Bruce & Bruce , Cleaf (1991) menyatakan
bahwa inkuiri adalah salah satu strategi yang digunakan dalam kelas yang
berorientasi proses. Inkuiri merupakan sebuah strategi pengajaran yang berpusat
pada siswa, yang mendorong siswa untuk menyelidiki masalah dan menemukan
informasi. Proses tersebut sama dengan prosedur yang digunakan oleh ilmuwan
sosial yang menyelidiki masalah-masalah dan menemukan informasi.
Sementara itu, Trowbridge (1990)
menjelaskan model inkuiri sebagai proses mendefinisikan dan menyelidiki
masalah-masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, menemukan data,
dan menggambarkan kesimpulan masalah-masalah tersebut. Lebih lanjut, Trowbridge
mengatakan bahwa esensi dari pengajaran inkuiri adalah menata
lingkungan/suasana belajar yang berfokus pada siswa dengan memberikan bimbingan
secukupnya dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah.
Senada dengan pendapat Trowbridge, Amien
(1987) dan Roestiyah (1998) mengatakan bahwa inkuiri adalah suatu perluasan
proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan
pada proses discovery, inkuiri mengandung proses mental yang lebih tinggi
tingkatannya, misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen, melakukan
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, menumbuhkan
sikap objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Inkuiri adalah suatu kegiatan atau
penelaahan sesuatu dengan cara mencari kesimpulan, keyakinan tertentu melalui
proses berpikir dan penalaran secara teratur, runtut dan bisa diterima oleh
akal. Metode inkuiri merupakan kegiatan belajar mengajar dimana siswa
diharapkan pada suatu keadaan atau masalah untuk kemudian dicari jawaban atau
kesimpulannya. Jawaban atau kesimpulan tersebut belum tentu merupakan pemecahan
atas masalah atau keadaan yang dihadapi. Dapat juga jawaban tersebut hanya
sampai pada tingkat menemukan hal-hal yang menyebabkan timbulnya keadaan atau
masalah tersebut. Dan hal inilah yang membedakan antara metode inkuiri dengan
metode pemecahan masalah (problem solving) yang Iebih menitikberatkan pada
pemecahan masalah yang dihadapi oleh siswa.
Kegiatan inkuiri dapat dilakukan secara
perorangan, kelompok ataupun seluruh kelas (klasikal), baik dilakukan di dalam
kelas ataupun di luar kelas. Inkuiri dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti diskusi antar siswa, tanya jawab antar guru dengan murid, dan
sebagainya. Pelaksanaan metode inkuiri dapat dimaksudkan untuk mencari jawaban
tertentu yang sudah pasti ataupun kemungkinan pilihan (alternatif) jawaban atas
masalah tertentu.
Tujuan dan Manfaat
Penggunaan metode inkuiri bertujuan :
1. Mengembangkan sikap, keterampilan,
kepercayaan siswa dalam memecahkan masalah atau memutuskan sesuatu secara tepat
(obyektif).
2. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa
agar lebih tanggap, cermat dan nalar (kritis, analitis dan logis).
3.
Membina dan mengembangkan sikap
ingin tahu lebih jauh (curiousity).
4.
Mengungkap aspek pengetahuan
(kognitif) maupun sikap (afektif).
Agar kegiatan inkuiri mencapai tujuan (TIK) yang ditentukan, maka
hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Siswa diarahkan kepada pokok
permasalahan yang akan dicari jawabannya atau dipecahkan. Untuk itu guru
hendaknya menjelaskan pokok permasalahannya dan tujuan yang ingin dicapai.
2.
Guru hendaknya memberikan
keleluasaan kepada siswa untuk berdiskusi, mengemukakan kemungkinan pililian
jawaban ataupun bertanya. Guru hanya membatasi agar jangan ke luar dari pokok
pembicaraan.
3.
Guru diharapkan mampu untuk
memberikan pertanyaan pancingan, bilamana siswa kurang mampu menganalisa
masalah.
4.
Guru mengawasi, membatasi agar
kegiatan siswa tidak menyimpang dari nilai-nilai, seperti nilai agama,
pancasila dan sebagainya.
5.
Guru tidak memberikan jawaban
langsung atas masalah yang dihadapi.
Langkah-langkah Penggunaan
Seperti telah dikemukakan di muka ada berbagai cara dalam berinkuiri.
Dalam hal inkuiri dilakukan dengan tanya jawab, langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
1. Persiapan
a. Merumuskan permasalahan sebagai topik.
b. Merumuskan TIK.
c. Menjelaskan jalannya kegiatan inkuiri.
2. Pelaksanaan
a. Guru mengemukakan suatu masalah tertentu
siswa diberi kesempatan untuk bertanya mengenai kejelasan masalah tersebut.
b. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya
seluas mungkin mengenai masalah tersebut, sampai merasa cukup untuk mengambil
kesimpulan. Guru tidak boleh memberikan jawaban yang sifatnya menjawab atau
memecahkan permasalahan yaug dihadapi siswa. Guru misalnya saja hanya
memberikan jawabannya, tidak atau bukan dan sebagainya. Apabila siswa kurang
aktif maka guru memberikan pertanyaan pancingan membantu siswa menelaah masalah
tersebut.
c. Siswa mengemukakan kesimpulan atau
pendapat sementara (hipotesa) dan alasan-alasannya. (Depdikbud,
1985:123).Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
inkuiri merupakan suatu proses yang
ditempuh siswa untuk memecahkan masalah, merencanakan eksperimen, melakukan
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Jadi,
dalam model inkuiri ini siswa terlibat secara mental maupun fisik untuk
memecahkan suatu permasalahan yang diberikan guru. Dengan demikian, siswa akan
terbiasa bersikap seperti para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet,
objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain.
C.
Sikap Dan Perilaku
Banyak sosiolog dan psikolog
memberi batasan bahwa sikap merupakan kecenderungan individu untuk merespon
dengan cara yang khusus terhadap stimulus yang ada dalam lingkungan sosial.
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif
atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi,
situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000).
Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal
state) yang mempengaruhi pilihan tidakan individu terhadap beberapa obyek,
pribadi, dan peristiwa. Masih banyak lagi definisi sikap yang lain, sebenarnya
agak berlainan, akan tetapi keragaman pengertian tersebut disebabkan oleh sudut
pandang dari penulis yang berbeda. Namun demikian, jika dicermati hampir semua
batasan sikap memiliki kesamaan padang, bahwa sikap merupakan suatu keadaan
internal atau keadaan yang masih ada dalam dari manusia. Keadaan internal
tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari proses akomodasi dan asimilasi
pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana pendapat Piaget’s tentang proses
perkembangan kognitif manusia (Wadworth, 1971). Keyakinan diri inilah yang
mempengaruhi respon pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita
yakin bahwa mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri
kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap lingkungan
pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik, maka mereka merespon
positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin ia akan menjadi dermawan.
Sekilas, di atas terlihat
bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan. Oleh karena itu, psikolog sosial,
seperti Morgan dan King, Howard dan Kendler, serta Krech dkk., mengatakan bahwa
antara sikap dan perilaku adalah konsisten. Apakah selalu bahwa sikap konsisten
dengan perilaku? Seharusnya, sikap adalah konsisten dengan perilaku, akan
tetapi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga
sikap tidak konsisten dengan perilaku. Dalam keadaan yang demikian terjadi
adanya desonansi nilai.
Para psikolog, di antaranya
Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey,
mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
hereditas. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku adalah beragam, di
antaranya pendidikan, nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya.
Sedang faktor hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia
pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir, yang
banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua faktor secara bersama-sama
mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin menumbuhkan sikap, kita harus
memadukan faktor bawaan berupa bakat dan faktor lingkungan pendidikan dan
belajar. Pandangan ini sejalan dengan hukum konvergensi perkembangan yang
menyeimbangkan antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan, tanpa
mengorbankan satu faktorpun (Syah, 2002).
Jika seorang pendidik
menginginkan menumbuhkan sikap sasaran didik, seharusnya mengetahui bakat yang
ada pada sasaran didik, keinginan sasaran didik, nilai dan pengetahuan yang
seharusnya didapat sasaran didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi
penumbuhan sikap mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit
dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan
bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya,
pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari,
bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu
keberhasilan.
Sebagaimana diketahui oleh
umum, bahwa sistem pendidikan kita masih bersandar pada prinsip, teori, dan
konsep behavioristik. Konsep dan teori terbut jika diaplikasikan dalam
pendididikan kejuruan dan profesi, sudah tidak relevan lagi. Model pendidikan
klasikal, seperti yang sekarang ini banyak diterapkan, berangkat dari konsep
behavioristik, sulit untuk menumbuhkan sikap wirausaha. Pada masa pembangunan,
seperti terjadi di negara kita pada saat ini, sangat membutuhkan tenaga
wirausahawan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan
demikian, manakala kita masih mempertahankan model pendidikan behavioristik,
kami yakin bahwa tidak akan mampu menumbuhkan wirausahawan yang menjadi pelaku
pembangunan ekonomi nasional yang handal. Dengan demikian, perubahan sistem dan
model pendidikan, khususnya dalam pendidikan bisnis, perlu dilakukan. Terutama
mengarah pada pembelajaran kewirausahaan.
1.
Komponen Sikap
Secara umum, dalam berbagai
referensi, sikap memiliki 3 komponen yakni: kognitif, afektif, dan
kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975; Krech dan Ballacy, 1963, Howard
dan Kendler 1974, Gerungan, 2000). Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang
berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang
masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan
menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan
pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia1. Nilai - nilai baru yang
diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi
emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen
afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau
subyek, yang sejalan dengan hasil penilaiannya. Sedang komponen kecenderungan
bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai
dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau
subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan
seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap
obyek atau subyek.
Komponen sikap berkaitan satu
dengan yang lainnya. Keterkaitan antar komponen sikap dapat diperiksa pada
gambar 1 di bawah. Pada gambar tersebut secara bersama-sama komponen kognitif,
afektif, dan kecenderungan bertindak menumbuhkan sikap individu. Dari manapun kita memulai dalam analisis
sikap, ketiga komponen tersebut tetap dalam ikatan satu sistem. Sikap individu
sangat erat kaitannya dengan perilaku mereka. Jika faktor sikap telah
mempengaruhi ataupun menumbuhkan sikap seseorang, maka antara sikap dan
perilaku adalah konsisten, sebagaimana yang dikemukan oleh Krech dan Ballacy,
Morgan King, dan Howard.
Keterangan: komponen kognitif,
afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan suatu kesatuan sistem, sehingga
tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut secara
bersama-sama membentuk sikap pribadi
Sikap seseorang seharusnya
konsisten dengan perilaku. Seandainya sikap tidak konsisten dengan perilaku,
mungkin ada faktor dari luar diri manusia yang membuat sikap dan perilaku tidak
konsisten. Faktor tersebut adalah sistem nilai yang berada di masyarakat,
diantaranya norma, politik, budaya, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut
jelas bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan.
Seluruh masyarakat dan intansi terkait harus menunjang pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan haruslah diletakan pada kondisi dan situasi yang benar-benar
kondusif bagi jalannya proses pendidikan. Dengan cara demikianlah, sebenarnya
secara teoritis dan konseptual, tujuan pendidikan tercapai. Sebaliknya, jika
masyarakat dan seluruh instansi politik dan pemerintahan tidak mernunjang, maka
pendidikan akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan
merupakan tanggung jawab seluruh warga bangsa, dan harus ditunjang oleh
komitmen politis dari seluruh warga bangsa-bangsa.
Ketiga komponen kognitif,
afektif, dan kecenderungan bertindak secara bersama- sama membentuk sikap.
Sikap secara konsisten mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu, sikap seharusnya
konsisten mempengaruhi perilaku.Jika antara sikap tidak konsisten dengan
perilaku, maka terdapat sistem eksternal yang ikut mempengaruhi konsistensi
antara sikap dan perilaku.
Sikap dapat pula
diklasifikasikan menjadi sikap individu dan sikap sosial (Gerungan, 2000). Sikap
sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap
obyek sosial, dan biasanya dinyatakan oleh sekelompok orang atau masyarakat.
Sedang sikap individu, adalah sikap yang dimiliki dan dinyatakan oleh
seseorang. Sikap seseorang pada akhirnya dapat membentuk sikap sosial, manakala
ada seregaman sikap terhadap suatu obyek. Dalam konteks pemahasan ini, sikap
yang dimaksud adalah sikap individual, mengingat pendidikan yang dihabahas
dalam kajian ini menyangkut proses pendidikan secara individual, mengingat
keinginan, kebutuhan, kemampuan, motivasi, sasaran didik sangat beragam. Untuk
kajian lebih lanjut, periksa pada bahasan proses pendidikan bisnis di bawah.
Sejalan dengan pengertian
sikap yang dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa: 1) sikap ditumbuhkan dan
dipelajari sepanjang perkembangan orang yang bersangkutan dalam keterkaitannya
dengan obyek tertentu, 2) sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap
dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses belajar, 3) sikap selalu
berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri sendiri, 4) sikap dapat
berhubungan dengan satu obyek, tetapi dapat pula berhubungan dengan sederet
obyek sejenis, 5) sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan
atau emosi (Gerungan, 2000). Mengetahui karakter sikap semacam ini sangat
penting manakala kita akan membahas sikap secara cermat. Dari sifat ini dapat
diketahui bahwa sikap dapat ditumbungkan dan dikembangkan, melalui proses
pembelajaran siswa yang sesuai dengan motivasi, dan keinginan mereka. Demikian
juga, sikap harus diarahkan pada suatu obyek tertentu, sehingga memudahkan
mengarahkan belajar siswa pada sasaran belajar yang sesuai dengan minat dan
keinginannya.
2.
Menumbuhkan dan Mengembangkan Sikap
Bagaiman sikap dapat ditumbuhkan?
Seperti di atas dijelaskan, bahwa sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan
melalui proses belajar. Dalam proses belajar tidak terlepas dari proses
komunikasi dimana terjadi proses tranfer pengetahuan dan nilai. Jika sikap
merupakan hasil belajar, maka kunci utama belajar sikap terletak pada proses
kognisi dalam belajar siswa. Menurut Bloom, serendah apapun tingkatan proses
kognisi siswa dapat mempengaruhi sikap (Munandar, 1999). Namun demikian,
tingkatan kognisi yang rendah mungkin saja dapat mempengaruhi sikap, tetapi
sangat lemah pengaruhnya dan sikap cenderung labil. Kami yakin, bahwa proses
kognisi yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan sikap secara signifikan,
sejalan dengan taksonomi kognisi Bloom, adalah pada taraf analisis, sintesis,
dan evaluasi. Pada taraf inilah memungkinkan sasaran didik memperoleh
nilai-nilai kehidupan yang dapat menumbuhkan keyakinan yang merupakan kunci
utama untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap. Melalui proses akomodasi dan
asimilasi pengetahuan, pengalaman, dan nilai ke dalam otak sasaran didik,
seperti pendapat Pieget, pada gilirannya akan menjadi referensi dalam
menanggapi obyek atau subyek di lingkungannya.
Pertanyaan yang muncul, apakah
semua informasi dapat mempengaruhi sikap? Tidak semua informasi dapat mempengaruhi
sikap. Informasi yang dapat mempengaruhi sikap sangat tergantung pada isi,
sumber, dan media informasi yang bersangkutan (Morgan dan King, 1974; Howard,
1975). Dilihat dari segi isi informasi, bahwa informasi yang menumbuhkan dan
mengembangkan sikap adalah berisi pesan yang bersifat persuasif. Dalam
pengertian, pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik, meskipun sebenarnya
keyakinan tersebut akan didapat siswa sendiri melalui proses belajar. Seperti
di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat memberikan pesan yang persuasif
kepada sasaran didik haruslah dibawa pada obyek telaah melalui proses
penganalisaan, pensintesisan, serta penilaian, yang dilakukan sasaran didik untuk
memperoleh keyakinan. Langkah ini akan dapat berhasil manakala dilaksanaan
secara individual, dan dibawa ke model belajar sambil bekerja yang selaras
dengan motivasi, minat dan bakat sasaran didik. Dengan demikian, proses
belajar-mengajar klasikal, misalkan dengan ceramah, efektivitas dalam
menumbuhkan sikap perlu dipertanyakan.
Sumber informasi sangat
berpengaruh pada penumbuhan sikap. Di samping informasi dari buku teks, mungkin
juga dari fakta empirik, guru atau pendidik juga merupakan sumber belajar. Kualitas
sumber informasi sangat berpengaruh pada penumbuhan keyakinan siswa. Karena itu
kualitas informasi sangat menentukan perolehan pengalaman yang memandai, yang
dibutuhkan untuk mengembangkan cakrawala pandang. Demikian juga fakta empirik,
harus diberikan. Fakta empirik merupakan informasi sekaligus bahan belajar yang
sangat berharga yang dapat dipelajari, dianalisis oleh siswa untuk memperoleh
pengalaman dan untuk menambah keyakinan mereka. Di samping itu, guru juga
memiliki peranan yang kuat dalam menumbuhkan sikap, karena gurulah yang
berkomunikasi langsung dan sekaligus merupakan preferensi bagi siswa. Oleh
karena itu, kualitas guru, baik dilihat dari kemampuan, keluasan wawasan,
pengusaaan pengetahuan teoritis dan praktis diperlukan. Di sinilah peran guru
sebagai fasilitator, inovator, motivator, dapat dimainkan. Dengan demikian,
dalam model belajar yang diharapkan di sini membutuhkan keragaman sumber
informasi. Dengan sumber informasi yang beragam siswa dapat menentukan pilihan
yang sesuai dengan minat, motivasi, serta bakat mereka. Dengan cara inilah,
siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan dan informasi yang akan mereka
gunakan untuk penganalisaan situasi dan fakta untuk mendapatkan nilai-nilai
yang bermanfaat bagi hidupnya.
Selanjutnya, tentang media,
bahwa tidak setiap media informasi dapat mempengaruhi sikap siswa. Karena itu
adalah mutlak bagi guru untuk mencari buku teks maupun sejenisnya yang dapat
mempengaruhi keyakinan siswa. Banyak buku teks yang isinya terlihat diam dan
menjemukan. Tidak menumbuhkan gairah keingin tahuan, dan tidak dapat mempersuai
pembaca. Isi buku teks hanyalah suatu onggokan konsep dan teori yang boleh
dikata, kurang ada manfaatnya bagi hidup. Oleh karena itu, media informasi
haruslah di cari oleh guru yang benar-benar bisa menumbuhkan gairah keingin
tahuan siswa dan bersifat persuasif. Dengan demikian, di samping buku teks,
media informasi lain harus dicari. Banyak buku-buku fiksi, biografi (misalkan
cash-flow Quadrant, chicken shop, Business Combat), ceritera persaingan
Pepsi-Colla dengan Coca-Colla, Raja Komputer AS Bill Gates, bagaimana
perusahaan multinasional dapat mempengaruhi perekonomian dunia, dan sebagainya.
Mungkin juga hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam internet, jurnal
ilmiah, dan sebagainya dapat dimanfaatkan. Kreativitas guru dalam menumbuhkan
keyakinanan siswa sehingga sikap dapat dibentuk seperti yang harapan siswa
sangatlah dibutuhkan, terlebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan usaha untuk
menumbuhkan motivasi dan keinginan yang kuat untuk berkembang, ulet, berani
mengambil risiko, selalu mengansipasi perubahan, dan sebagainya. Orientasi guru
tidak lagi berorientasi pada apa yang diharapkan guru, penumpukan konsep dan
materi yang berlebihan yang tidak ada manfaatnya bagi hidup, tetapi harus
beorientasi pada apa yang siswa harapkan dan pengetahuan yang benar-benar
bermanfaat bagi hidup siswa pada masa mendatang. Dengan cara inilah kemungkinan
besar pendidikan dapat membawa ouputnya yang benar-benar memiliki keunggulan,
inovatif, jika terjun dalam dunia kerja.
3.
Kapan Sikap Ditumbuhkan
Sikap dapat tumbuh selama
manusia hidup. Sepanjang hidupnya, manusia belajar tidak pernah berhenti.
Proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan, dan pengalaman, berlangsung
sepanjang hidup manusia. Dalam proses yang panjang inilah nilai-nilai hidup
didapatkan oleh manusia, yang kemungkinan besar akan dapat menumbuhkan sikap
mereka terhadap subyek atau obyek. Periode kritis penumbuhan seseorang terjadi
pada usia 12 tahun sampai 30 tahun (Sear dalam Morgan dan King, 1974). Jika
pendapat Sear ini dianut, maka penumbuhan sikap yang paling tepat ketika usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT),
setelah itu sikap akan tumbuh melalui belajar dan pengalaman pribadi
masing-masing. Perlu dipahami, bahwa dalam hidup belajar lebih banyak
ditentukan oleh diri sendiri dari pada di bangku sekolah. Namun demikian, sudah
menjadi kewajiban bagi sekolah untuk menumbuhkan sikap dasar yang bermanfaat
bagi hidup sasaran didik. Selanjutnya, di luar bangku sekolah, sikap akan
dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Lebih lanjut Sear mengatakan,
bahwa setelah usia 30 tahun sikap relatif permanen sehingga sulit berubah
(dalam Morgan dan King, 1974). Dari sini terlihat betapa pentingnya peletakan
sikap dasar di sekolah, mengingat bahwa usia pembentukan sikap dasar ketika
siswa ada pada SLTP sampai dengan PT. Oleh karena itu, jika kita sadar akan
tanggung sebagai pendidik, dan menyadari usia yang memungkinkan sikap dapat
ditumbuhkan, maka sudah seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu tersebut
untuk menumbuhkan sikap dasar siswa yang benar-benar ada manfaatnya bagi
hidupnya maupun bagi bangsa dan negara.
4.
Kendala Menumbuhkan Sikap
Kendala penumbuhan sikap
terjadi ketika ada benturan nilai yang diyakini seseorang dengan nilai yang
berkembang di masyarakat. Semua institusi dalam masyarakat harus dapat
menunjang pendidikan. Artinya, masyarakat secara menyeluruh harus memberikan
dukungan terhadap proses pendidikan bisnis. Akan tetapi, dalam kenyataannya, di
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pendidikan bisnis mungkin
mengalami hambatan sosio-budaya, seperti yang dikemukan oleh Jinghan (1999).
Bahkan banyak ahli ekonomi yang mengatakan bahwa di negara sedang berkembang
memiliki ciri yang mendua, di samping menganut faham ekonomi liberal juga
menganut faham sosial (ekonomi campuran). Sifat mendua inilah yang merupakan
kedala bagi kemajuan ekonomi negara dunia ketiga (Todaro, 1997; Jinghan, 1999).
Mungkin sifat mendua inilah yang merupakan salah satu kendala bagi penumbuhan
sikap wirausaha di Indonesia.
Nilai sosio-budaya feodal yang
diwarisi dari penjajahan Belanda sangat kita rasakan pengaruhnya pada orang tua
dan senior kita. Mereka sangat menyukai kemapanan dan alergi terhadap
perubahan. Mereka lupa bahwa tanpa perubahan tidak akan ada perkembangan.
Semuanya akan terlihat statis. Kondisi semacam ini telah diungkap oleh Todaro
bahwa budaya dari penjajahan negara-negara Eropa sangat mempengaruhi
pembangunan di negara dunia ke tiga, termasuk Indonesia (Todaro, 1977).
Keinginan orang tua agar anak menjadi pegawai negeri merupakan bukti konkrit
bahwa budaya feodal yang merupakan warisan dari penjajah sebagai suatu kendala
perkembangan bangsa kita. Mungkin saja anak memiliki jiwa dan sikap positif terhadap
wirausaha, akan tetapi mungkin mengalami benturan nilai dengan orang tua,
sehingga anak terpaksa menjadi pengawai negeri.
BAB III
PROSES PENDIDIKAN WIRAUSAHAWAN
Proses pendidikan
tidak lepas dengan peroses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu usaha untuk
menciptakan kondisi yang kondusif bagi belajar siswa (Gagne dan Briggs, 1974).
Dari batasan ini tampak bahwa proses dalam belajar dan pembelajaran sasaran
utamanya adalah pada proses belajar sasaran didik atau siswa. Demikian juga
dalam Quantum Learning, maupun Revolusi Cara Belajar, dalam pendidikan harus
mengutamakan belajar siswa secara aktif. Degeng (2001) juga mengatakan bahwa sasaran pendidikan adalah belajar
siswa, bukan semata-mata pada hasil belajar siswa.
Dari berbagai pendapat di atas
terlihat bahwa seharusnya dalam proses belajar dan pembelajaran yang memiliki
peran aktif adalah siswa, bukan guru. Guru sebagai fasilitator berperan untuk
menciptakan suasana dan lingkungan sekitar yang dapat menunjang belajar siswa
sesuai dengan minat, bakat, dan kebutuhannya. Dengan kata lain, dalam berbagai
referensi yang sekarang sedang ramai dibicarakan, adalah proses pembejaran
individual, atau individual learning. Mengapa demikian? Siswa memiliki minat,
bakat, dan kebutuhan yang berbeda. Sudah sehrusnya faktors ini diperhatikan
dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, model pembelajaran klaikal sudah
tidak cocok lagi. Pembelajaran harus terfokus pada belajar individual cocok
(Porter dan Hernacki, 2002; Dreden dan Vos, 2001). Demikian pula dalam
pendidikan binis belajar individual perlu dilaksanakan.
A.
Mengetahui Minat, Motivasi, Dan Tujuan
Belajar Siswa
Seperti di atas telah
disinggung, bahwa dalam proses pendidikan kita harus memiliki pengertian bahwa
kita melayani keinginan dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, dalam proses
belajar-pembelajaran harus memiliki karakteristik untuk melayani keinginan dan
kebutuhan siswa, bukan transformasi pengetahuan menurut selera sekolah maupun
pendidik. Jika materi yang dipelajari siswa relevan dengan minat, motivasi, dan
tujuan belajar mereka, maka akan dapat menumbuhkan gairah belajar, kreativitas
berfikir, dan karya siswa. Meskipun hasil belajar bukan merupakan sasaran utama
pendidikan seperti yang dikatakan Degeng, sudah seharusnya bahwa keberhasilan
belajar diketahui. Oleh karena itu, sasaran dari langkah pertama adalah hasil
belajar siswa, yakni dapat menjadi pribadi yang mereka inginkan.
B.
Mengetahui Kesiapan Siswa Baik Mental Dan
Pengetahuan
Kesiapan di sini perlu
diketahui untuk dasar penentuan strategi maupun material yang bobot dan
relevansinya sesuai dengan kesiapan yang ada pada diri siswa. Dengan demikian,
kita dapat memberikan dorongan dan rangsangan belajar sesuai dengan potensi
yang ada di dalam diri siswa. Menurut konsepsi ini, seharusnya penyelesaian
pendidikan oleh setiap individu siswa tidak selalu dapat bersamaan, tergantung
pada kemampuan dan kesungguhan belajar mereka.
C.
Mengetahui Bakat Siswa
Bakat perlu diketahui. Anak
berbakat menurut Utami Munandar adalah mereka yang diidentifikasi sebagai anak
yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan yang unggul
(Munandar, 1999). Bakat seseorang amat bervariasi, oleh karena itu perlu dicari
agar dapat dikembangkan dan bermanfaat dalam kehidupan. Dengan mengawinkan
bakat dan pengetahuan yang akan dipelajari siswa, akan lebih mendorong siswa
untuk belajar lebih giat sehingga optimasi hasil belajar siswa dapat dicapai.
Selanjutnya, pengetahuan tentang minat, motivasi atau tujuan belajar, bakat,
dan kesiapan siswa sangat membantu pendidik untuk merancang materi dan strategi
belajar dan pembejaran.
Sebagai catatan tambahan, jika
minat, motivasi, tujuan belajar, dan kemampuan siswa diketahui secara
individual, dimungkinkan diciptakan kelas yang homogin. Penciptaan kelas
homogin ini penting untuk memudahkan penciptaan suasana, prasarana, dan
perlakuan dalam proses belajar-pembalajaran. Akan tetapi, jika kelas heterogin
akan menimbulkan sedikit kendala dalam proses belajar-pembelajaran.
D.
Menentukan Strategi Belajar Dan Pembelajaran
Penentuan strategi
pembelajaran, jika kita sepakat dengan asumsi bahwa potensi, kebutuhan, dan
minat belajar setiap individu berbeda, maka strategi yang tepat adalah
mengutamakan pada belajar mandiri, meskipun model tutorial yang juga dibutuhkan.
Tutorial dibutuhkan hanya untuk memberikan kerangka dasar pemikiran dan
pengetahuan dasar yang dibutuhkan siswa. Selanjutnya, penggunaan metode inkuri
dan discoveri, serta pemecahan masalah lebih diutamakan. Hal ini dapat untuk
menumbuhkan sikap ulet, tekun, terbiasa mencari solusi, berani mengambil
risiko, mengetahui dunia nayta yang serba tidak menentu, terbiasa menghadapi
perubahan dan menemukan peluang dari perubahan tersebut, dan sebagainya, yang
kesemuanya dibutuhkan bagi seorang wirausahawan. Dengan demikian model
pembelajaran yang ditawarkan dalam makalah ini, bahwa siswa lebih banyak
dihadapkan pada permasalahan baik teoritis maupun faktual agar mereka mencari
solusi yang paling meskipun risiko cukup besar. Risiko yang besar sering
memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Kiat-kiat hidup
semacam ini yang harus ditanamkan kepada sasaran didik untuk menumbuhkan sikap
positif terhadap wirausahawan. Guru dan siswa harus ada kesepakatan terlebih
dahulu mengenai keinginan, minat, motivasi, sekolah siswa dan bakat yang ada
pada diri siswa. Berdasarkan kesepakatan ini, selanjutnya guru merumuskan
pengalaman belajar apa yang seharusnya ada pada diri siswa, material yang harus
dipelajari, strtegi pembelajaran yang menumbuhkan gairah belajar siswa.
Guru bahwa harus mampu mencari
meteri belajar yang berupa masalah, baik teoritis maupun faktual, untuk
dipecahkan oleh siswa. Tugas guru lebih banyak sebagai fasilitator (mentor),
mengawasi, dan mengarahkan belajar siswa. Pembahasan permasalahan harus
diarahkan kepada pengambilan keputusan yang berupa solusi masalah, kesimpulan
dan langkah yang harus diambil. Dengan cara demikian pengalaman belajar siswa
lebih banyak manfaat bagi pemenuhan minat, dan kebutuhan belajar mereka. Suatu
hal yang perlu diketahui, bahwa semua permasalahan yang dihadapkan kepada siswa
harus dapat menumbuhkan ciri-ciri wirausahawan dalam diri dan operilaku kognisi
mereka. Harapan yang ingin dicapai adalah: pengetahuan siswa mendalam,
pengetahuan siswa ada manfaatnya bagi hidup, menumbuhkan keyakinan dan percaya
diri, mampu melihat permsalahan kini dan masa depan, mampu melihat
peluang-peluang yang dapat mereka manfaatkan, mampu menciptakan hal-hal yang
baru. Tujuan akhir dari harapan ini adalah membentuk sikap positif terhadap
entrepeneur.
Dalam proses belajar dan
pembelajaran, harus banyak menekankan pada proses belajar mandiri. Tujuan
belajar mandiri, setidak-tidaknya berfungsi untuk: menumbuhkan kreativitas
berfikir, menumbuhkan kepercayaan diri, memberi keterampilan memecahkan
permasalahan dan mengambil keputusan, membiasakan menemukan peluang pada masa
depan, meskipun penuh ketidak pastian, menumbuhkan jiwa inovatif, menumbuhkan
sikap berani menanggung risiko. Keseluruhan watak pribadi ini harus ada dalam
diri siswa. Watak-watak tersebut yang dibutuhkan untuk menumbuhkan seorang
wirausahawan (perhatikan ciri wirausahawan yang diungkap di atas).
Interaksi dalam proses belajar
dan pembelajaran terjadi secara timbal balik. Interaksi ini diarahkan untuk
memecahkan permasalahan baik teoritis maupun prkatis, yang kemudian diambil
kesimpulan serta penentuan langkah yang perlu diambil. Proses pemecahan masalah
dapat pula dilakukan siswa secara individual.
Masalah yang didapat siswa
atau yang diberikan guru, harus dipecahkan, dicarikan solusinya, dan dicari
kemungkinan peluang yang dapat dimanfaatkan. Pemecahan masalah dapat dilakukan
sendiri oleh siswa, diskusi dengan siswa lain, atau bersama-sama guru. Kesemua
keputusan hasil diskusi selalu diarahkan kepada persoalan praktis bisnis, dan
penumbuhan ciri-ciri serta tujuan pendidikan wirausahawan seperti yang
disebutkan di atas. Dalam berbegai hasil penelitian, bahwa keputusan yang
diambil siswa sebaiknya beragam untuk mendapatkan pengalaman belajar yang
bervariasi dan padat, serta memperoleh keputusan yang paling tepat diantara
alternatif yang mereka kemukan.
E.
Metode Yang Dapat Dipergunakan Dalam
Proses Pembelajaran
Banyak metode pembelajaran
yang dapat dipergunakan dalam pendidikan wirausahawan. Pada prinsipnya, dalam
berbagai temuan bahwa metode pembelajaran harus beragam, dan tidak membatasi
ruang bagi siswa untuk berkreasi baik dalam bentuk ide, dan perilaku. Karena
dalam model pembelajaran yang kami maksudkan juga memberikan kebebasan guru
untuk merumuskan metode pembelajaran sendiri, maka sebenarnya tidak ada suatu
metode baku yang dapat kita tawarkan. Guru diberi kebebasan berkreasi dalam
mendesain proses pembelajaran. Hanya yang terpenting untuk diperhatikan oleh
guru adalah dalam mendesain proses pembelajaran: 1) menghindari pengumpulan
pengetahuan yang tidak ada manfaatnya bagi hidup sasaran didik; 2) mengarahkan
belajar siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar yang bermanfaat bagi hidup
mereka, dengan memanfaatkan pengetahuan yang ia dapatkan; 3) tidak membatasi
ruang yang dapat dimanfaatkan siswa untuk berfikir kreatif; 4) belajar siswa
hendaknya tetap mengarah pada pemecahan problematik kehidupan, baik yang
disampaikan guru maupun yang mereka temukan sendiri; 5) mempergunakan media,
sumber informasi, dan metode pembelajaran yang bervariasi; 6) menciptakan suana
lingkungan belajar yang menyenangkan dan dapat memotivasi belajar siswa.
Dengan demikian, sebenarnya
tidak ada kunci yang bersifat deterministik bagi aktivitas guru untuk mendesain
proses pembelajaran. Banyak model-model pembelajaran yang telah diciptakan
dalam berbegai penelitian yang mungkin dapat diadopsi. Akan tetapi, itupun
tidak merupakan suatu keharusan. Model temuan desain pembelajaran misalkan
model LDP oleh Brent G. Wilson, model kinerja kognitif oleh Sherrie P. Gott dan
kawan-kawan, belajar dengan multi-media oleh David H. Jonassen dan kawan-kawan,
dan sebagainya.
Terdapat beberapa stretegi
pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh guru. Artinya, bahwa strategi
pembelajaran merupakan kemungkinan strategi yang dapat diterapkan, akan tetapi
jangan dianggap sebagai resep yang sudah pasti. Kreativitas guru untuk
mengembangkan dan menyempurnakan strategi pembelajaran masih dibutuhkan. Dalam
kesempatan ini kami hanya mampu untuk memberikan gambaran kasar tentang strategi
umum, sekali lagi, yang sudah barang tentu belum operasional. Operasionalisasi
dari strategi yang kami rumuskan ini membutuhkan waktu banyak, dan mungkin
menurut prinsip konstruktivis tetap tidak dibenarkan adanya standar strategi
pembelajaran yang baku.
F.
Langkah-langkah Pembelajaran dengan Model
Inkuiri
Sesuai dengan pokok bahasan
yang telah diuraikan di atas, maka langkah-langkah yang ditempuh dalam
pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri adalah:
Tahap pertama
Sebelum guru mengemukakan
masalah yang akan dikerjakan siswa, terlebih dahulu guru menentukan tingkah
laku atau tujuan yang ingin dicapai dengan model inkuiri tanpa memberi
informasi tentang teori kewirausahaan, orientasi model, dan apersepsi.
Selanjutnya, guru membagikan sebuah LKS yang di dalamnya terdapat bacaan kepada
siswa dan mereka diberikan waktu beberapa menit untuk memahami bacaan tersebut.
Tahap kedua
Pada tahap ini guru mengajukan
permasalahan (teka-teki) yang dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk menemukan
pendapatnya. Permasalahan tersebut berupa tugas untuk mengidentifikasi wirausaha,
menganalisis karakteristik wirausahawan, menentukan ciri-ciri unsur sebagai
calon berwirausaha, membuat penjelasan atau pengertian unsur-unsur sebagai
calon berwirausaha, dan merumuskan kesimpulan wirausahawan.
Tahap ketiga
Pada tahap ini siswa
menetapkan hipotesis/praduga jawaban untuk dikaji lebih lanjut. Hipotesis yang
ditetapkan ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang diajukan oleh
guru. Pada tahap ini terdapat dua kemungkinan yang muncul, yaitu: (1) siswa
secara spontan melakukan penyelidikan atau penjelajahan tentang informasi/data
untuk menguji hipotesis yang ditetapkan, baik secara individu maupun secara
kelompok. Selanjutnya, siswa menarik kesimpulan; dan (2) siswa tidak banyak
berusaha mencari informasi untuk membuktikan hipotesis. Di sinilah guru
membantu siswa, mendorong melakukan kegiatan belajar untuk mencari informasi
berkaitan dengan permasalahan yang diajukan guru. Jawaban guru atas pertanyaan
siswa hanya berkisar ya atau tidak, karena dalam model inkuiri ini siswa
sendiri yang menemukan jawaban permasalahan yang diberikan oleh guru.
Tahap keempat
Pada tahap ini siswa
mengidentifikasi beberapa kemungkinan jawaban/menarik kesimpulan. Selanjutnya,
guru mengumpulkan hasil penyelidikan/eksperimen untuk menjawab teka-teki atau
permasalahan yang diajukan oleh guru. Caranya dengan menyuruh siswa untuk
menunjukkan hasil pekerjaan mereka. Mereka disuruh untuk memperlihatkan
bentuk-bentuk wirausaha, unsur-unsurnya, dan ciri-ciri unsurnya, yang terdapat
dalam bacaan yang telah dibagikan itu. Agar seluruh siswa yang ada dalam kelas
terlibat untuk memecahkan permasalahan tersebut, maka setiap siswa mendapat
giliran untuk memberikan alasan atau hasil pekerjaannya. Dengan demikian, siswa
diarahkan untuk menjawab teka-teki atau permasalahan tersebut.
Tahap kelima
Pada tahap ini guru mengajak
dan membimbing siswa untuk merumuskan dan menemukan sendiri teori tentang wirausaha
berdasarkan fakta-fakta yang mereka temukan dari hasil tanya jawab di dalam
kelas. Dari fakta-fakta dan jawaban tersebut, mereka dapat merumuskan batasan wirausaha.
Selanjutnya, guru memberi komentar dan penjelasan tentang hasil temuan mereka
dan menjelaskan kembali prinsip-prinsip atau konsep tentang wirausaha, unsur-unsurnya,
dan ciri-cirinya sehingga masalah
tersebut dapat terjawab.
Penerapan model inkuiri dalam
pembelajaran kewirausahaan memberikan dampak instruksional dan dampak penyerta.
Dampak instruksionalnya adalah: (a) keterampilan dalam proses ilmiah, yakni:
mengadakan observasi, mengumpulkan dan mengorganisasikan data, mengidentifikasi
dan mengontrol variabel, membuat dan mengetes hipotesis, merumuskan penjelasan,
dan membuat kesimpulan; serta (b) strategi penyelidikan secara kreatif. Di sisi
lain, dampak penyertanya adalah: (a) menimbulkan semangat kreativitas pada
siswa, (b) memberikan kebebasan atau otonomi pada siswa dalam hal menyusun
pertanyaan dan mengemukakan pendapat secara verbal, (c) memungkinkan kerja sama
secara dua arah (guru-siswa dan siswa-siswa), dan (d) menekankan hakikat
kesementaraan dari pengetahuan.
Di samping itu, model inkuiri
yang diterapkan oleh siswa dalam pembelajaran dapat meningkatkan prestasi
belajar atau kemampuan siswa tentang materi yang dipelajarinya. Hal ini sesuai
dengan temuan Schuncke (1988) dan Novac (1990) yang menunjukkan beberapa
karakteristik keberhasilan penggunaan model inkuiri, yaitu: meningkatkan skor
tes akademik, meningkatkan kontak psikoakademis pembelajar, memperkuat
keyakinan diri, meningkatkan sikap positif dalam belajar, mengkondisikan siswa
menjadi discover dan adventurer pengetahuan, meningkatkan self-concept dan self
esteem, meningkatkan daya akomodasi ilmiah, meningkatkan motivasi belajar
secara intrinsik, meningkatkan kemampuan dan strategi bernalar secara kritis,
serta meningkatkan sikap dan perilaku positif terhadap mata pelajaran dan para guru selama berlangsungnya
pembelajaran. Amien (1987) mengatakan bahwa model inkuiri melibatkan siswa
secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan
guru. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para ilmuwan sains,
yaitu: teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat
orang lain.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berkaitan dengan uraian di
atas, berikut adalah simpulan-simpulan yang dapat diambil :
1. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri merupakan suatu proses yang ditempuh siswa
untuk memecahkan masalah, merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen,
mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dalam model inkuiri
ini siswa terlibat secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu
permasalahan yang diberikan guru.
2. Model inkuiri siswa akan terbiasa bersikap
seperti para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif,
dan menghormati pendapat orang lain.
3. Langkah-langkah yang ditempuh dalam
pembelajaran dengan model inkuiri adalah: guru menyampaikan tujuan
pembelajaran, orientasi model, dan apersepsi; guru mengajukan permasalahan
(teka-teki); siswa menetapkan hipotesis; atas bimbingan guru, siswa
mengumpulkan dan menganalisis data; dan siswa menarik kesimpulan,
4. Dampak instruksional dan penyerta dari
model inkuiri adalah: keterampilan dalam proses ilmiah, yakni: mengadakan
observasi, mengumpulkan dan mengorganisasikan data, mengidentifikasi dan
mengontrol variabel, membuat dan mengetes hipotesis, merumuskan penjelasan, dan
membuat kesimpulan; serta strategi penyelidikan secara kreatif. Di sisi lain,
dampak penyertanya adalah: menimbulkan semangat kreativitas pada siswa, memberikan
kebebasan atau otonomi pada siswa dalam hal menyusun pertanyaan dan
mengemukakan pendapat secara verbal,
memungkinkan kerja sama secara dua arah (guru-siswa dan siswa-siswa),
dan menekankan hakikat kesementaraan
dari pengetahuan.
B.
Saran
Dari kesimpulan di atas,
berikut saran-saran yang dipertimbangkan untuk melaksanakan model pembelajaran
dengan pendekatan inkuiri :
1. Salah satu faktor keberhailan pelaksanaan
model ini adalah pada tahap persiapan seorang guru. Karenanya guru harus
memiliki persiapan secara matang, mulai dari modul yang akan dipakai, daftar
pertanyaan yang mungkin timbul dan lebih dari itu pendalaman materi
kewirausahaan yang tidak boleh diabaikan.
2. Hendaknya managemen kelas sudah tertata
dengan baik, mulai dari susunan meja kursi yang sekiranya dapat merangsang
keterlibatan semua siswa, baik yang pinter, setengah pinter maupun yang tidak.
3. Supaya terjadi pelibatan siswa secara
aktif, modul udah dipelajari siswa sebelum pertemuan kelas belangsung.
4. Karena pendekatan inkuiri ini diharapkan
terjadi pemahaman mendalam tentang materi kewirausahaan, maka alangkah baiknya
juga dilibatkan guru tamu yang mengalami langsung perih getirnya pengalaman
sebagai wirausahawan.
5. Pada tahap tindak lanjut sebaiknya diikuti
dengan latihan-latihan sederhana sebagai wirausaha walaupun dalam tahapan yang
sanagt kecil. Misalnya bagaimana menjual premen 100 biji ke orang lain dengan
perhitungan mendapatkan selisih dari pembelian awal.
DAFTAR RUJUKAN
Amien, M. (1987). Mengajarkan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inkuiry.
Jakarta: Depdikbud.
Anonynous,
1999. Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU RI No. 2, 1989) dan Peraturan Pelaksanaanya. Jakarta : Sinar Grafika.
Azwar,
Saifuddin, Drs., MA, 2002. Sikap Manusia
: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Budiono, DR., 1999.Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta : BPFE.
Bruce,
W.C. & J.K. Bruce. (1992). Teaching with Inquiry. Maryland :
Alpha Publishing Company, Inc.
Bygrave, 1996.
Enterpreneurship (terjemahan). Jakarta
: Binarupa Aksara.
Cleaf, D.W.V.
(1991). Action in Elementary Social
Studies. Singapore :
Allyn and Bacon.
Crowther, Frank dan Brian Caldwell, The Entrepreneurial School. London : Ashton
Scholastic.
Dahar, R.W. (1991).
Teori-teori Belajar.
Jakarta: Erlangga.
Degeng, I
Nyoman S., Prof. Dr, MPd, Kumpulan Bahan
Pembelajaran. Malang : LP3-UM,
2001.
Depdikbud. (1993). Kurikulum
Pendidikan Dasar GBPP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta: Depdikbud.
Drucker,
Peter F, 1996. Inovasi dan Kewiraswastaan
:Praktek dan Dasar-Dasar (terjemahan). Jakarta : Erlangga.
Dryden,
Gordon dan Dr. Jeannette Vos, Revolusi
Cara Belajar. Bandung : Kaifa,
2001.
Ernawati,
Rias. 2005. Upaya Peningkatan Hasil
Belajar dengan Metode Discoveri melalui Media Gambar. Skripsi. Surakarta:
UMS (tidak diterbitkan)
Gagne,
Robert M., dan Leslie J. Briggs, 1974. Principles of Instructional Design. New York
: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Gerungan, WA., 2000. Psikologi Sosial. Bandung : Refika Aditama.
Howard H.,
Kendler, 1974. Basic
Psychology. Philipines : Benyamin/Cummings.
Krech, David, Richard S. Crutfield,
dan Egerton L. Ballachey, 1962. Individual
in Society. Tokyo
: McGraw-Hill Kogasuka Ltd.
Law, Glover. 2005. Improving Learning,
Jakarta: Grasindo.
Morgan, Clifford T, dan Ricahrd A.
King, 1975. Introduction to Psychology.
New York :
McGraw-Hill Book Company.
Hamalik, O. (1991). Strategi Belajar
Mengajar. Bandung: CV Sinar Baru.
Jinghan, ML, 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Longworth, Norman, 1999. Making Lifelong Learning Work : Learning
Cities for a Learning Century. London
: Kogan Page.
Mulyasa,
E. 2005. Menjadi Guru Profesional
(Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Munandar, Utami, 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Roestiyah, N.K.
(1998). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Rustamz Mundilarto.
2004. Penelitian Tindakan Kelas. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan
dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta
Scharg,
Adele F dan Robert P. Poland, 1987. A System for Teaching Business Education.
New York :
McGraw-Hill Book Company.
Subandriyo, B. 2006. Studi Tentang Keefektifan Metode Inkuiri
dalam Pembelajaran Kewirausahaan Ditinjau dari Sikap Percaya Diri Siswa.
Tesis. Surakarta :
UNS
Sularmi. 2006. Perbedaan Pengaruh Metode Inquiry-Discovery Dan Konvensional Terhadap
Prestasi Belajar IPA Ditinjau Dari Motivasi Belajar Pada Siswa Sekolah Dasar
Negeri. Tesis. Surakarta:
UNS.
Sutama.
2000. Peningkatan Efektifitas
Pembelajaran Kewirausahaan Melalui Pembenahan Gaya Mengajar Guru di SLTP Negeri
18 Surakarta. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UMY (tidak
dipublikasikan).
Syah,
Muhibbin, Med, 2002. Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Todaro, Michael P, 1999. Ekonomi Pembangunan di Dunia ketiga. Jakarta : Erlangga.
Widiyastuti,
Wahyu. 2003. Eksperimentasi Pengajaran Kewirausahaan
dengan Metode Penemuan melalui Tanya Jawab pada Pokok Bahasan Teorema
Pythagoras Ditinjau dari Aktivitas Belajar Siswa. Skripsi. Surakarta: UMS
(tidak diterbitkan)
Wilson, Brent G, 1996. Constructivist Learning Environments. New Jersey : Educational Technology Publicatins Englewood Cliffs.
------------------ , 2002. Study Skills for Life. Jakarta : PT Gramedia.
http://pasca.uns.ac.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=81
http://pasca.uns.ac.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=60
http://www.ialf.edu/bipa/jan2003/efektivitaspengajaranmenulis.html
http://Upik.jogja.go.id/news
http://ayub.net/mjlh-isi.php?news
http://id.wikipedia.org/wiki/
http://www.ialf.edu/bipa/jan2003/efektivitaspengajaranmenulis.html
http://www.puskur.net/index.php?menu=profile&pro=113&iduser=5
http://www.isbogor.org/PYP/
http://id.wikibooks.org/wiki/Fisika_itu_mudah/Pendekatan
http://www.depdiknas.go.id/jurnal/