Tampilkan postingan dengan label peran guru prestasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peran guru prestasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Juni 2013

Guru daman Mendorong Pertumbuhan dan Prestasi Siswa

Peran guru dalam pembelajaran diharapkan dapat mencakup tiga hal, yaitu: mengembangkan pertumbuhan sosial, pertumbuhan emosional, dan pertumbuhan perolehan pengetahuan bagi para peserta didiknya. Seorang guru dapat mendorong siswanya dalam sebagai pembelajar yang aktif. Pembelajar yang aktif ini merupakan  salah satu aspek konstruktivisme, sebuah pandangan yang sedang berkembang mengenai pembelajaran yang nantinya akan kita bahas dalam bab khusus. Selain perolehan pengetahuan yang diinginkan, peningkatan sosial dan intelektual siswa merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh guru sebagai salah satu peran terpenting guru yang profesional. Secara social siswa didorong untuk saling berinteraksi di pusat-pusat pembelajaran. image

Pertanyaan umum yang dihadapi oleh para guru adalah, Komponen pertumbuhan siswa apa yang merupakan tujuan terpenting yang harus dicapai dalam institusi sekolah umum? Apakah pertumbuhan intelektual akademik atau pertumbuhan emosional sosial? Selain dijelaskan dalam bentuk - bentuk apa yang seharusnya diajarkan, kurikulum seharusnya juga didasarkan pada gudang pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk meningkatkan peradaban, atau seharusnya pembelajaran kita fokus dalam membantu siswa berinteraksi secara lebih baik dengan teman - teman untuk meningkatkan harga diri dan prestasi akademik dan menyediakan kesempatan - kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan pertemanan (Campbell, & Dickinson, 2004).

Peran guru yang utama adalah memfasilitasi pembelajaran siswa, yang secara luas dijabarkan, dengan berbagai cara. Hal ini kemudian melahirkan suatu pertanyaan yang fundamental: Bagaimana kita belajar? Kita belajar dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari pembelajaran eksperimental (pembelajaran berbasis pengalaman) hingga pembelajaran dari orang lain.

 

a.      Konstruktivisme dalam Kelas

Meskipun konstruktivisme memiliki definisi yang beragam, pandangan umumnya kebanyakan membantah bahwa pengetahuan menetap hanya dalam diri pembelajar dan bahwa kita tidak dapat mengajar representasi yang akurat mengenai “kebenaran”. Kita hanya dapat menegosiasikan makna-makna bersama (shared meaning) dengan para siswa dan memberikan mereka kesempatan untuk membangun pemahaman yang bermakna saat mereka terlibat dalam aktivitas yang dilakukan dengan sengaja (Jacobsen, 2003a).

Meskipun pandangan radikal mengenai kontruktivisme ini begitu diapresiasi oleh para akademisi, pandangan tersebut sering kali gagal menerapkan realitas praktis yang dihadapi guru dalam ruang kelas saat ini. Meskipun banyak bukti mengindikasikan bahwa para pembelajar sesunguhnya membangun pemahaman, tidak semua bentuk pemahaman valid seluruhnya, dan ada sebuah realitas yang bebas dari pemahaman individu (Eggen & Kauchauk, 2007). Jika hal ini tidak benar, para guru akan memiliki peran kecil dalam pendidikan, dan akibatnya, konstruktivisme akan muncul begitu saja. Tentu saja, kondisi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa para guru saat ini makin dibebani oleh tangung jawab untuk menfasilitasi perolehan pengetahuan kognitif konkret yang diukur berdasarkan penilaian yang terstandarisasi dan berpatokan tinggi.

Lingkungan pembelajaran konstruktivis mengutamakan dan menfasilitasi peran aktif siswa. Lingkungan pembelajaran konstruktivis mengubah fokus dari penyebaran informasi oleh guru, yang mendorong peran pasif siswa, menuju otonomi dan refleksi siswa, yang mendorong peran aktif siswa. Strategi - strategi pembelajaran aktif menganjurkan aktivitas - aktivitas pembelajaran yang di dalamnya siswa diberikan otonomi dan control yang luas untuk mengarahkan aktivitas-aktivtas pembelajaran. Aktivitas-aktivitas pembelajaran aktif meliputi pemecahan masalah, bekerja dalam bentuk kelompok kecil, pembelajaran kolaboratif, kerja investigative, dan pembelajaran eksperiential. Sebaliknya, aktivitas-aktivitas pembelajaran pasif, yang di dalamnya siswa hanya menjadi penerima informasi, melibatkan peran siswa hanya dalam aktivitas mendengarkan (listening) apa yang dikatakan oleh guru dan tak jarang mereka diberi pertanyaan-pertanyaan yang kurang berkualitas. Pergeseran paradigma pembelajaran konstruktivis ini didasarkan pada gagasan bahwa secara alamiah para pembelajar sebenarnya sudah memiliki sikap aktif dan rasa ingin tahu, yang kedua sifat ini kemudian menjadikan metode ceramah (lecture) dan buku ajar (textbook) bukan sebagai penekanan utama dalam pembelajaran kelas. Pergeseran semacam ini bukan berarti bahwa guru tidak perlu menjelaskan materi pelajaran pada siswa; sebaliknya, ia justru menyiratkan bahwa kita -sebagai guru- seharusnya curiga mengenai seberapa banyak pemahaman yang telah dikembangkan oleh para pembelajar dari penjelasan-penjelasan yang telah kita berikan dan sejauh mana rekaman atau catatan mereka tentang  pengetahuan tersebut. Meyakini bahwa para pembelajar membangun daripada sekedar mencatat/merekam pemahaman memiliki implikasi yang penting pada cara-cara kita m engajar. Selain beberapa peringatan yang telah terinci sebelumnya, sebagai para pendidik, kita seharusnya melakukan hal-hal berikut ini (Eggan & Kauchak, 2007):

ü  Menyediakan beragam contoh dan representasi materi pelajaran pada para pembelajar.

ü  Mendorong tingkat interaksi yang tinggi dalam pembelajaran kita.

ü  Menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata.

 Meskipun tidak ada satu pun teori konstruktivis yang memerinci berikut ini, banyak pendekatan konstruktivias yang merekomendasikan pada kita (Ormrod, 2000):

ü  Lingkungan-lingkungan pembelajaran yang menantang dan rumit, dan tugas-tugas yang autentik.

ü  Negosiasi sosial dan tangungjawab bersama (shared responsibility) sebagai bagian dari pembelajaran.

ü  Representasi-representasi materi pelajaran berganda.

ü  Pemahaman bahwa pengetahuan dapat dibangun.

ü  Pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Selain konstruktivisme, pembelajaran yang berpusat pada siswa memiliki fokus atau perhatian yang juga beragam. Pertama, saat siswa membangaun pemahaman mereka mengenai suatu materi pelajaran, mereka mengembangkan perasaan personal bahwa pengetahuan adalah milik mereka. Kedua, pemusatan siswa menekankan adanya penelitian dan pembelajaran berbasis masalah dan kerja kelompok. Aktivitas-aktivitas pemecahan masalah dalam ruang kelas semacam ini, beserta dengan komponen-komponen teori konstruktivis lain yang berpusat pada siswa, dibangun berdasarkan filsafat John Dewey (1906, 1938), seorang filsuf dari Amerika yang paling berpengaruh. Sebelumnya Dewey, pendidikan di Amerika Serikat masih bertujuan untuk menfasilitasi perolehan pengetahuan siswa. Namun, seiring dengan munculnya teori-teori Dewey dan metode reflektif, para pendidik kemudian sangat tertarik pada kemampuan siswa dalam berpikir mengenai informasi dan melibatkan diri mereka dalam pemecahan masalah yang nyata. Para guru yang menerapkan teori-teori Dewey lebih menekankan kurikulum yang berpusat pada siswa dan berorientasi pada aktivitas (a student-centered, activity-oriented curriculum) di setiap pembelajaran kelas mereka (Jacobsen, 2002b). Dewey lebih jauh percaya bahwa aktivitas-aktivitas seperti ini seharusnya berguna dan bernilai praktis, bahwa aktivitas-aktivitas pembelajaran yang efektif bagi siswa pada akhirnya dapat melibatkan mereka untuk belajar dengan tindakan (learning by doing), dan bahwa pembelajaran seharusnya menjadi pengalaman seumur hidup yang berkelanjutan dimana “otak/pikiran yang aktif dapat berorientasi dengan dunia terbika yang luasuntuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terus menerus muncul bersama dengan pengalaman sebelumnya meski dalam bentuk yang berbeda.” (Reed & Johnson, 2000: 91).

Teori-teori konstruktivis mengenai pembelajaran juga dipengaruhi oleh teori-teori pengembangannya Piaget (1952, 1959) dan teori-teori pembelajaran sosialnya Vygotsky. Kajian Piaget fokus pada pengalaman-pengalaman individu langsung yang menggerakkan pembelajaran secara berurutan pada periode waktu tertentu untuk membangun pengetahuan perseptual, konkret dan pada akhirnya abstrak. Kajian Vygotsky menekankan pentingnya interaksi socsal saat siswa berpartisipasi dalam tugas tugas pembelajaran. Para pembelajar meningkatkan pemikiran mereka sendiri dengan bersikap terbuka pada pandangan-pandangan dan wawasan-wawasan orang lain. Salah satu strategi pembelajaran kerja kelompok yang paling umum diimplementasikan adalah pembelajaran kooperatif  yang di dalamnya guru berperan mendorong pembelajar dengan menekankan pada kerja team/kelompok  sebagai lawan dari pendekatan kompetitif dalam pembelajaran. Dengan peran ini, guru dapat menfasilitasi usaha siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan.

Namun, kata yang penting untuk diperhatikan pada kalimat sebelumnya adalah kata dapat. Secara khusus, pandangan bahwa interaksi sosial menfasilitasi konstruksi pemahaman merupakan prinsip yang menggaris bawahi teori pembelajaran konstruktivis. Hal ini terkadang dimaksudkan pada tujuan bahwa seorang guru yang menerapkan pembelajaran kooperatif adalah seorang “konstruktivis,” padahal seseorang yang mengandalakan aktivitas-aktivitas pembelajaran berkelompok besar bukanlah seorang konstruktivis. Sebenarnya, ada guru yang mungkin mendasarkan pembelajaran mereka pada pandangan-pandangan konstruktivis, namun ada pula yang tidak. Pembelajaran berkelompok besar, yang dilakukan secara efektif, dapat mendorong konstruksi pemahaman, sementara pembelajaran kooperatif, yang dijalankan dengan kurang maksimal, tidak dapat mendorong konstruksi pemahaman (Eggen & Jacobsen, 2001). Oleh karena itu, yang perlu digarisbawahi bukanlah bagaimana para guru mengajar, tetapi lebih pada apa dan bagaimana para siswa belajar. Efektivitas suatu strategi pembelajaran dapat kita capai tidak dalam hal bagaimana strategi tersebut diimplementasikan, tetapi dalam hal apakah strategi dapat mendorong perolehan dan pemahaman personal siswa akan pengetahuan. Hal ini menyiratkan bahwa selama proses-proses perencanaan, para guru seharusnya tidak hanya mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tradisional mengenai pembelajaran – bagaimana mengatur dan menerapkan aktivitas aktivitas pembelajaran, bagaimana memotivasi siswa, dan bagaimana mengevaluasi pembelajaran- tetapi juga menganalisis semua hal tersebut dalam bentuk-bentuk pembelajaran siswa (Eggen & Kauchak, 2007).

 

b.      Memotivasi Siswa

Peran guru yang penting dalam mendorong pembelajaran siswa adalah meningkatkan keinginan siswa atau motivasi untuk belajar. Untuk melakukan tugas ini, guru perlu memahami siswa dengan baik agar nantinya guru mampu menyediakan pengalaman-pengalaman pembelajaran, yang darinya siswa akan menemukan sesuatu yang menarik, bernilai, dan secara instrinsik memotivasi, menantang, dan berguna bagi mereka (Kellough, 2000). Semakin baik guru memahami minat-minat siswa, dan menilai tingkat-tingkat keterampilan siswa, maka semakin efektif menjangkau dan mengajari mereka. Untuk memperoleh informasi, beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada mereka adalah sebagai berikut (McCarty & Siccone, 2001):

ü  Menurut anda hal-hal apa saja yang harus diketahui oleh orang “dewasa cerdas” ?

ü  Apa minat, hobi, dan cara-cara favorit yang anda gunakan untuk menghabiskan waktu anda?

ü  Skill, bakat, aktivitas, atau sesuatu apa yang membuat anda menikmatinya?

ü  Apa yang sangat tidak anda sukai?

ü  Apa yang paling anda takuti?

Orang tua dan guru mendorong motivasi siswa dengan berbagai cara. Contoh, sebagian besar orang tua memperkuat dan menghadiahi anak anak mereka dengan mengatakan kata-kata seperti “silakan/tolong” dan “terima kasih.” Hal ini dapat diterapkan secara efektif melalui modeling apabila orang tua menggunakan istilah-istilah ini dan secara personal mengilustrasikan daya tarik perilaku-perilaku sosial tersebut pada anak-anak mereka. Motivasi awal pada anak-anak dalam proses ini mungkin melibatkan konsep tentang nilai instrinsik. Ketika menggunakan “silakan/tolong” dan “terima kasih,” anak-anak mendapatkan apa yang mereka inginkan sekaligus berusaha menyenangkan orang tua mereka dengan proses ini pula. Namun, orang tua bukan berarti langsung mengajarkan proses tersebut pada anak-anak mereka; mereka hanya menfasilitas kemampuan anak-anak untuk menggali nilai ekstrinsik dengan menggunakan istilah-istilah ini dalam percakapan sehari-hari mereka. Meski demikian, beberapa pendidik kurang nyaman dengan aplikasi faktor-faktor motivasional yang didasarkan penghargaan - penghargaan instrinsik semacam ini karena menyenangkan orang lain dan menerima reward hanya akan menghasilkan keuntungan pembelajaran jangka pendek. Hanya saja, para pendidik ini mungkin masih menggunakan aplikasi penghargaan - penghargaan ekstrinsik, namun kemudian mereka membantu siswa untuk membuat perubahan dari penghargaan - penghargaan tersebut. Hal ini berarti bahwa siswa melakukan perubahan dari kebutuhan ekstrinsik untuk menyenangkan orang lain dan berpartisipasi agar memperoleh penghargaan menuju kebutuhan instrinsik untuk memperoleh pengetahuan atau memuaskan minat mereka. Sealin menawarkan reward untuk perilaku yang baik dan bagus, para guru seharusnya menekankan nilai atas aktivitas pembelajaran tertentu dan mendesain aktivitas ini dengan cara - cara yang membuat semua siswa yakin bahwa mereka akan sukses (Parsons & Brown, 2002).

Adakalanya, anda mungkin pernah mendengar seorang guru yang berkata, “ada anak -anak yang tidak dapat dimotivasi.” Sebenarnya para siswa tidak pernah tidak termotivasi, hanya saja mereka mungkin tidak tertarik dengan apa yang diajarkan guru. Berhubungan dengan “anak-anak yang tidak termotivasi” ini, tantangan guru adalah membantu siswa memahami relevansi atau aplikasi praktis dari tugas pembelajaran yang diberikan. Selain itu yang tak kalah penting adalah bahwa tugas yang diberikan harus sesuai dengan kapabilitas mereka. Jika tugas tersebut terlalu sulit atau terlalu mudah, mereka mungkin menghindarinya karena mereka bisa saja dibuat pusing atau justru bosan (Pintrich & Schunk, 2002; Stipek, 2002). Siswa sering kali meneruskan pekerjaan mereka pada tugas - tugas yang diberikan jika mereka mengalami perasaan pencapaian dan kepuasan yang benar - benar nyata. Keinginan untuk menghadapi, mengeksplorasi, dan mengatasi tantangan - tantangan, baik itu tantangan intelektual ataupun tantangan fisik, merupakan inti dari motivasi instrinsik dalam kelas yang harus digalakkan oleh guru. Siswa yang termotivasi karena keharusan untuk memahami dan menguasai suatu tugas (orientasi penguasaan/kemahiran) menunjukkan perilaku - perilaku dan pemikiran yang lebih positif daripada siswa yang mengerjakan sesuatu untuk hasil tertentu (orientasi performa) (McMillan, 2004).

Salah satu dari peran terpenting guru adalah meyakinkan pada siswa bahwa kita terlibat bersama mereka di setiap tantangan dan berada “dalam sudut mereka” di setiap saat. Hal ini tentu saja membutuhkan strategi - strategi organisasional dan personal yang fokus pada nilai dan kekuatan motivasi instrinsik dan dampak positipnya pada prestasi akademik siswa. Sulit bagi siswa untuk berhasil jika mereka kekurangan motivasi untuk tetap fokus pada tugas-tugas yang menentang. Para guru perlu mempertimbangkan faktor – faktor berikut ini untuk mendorong siswa fokus pada hasil pembelajaran yang diinginkan (Guillaume, 2004):

ü  Mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat.

ü  Memusatkan tingkat-tingkat perhatian.

ü  Menfasilitasi tanggapan atau kesadaran terhadap usaha - usaha yang masuk akal.

ü  Memusatkan kemungkinan akan kesuksesan.

ü  Menyediakan pengetahuan langsung atas hasil yang diperoleh.

Semakin banyak prestasi, atau kesuksesan, yang siswa alami, semakin besar kesempatan siswa mempertinggi harapan - harapan mereka dan semakin bertambah motivasi yang mereka dapatkan untuk mempertahankan dan mengupayakan tugas - tugas lain. Penelitian menunjukkan bahwa motivasi merupakan variabel yang kuat dalam proses pembelajaran, bahkan boleh jadi merupakan variabel yang lebih penting daripada kemampuan (Pintrich & Shunk, 2002).

Meskipun keterlibatan merupakan komponen penting dalam memotivasi atau menarik siswa, strategi - strategi organisasional guru seharusnya juga fokus pada dukungan struktur dan otonomi. Dengan menciptakan struktur-struktur organisasional ruang kelas yang dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mencukupi kebutuhan kompetensi mereka. Selain strategi-strategi organisasional, interaksi-interaksi guru dengan siswa merupakan factor motivasional yang juga penting. Strategi - strategi pembelajaran personal untuk meningkatkan motivasi memerlukan sikap tulus, positip, semangat, dan suportif dari seorang guru. Selain itu, salah satu dari cara paling ampuh dalam mengkomunikasikan minat kita sebagai guru adalah dengan mendengarkan apa yang siswa katakan dan membiarkan mereka mengetahui bahwa kita menghargai pemikiran - pemikiran dan kontribusi - kontribusi mereka pada kelas. Pada akhirnya, humor dapat menjadi perangkat yang mutlak dilakukan untuk mendorong hubungan positip antara guru dan siswa.

 

Daftar Pustaka

Campbell, L., Campbell, B., & Dickinson, D. (2004). Teaching and Learning Through Multiple Intelligences. Boston: Pearson

Education.

Dewey, J. (1906). Democracy and Education. New York: Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Macmillan.

Eggen, P., & Jacobsen, D. (2001). Constructivism and the Architecture of Cognition: Implications for Instruction. Seattle, WA:

American Education Research Association.

Eggen, P, & Kauchak, D. (2007). Educational Psychology: Windows and Classrooms (7th Ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.

Guillaume, A. (2004). K-12 Classroom Teaching: A Primer for New Professionals (2nd Ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson

Education.

Jacobsen, D. (2002). Philosophy in Classroom Teaching: Bridging the Gap (2nd Ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

Jacobsen, D. (2003). Historical Foundations of Cognitive and Social Constructivism: A Philosophical Perspective. Chicago: Midwest

History of Education Society.

McCarty, H., & Siccone, F. (2001). Motivating Your Students. Boston: Allyn and Bacon.

McMillan, J. (2004). Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Instruction. Boston: Pearson Education.

Ormord, J. (2000). Educational Psychology. Columbus, OH: Merrill/Prentice Hall

Pearsons, R., & Brown, K. (2002). Teacher and reflective Practitioner and Action Researcher. Belmont, CA: Wadsworth.

Piaget, J. (1952). Origins of Intelligence in Children. New York: International Universities Press.

Piaget, J. (1959). Language and Thought of the Child (M. Grabain, Trans). New York: Humanities press.

Pintrich, P., & Schunk, D. (2002). Motivation in Education: Theory, Research, and Applications (2nd Ed.) Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Reed, R., & Johnson, T. (2000). Philosophical Documents in Education. (2nd ed, hlm. 91). New York: Longman.

Stipek, D. (2002). Motivation to Learn: Integrating Theory and Practice (4th ed.). Boston: Allyn Bacon

BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit