Tampilkan postingan dengan label teori belajar kultural. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori belajar kultural. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 November 2014

Teori Belajar Kultural dan Pembelajaran Berbasis Budaya

Perluasan Konsepsi Teori Belajar Kultural Dikaitkan dengan Pembelajaran Berbasis Budaya, Teori belajar kultural menghendaki agar dalam proses pembelajaran individu dilibatkan secara aktif dalam suatu setting sosial dan interaksi sosial. Dengan demikian, proses pembelajaran harus memberikan tempat bagi nilai-nilai budaya. Pendidikan merupakan salah satu saluran untuk mewariskan budaya pada generasi muda. Penyelenggaraan pendidikan harus berjalan dinamis mengikuti perkembangan dan kemajuan jaman, tetapi tetap meneguhkan arti penting kebudayaan sebagai karakteristik bangsa. clip_image002

Koentjoroningrat menyatakan bahwa budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut (Sujarwa, 2010: 28). Budaya bisa diikuti secara menyeluruh oleh warga masyarakat (universe), atau hanya diikuti oleh suatu kelompok secara khusus (speciality). Ini sama halnya dengan bahwa budaya dapat dilihat dari wilayah berlakunya, yakni budaya dalam lingkup makro, dan budaya dalam lingkup mikro.

Budaya dalam lingkup makro, menunjuk pada budaya yang dimiliki dan dianut oleh kelompok masyarakat tertentu dalam cakupan wilayah yang luas. Wilayah disini tidak hanya mengarah pada wilayah dalam artian tempat, tetapi juga meliputi wilayah dalam artian orang-orang yang menganutnya. Contoh budaya dalam cakupan makro, yakni: budaya masyarakat Jawa, budaya Sumatera, budaya masyarakat urban, dan lain sebagainya. Budaya dalam lingkup mikro, menunjuk pada budaya yang dimiliki dan dianut oleh kelompok masyarakat tertentu dalam cakupan wilayah yang sempit. Misalnya budaya sekolah, yang hanya berlaku di sekolah tersebut, dimana kondisi pola hubungan, kebiasaan-kebiasaan, tata aturan yang dimiliki bisa jadi berbeda dengan sekolah yang lain. Lebih sempit lagi, yakni budaya individu. Kaitannya dengan teori belajar kultural adalah prakarsa belajar seseorang sangat dipengaruhi oleh individual culture yang besangkutan. Individual culture terbentuk dari pola asuh dan pola didik seseorang dalam lingkungan keluarganya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor perkembangan individu.

Pada kenyataannya, periode sekolah akan memisahkan seseorang dari komunitas budayanya, karena sekolah memiliki budaya sendiri. Di lain sisi, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah juga memperkenalkan budaya lain (atau bahkan bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya. Tidak heran, jika pada akhirnya, dampak dari proses pendidikan formal adalah siswa atau lulusan, tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional dalam komunitas budayanya.

Hal ini terutama karena jarang ada sekolah atau guru yang mau atau mampu mengintegrasikan tradisi budaya siswa, dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Situasi tersebut merupakan gambaran umum yang terjadi karena, proses pendidikan formal sebagai proses pembelajaran ditempatkan terpisah dari proses akulturasi, dan terpisah dari konteks suatu komunitas budaya. Di samping itu, banyak juga orang yang memandang mata pelajaran disekolah memiliki tempat yang tinggi (social prestige), daripada tradisi budaya lokal yang dipandang tidak berarti dan rendah (discrimination). Keadaan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa hanya sebagian orang memiliki akses terhadap pendidikan karena berbagai kendala (sosioekonomik, geografik, waktu, kemampuan), sehingga pendidikan menjadi bersifat elit, dan disebut ivory tower. Padahal, proses pendidikan sebagai proses pembudayaan memiliki nilai hanya jika hasilnya dapat diterapkan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam konteks suatu komunitas budaya, dan hanya jika lulusannya dapat berguna bagi pembangunan suatu komunitas budaya lokal, maupun nasional.

Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan terjadi di mana-mana, secara formal maupun informal, dan bagi siapa saja sepanjang masa. Ini karena, pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan belajar. Budaya memberikan cara untuk mengetahui, sama seperti mata pelajaran lain memberikan cara untuk mengetahui bidang-bidang tertentu dalam kehidupan manusia. Budaya menjadi konteks tempat mata pelajaran dipelajari, serta tempat hasil pendidikan diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut. Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan harus mampu menjadikan budaya sebagai bagian yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang ditawarkan, serta menjadikan mata pelajaran yang diperoleh siswa sebagai bagian dari budayanya, dan bagi pengembangan komunitas budayanya.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, dan perkembangan pengetahuan. Budaya merupakan alat yang sangat baik untuk memotivasi siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersepsikan keterkaitan antara berbagai mata pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya yang diintegrasikan menjadi alat bagi proses belajar. Pembelajaran berbasis budaya sebagai strategi pembelajaran mendorong terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya.

Partisipasi dengan dan melalui beragam bentuk perwujudan budaya memberikan kebebasan bagi siswa untuk belajar dan menggali prinsip-prinsip dalam suatu mata pelajaran, menemukan hal-hal yang bermakna di sekelilingnya, dan mendorongnya untuk membuka dan menemukan hal-hal yang baru di dunia baru. Pendidikan merupakan proses untuk menjadi (a process of becoming ). Proses "menjadi" atau pembentukan karakter dan identitas merupakan proses yang sangat fundamental dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya memungkinkan siswa dan guru untuk menggali semua bentuk yang nyata maupun yang tidak nyata yang bermakna dalam proses "menjadi".

Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukans ekadar mentransfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya kepada siswa, tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus batas imajinasi dan kreativitas, untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang mata pelajaran yang dipelajarinya. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, antara lain:

1. Belajar tentang Budaya.

Belajar tentang budaya artinya menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya, sudah cukup dikenal selama ini, misalnya dalam mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan sastra, seni suara, melukis/ menggambar, seni musik, seni drama, tari dan lain-lain. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Mata pelajaran tersebut tidak terintegrasi dengan mata pelajaran lain, dan tidak berhubungan satu sama lain.

2. Belajar dengan Budaya

Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Misalnya: siswa diminta guru untuk membuat laporan mengenai kehidupan masyarakat suku yang terisolasi dari dun ia luar. Guru memanfaatkan peranan media massa, dalam hal ini program televisi Etnic Runaway yang harus ditonton siswa dan siswa harus membuat laporan tertulis dari acara tersebut. Contoh lain, guru mempergunakan berbagai bentuk dan ukuran gong untuk memperkenalkan konsep bunyi, gelombang bunyi, dan gema dalam pelajaran fisika.

3. Belajar melalui Budaya.

Merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assessment atau bentuk penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya, siswa tidak perlu mengerjakan tes untuk menjelaskan tentang proses pembuatan kebijakan (dalam mata pelajaran PKn), tetapi siswa dapat membuat poster, membuat karikatur, lagu ataupun puisi yang melukiskan proses pembuatan kebijakan. Dengan menganalisis produk budaya yang diwujudkan, guru dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam topik proses fotosintesis, dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperlihatkan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu mata pelajaran, serta imajinasi kreatifnya dalam mengekspresikan pemahamannya.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan perluasan konsepsi teori belajar kultural karena telah menempatkan budaya dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Disampaing telah memenuhi penanaman nilai-nilai universal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Pendidikan merupakan proses untuk merubah tingkah laku ke arah yang positif, sehingga pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang tidak hanya berfokus pada penguasaan kognisi, tetapi juga afeksi dan psikomotor peserta didik.

Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal harus lebih mengaplikasikan teori pembelajaran kultural dengan berbagai model pembelajaran yang memenuhi kriteriumnya dan dengan memberikan porsi bagi peranan budaya di dalamnya. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan yang modern dapat tetap tercapai, pewarisan budaya bangsa dapat terlaksana, dan pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kebangsaan Pancasila dapat diraih.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 21 Oktober 2014

Teori Kultural Edward Burnett Tylor

Teori Belajar Kultural Edward Burnett Tylor. Antropologi sosial dan antropologi budaya bertumpu dan berpedoman kepada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu antropologi mencoba menguraikan hubungan antara berbagai aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan sebagai wujud makhluk sosial. Walaupun dikalangan antropologis terdapat minat yang bermacam-macam tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu keinginan untuk memahami hubungan manusia dalam masyarakat. Pendidikan sebagai salah satu wujud hubungan manusia dalam masyarakat memiliki keterjaitan dengan antropologi. Ini artinya antropologi turut menyumbang tersusunnya teori belajar kultural. clip_image002

E.B Tylor merupakan seorang antropolog yang berasal dari Inggris. Tylor tidak mengemukakan devinisi belajar kultural, tetapi memberikan teori mengenai budaya. Teori budaya sebagai bagian dalam teori belajar kultural perlu dibahas karena substansi budaya merupakan salah satu pijakan teori belajar kultural. Tylor telah menulis tentang berbagai macam masalah, tetapi yang terpenting ialah teori tentang ‘budaya’ yang diartikan oleh Tylor pada tahun 1871. Karena teorinya itu maka Tylor terus diingat dalam sejarah perkembangan antropologi. Teori itu berbunyi: "Budaya dalam arti kata etnografis yang luas, ialah gagasan keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila, adat, dan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat’. Sehingga teori awal yang dibuat oleh Tylor terhadap ‘budaya’ masih dianggap penting oleh kalangan antropologis.

E.B. Tylor menganut cara berpikir evolusionisme. Beliau berpendapat bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa yang disebabkan oleh dua hal yaitu perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dengan hal-hal yang mati, dan peristiwa mimpi. Pada saat tidur atau pikiran melayang hubungan jiwa dan raga akan tetap ada. Tetapi jika manusia mati hubungan jiwa dan raga akan terputus. Jiwa yang terputus dari raga akan bebas mengisi alam yang akan menjadi makhluk halus yang akan hidup berdampingan dengan manusia, ditempatkan pada posisi yang penting yaitu dijadikan obyek penghormatan dan penyembahan. E.B Tylor juga berpendirian bahwa bentuk religi paling tua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Penyembahan terhadap makhluk halus menurut E.B Tylor disebut sebagai animisme yang pada akhirnya merupakan bentuk religi tertua. Makhluk halus penghuni alam sering disebut sebagai Dewa. Semua Dewa pada hakekatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi. Dewa memiliki tingkatan dan tingkat tertinggi para dewa menurut keyakinan terhadap satu Dewa atau Tuhan dan akan timbul religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.

Teori yang lain tentang kebudayaan, E.B Tylor beranggapan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Keberadaan sistem religi ternyata mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya. Akulturasi dan asimilasi antara sistem religi dan kebudayaan dalam lingkup masyarakat pun menjadikan corak pendidikan yang beragam. Teori belajar kultural senantiasa mengambil bentuk aplikasi yang disesuaikan dengan keduannya.

BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit