Tampilkan postingan dengan label teori belajar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori belajar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 November 2014

Penerapan teori belajar kultural

Penjelasan mengenai teori belajar kultural oleh para ahli dilakukan melalui berbagai pendekatan teori pembelajaran yang diformulasikan dengan aspek kultur lingkungan masyarakat dan lingkungan alam. Pendevinisian teori belajar kultural, oleh para ahli dirumuskan dalam bentuk pendekatan-pendekatan teori belajar yang lain, yakni: teori belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori belajar sosial, dan teori belajar sosio kutural atau banyak disebut dengan istilah teori belajar revolusi-sosio kultural.

Penekanan bahwa peserta didik aktif dalam pembelajaran harus dipadukan dengan adanya peranan budaya yang diperoleh dari pola hubungan dan interaksi baik antara peserta didik, guru, lingkungan, maupun masyarakat. Namun demikian, patut diakui bahwa tidak ada teori belajar yang paling sempurna, termasuk teori belajar kultural. Disamping kelebihan-kelebihan yang dimiliki, teori belajar kultural juga memiliki kelemahan. clip_image002

Aplikasi teori belajar kultural dapat terjadi pada tiga jenis pendidikan, antara lain: (1) pendidikan informal; (2) pendidikan non formal; serta (3) pendidikan formal. Aplikasi teori pembelajaran kultural juga meliputi model pembelajaran sebagai strategi yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran di kelasnya. Pengembangan pembelajaran dalam hal ini adalah aplikasi pembelajaran di sekolah yang menggunakan berbagai pendekatan atau model pembelajaran yang memenuhi prinsip teori-teori tersebut. Pembelajaran yang memenuhi kriterium model pembelajaran PAKEM bisa dikatakan relevan dengan teori belajar kultural. Beberapa model pembelajaran yang bisa dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran yang diampunya antara lain dengan penggunaan model belajar: (1) Inquiry dan discovery; (2) Guidence – to individual learning; (3) Cooperative learning, dan masih banyak lagi seperti; simulasi, role play, eksperiment learning, Web-Based Education atau juga disebut e-learning dan sebagainya.

Perluasan konsepsi teori belajar kultural dalam hal ini dikaitkan dengan pembelajaran berbasis budaya, dimana budaya memiliki tempat dalam proses pembelajaran secara khusus dan memiliki tempat pula dalam penyelenggaraan pendidikan secara umum.

Penulisan makalah mengenai teori belajar kultural ini diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terutama bagi guru untuk memulai mengaplikasikan model-model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar kultural. Aplikasi teori belajar kultural juga diharapkan mencakup pelaksanaan pembelajaran berbasis budaya, sehingga pembelajaran yang diselenggarakan meliputi pula penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang luhur, yang berguna bagi pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang tangguh.

Pelaku dan pemerhati pendidikan agar memberikan formulasi yang lengkap dan jelas mengenai teori belajar kultural dengan berbagai aplikasinya. Terutama bagi pelaku dan pemerhati pendidikan di Indonesia agar menciptakan suatu pendekatan pembelajaran melalui teori belajar kultural, yang mengacu pada aspek pengembangan karakteristik kebangsaan, sehingga sesuai untuk diterapkan dalam paradigma pendidikan di Indonesia yang latar belakang masyarakatnya sangat plural.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 04 November 2014

Teori Belajar Kultural dan Pembelajaran Berbasis Budaya

Perluasan Konsepsi Teori Belajar Kultural Dikaitkan dengan Pembelajaran Berbasis Budaya, Teori belajar kultural menghendaki agar dalam proses pembelajaran individu dilibatkan secara aktif dalam suatu setting sosial dan interaksi sosial. Dengan demikian, proses pembelajaran harus memberikan tempat bagi nilai-nilai budaya. Pendidikan merupakan salah satu saluran untuk mewariskan budaya pada generasi muda. Penyelenggaraan pendidikan harus berjalan dinamis mengikuti perkembangan dan kemajuan jaman, tetapi tetap meneguhkan arti penting kebudayaan sebagai karakteristik bangsa. clip_image002

Koentjoroningrat menyatakan bahwa budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut (Sujarwa, 2010: 28). Budaya bisa diikuti secara menyeluruh oleh warga masyarakat (universe), atau hanya diikuti oleh suatu kelompok secara khusus (speciality). Ini sama halnya dengan bahwa budaya dapat dilihat dari wilayah berlakunya, yakni budaya dalam lingkup makro, dan budaya dalam lingkup mikro.

Budaya dalam lingkup makro, menunjuk pada budaya yang dimiliki dan dianut oleh kelompok masyarakat tertentu dalam cakupan wilayah yang luas. Wilayah disini tidak hanya mengarah pada wilayah dalam artian tempat, tetapi juga meliputi wilayah dalam artian orang-orang yang menganutnya. Contoh budaya dalam cakupan makro, yakni: budaya masyarakat Jawa, budaya Sumatera, budaya masyarakat urban, dan lain sebagainya. Budaya dalam lingkup mikro, menunjuk pada budaya yang dimiliki dan dianut oleh kelompok masyarakat tertentu dalam cakupan wilayah yang sempit. Misalnya budaya sekolah, yang hanya berlaku di sekolah tersebut, dimana kondisi pola hubungan, kebiasaan-kebiasaan, tata aturan yang dimiliki bisa jadi berbeda dengan sekolah yang lain. Lebih sempit lagi, yakni budaya individu. Kaitannya dengan teori belajar kultural adalah prakarsa belajar seseorang sangat dipengaruhi oleh individual culture yang besangkutan. Individual culture terbentuk dari pola asuh dan pola didik seseorang dalam lingkungan keluarganya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor perkembangan individu.

Pada kenyataannya, periode sekolah akan memisahkan seseorang dari komunitas budayanya, karena sekolah memiliki budaya sendiri. Di lain sisi, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah juga memperkenalkan budaya lain (atau bahkan bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya. Tidak heran, jika pada akhirnya, dampak dari proses pendidikan formal adalah siswa atau lulusan, tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional dalam komunitas budayanya.

Hal ini terutama karena jarang ada sekolah atau guru yang mau atau mampu mengintegrasikan tradisi budaya siswa, dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Situasi tersebut merupakan gambaran umum yang terjadi karena, proses pendidikan formal sebagai proses pembelajaran ditempatkan terpisah dari proses akulturasi, dan terpisah dari konteks suatu komunitas budaya. Di samping itu, banyak juga orang yang memandang mata pelajaran disekolah memiliki tempat yang tinggi (social prestige), daripada tradisi budaya lokal yang dipandang tidak berarti dan rendah (discrimination). Keadaan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa hanya sebagian orang memiliki akses terhadap pendidikan karena berbagai kendala (sosioekonomik, geografik, waktu, kemampuan), sehingga pendidikan menjadi bersifat elit, dan disebut ivory tower. Padahal, proses pendidikan sebagai proses pembudayaan memiliki nilai hanya jika hasilnya dapat diterapkan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam konteks suatu komunitas budaya, dan hanya jika lulusannya dapat berguna bagi pembangunan suatu komunitas budaya lokal, maupun nasional.

Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan terjadi di mana-mana, secara formal maupun informal, dan bagi siapa saja sepanjang masa. Ini karena, pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan belajar. Budaya memberikan cara untuk mengetahui, sama seperti mata pelajaran lain memberikan cara untuk mengetahui bidang-bidang tertentu dalam kehidupan manusia. Budaya menjadi konteks tempat mata pelajaran dipelajari, serta tempat hasil pendidikan diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut. Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan harus mampu menjadikan budaya sebagai bagian yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang ditawarkan, serta menjadikan mata pelajaran yang diperoleh siswa sebagai bagian dari budayanya, dan bagi pengembangan komunitas budayanya.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, dan perkembangan pengetahuan. Budaya merupakan alat yang sangat baik untuk memotivasi siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersepsikan keterkaitan antara berbagai mata pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya yang diintegrasikan menjadi alat bagi proses belajar. Pembelajaran berbasis budaya sebagai strategi pembelajaran mendorong terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya.

Partisipasi dengan dan melalui beragam bentuk perwujudan budaya memberikan kebebasan bagi siswa untuk belajar dan menggali prinsip-prinsip dalam suatu mata pelajaran, menemukan hal-hal yang bermakna di sekelilingnya, dan mendorongnya untuk membuka dan menemukan hal-hal yang baru di dunia baru. Pendidikan merupakan proses untuk menjadi (a process of becoming ). Proses "menjadi" atau pembentukan karakter dan identitas merupakan proses yang sangat fundamental dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya memungkinkan siswa dan guru untuk menggali semua bentuk yang nyata maupun yang tidak nyata yang bermakna dalam proses "menjadi".

Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukans ekadar mentransfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya kepada siswa, tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus batas imajinasi dan kreativitas, untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang mata pelajaran yang dipelajarinya. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, antara lain:

1. Belajar tentang Budaya.

Belajar tentang budaya artinya menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya, sudah cukup dikenal selama ini, misalnya dalam mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan sastra, seni suara, melukis/ menggambar, seni musik, seni drama, tari dan lain-lain. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Mata pelajaran tersebut tidak terintegrasi dengan mata pelajaran lain, dan tidak berhubungan satu sama lain.

2. Belajar dengan Budaya

Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Misalnya: siswa diminta guru untuk membuat laporan mengenai kehidupan masyarakat suku yang terisolasi dari dun ia luar. Guru memanfaatkan peranan media massa, dalam hal ini program televisi Etnic Runaway yang harus ditonton siswa dan siswa harus membuat laporan tertulis dari acara tersebut. Contoh lain, guru mempergunakan berbagai bentuk dan ukuran gong untuk memperkenalkan konsep bunyi, gelombang bunyi, dan gema dalam pelajaran fisika.

3. Belajar melalui Budaya.

Merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assessment atau bentuk penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya, siswa tidak perlu mengerjakan tes untuk menjelaskan tentang proses pembuatan kebijakan (dalam mata pelajaran PKn), tetapi siswa dapat membuat poster, membuat karikatur, lagu ataupun puisi yang melukiskan proses pembuatan kebijakan. Dengan menganalisis produk budaya yang diwujudkan, guru dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam topik proses fotosintesis, dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperlihatkan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu mata pelajaran, serta imajinasi kreatifnya dalam mengekspresikan pemahamannya.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan perluasan konsepsi teori belajar kultural karena telah menempatkan budaya dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Disampaing telah memenuhi penanaman nilai-nilai universal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Pendidikan merupakan proses untuk merubah tingkah laku ke arah yang positif, sehingga pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang tidak hanya berfokus pada penguasaan kognisi, tetapi juga afeksi dan psikomotor peserta didik.

Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal harus lebih mengaplikasikan teori pembelajaran kultural dengan berbagai model pembelajaran yang memenuhi kriteriumnya dan dengan memberikan porsi bagi peranan budaya di dalamnya. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan yang modern dapat tetap tercapai, pewarisan budaya bangsa dapat terlaksana, dan pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kebangsaan Pancasila dapat diraih.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 28 Oktober 2014

Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural. Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural tidak bisa dilakukan dengan mengeralisasikannya begitu saja. Di bagian awal telah disebutkan bahwa teori belajar kultural hanya mampu didevinisikan dan dijelaskan dneagn mengunakan berbagai pendekatan teori belajar yang lain, terutama konstruktivisme dan sosio-kultural. Mengidentivikasi kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural dipandang dari perspektif pendekatan tertentu. clip_image002

Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan, antara lain:

1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.

2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya.

3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental.

4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah.

5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keuntungan sebagaimana telah dideskripsikan di atas akan memberikan implikasi positif bagi peserta didik, antara lain:

1. Mendorong peserta didik untuk berfikir dalam proses membina pengetahuan baru. Siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, menemukan ide dan membuat keputusan.

2. Peserta didik akan memiliki pemahaman, kerana terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru. Peserta didik akan lebih faham dan dapat mengapliksikannya dalam semua situasi.

3. Memiliki ingatan yang kuat terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan dan pengalaman, kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama tentang semua konsep. Siswa melalui pendekatan ini membina sendiri pemahamannya.

4. Memiliki efikasi diri yang tinggi, yakni memiliki keyakinan bahwa dirinya dan orang lain yang terlibat dalam interaksi belajar akan mampu mengatasi permasalahan dalam pembelajaran.

5. Memiliki kemahiran sosial yang diperoleh melalui interaksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.

6. Pembelajaran berlangsung menyenangkan, kerana peserta didik terlibat secara aktif dan berkelanjutan.

Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 21 Oktober 2014

Teori Kultural Edward Burnett Tylor

Teori Belajar Kultural Edward Burnett Tylor. Antropologi sosial dan antropologi budaya bertumpu dan berpedoman kepada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu antropologi mencoba menguraikan hubungan antara berbagai aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan sebagai wujud makhluk sosial. Walaupun dikalangan antropologis terdapat minat yang bermacam-macam tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu keinginan untuk memahami hubungan manusia dalam masyarakat. Pendidikan sebagai salah satu wujud hubungan manusia dalam masyarakat memiliki keterjaitan dengan antropologi. Ini artinya antropologi turut menyumbang tersusunnya teori belajar kultural. clip_image002

E.B Tylor merupakan seorang antropolog yang berasal dari Inggris. Tylor tidak mengemukakan devinisi belajar kultural, tetapi memberikan teori mengenai budaya. Teori budaya sebagai bagian dalam teori belajar kultural perlu dibahas karena substansi budaya merupakan salah satu pijakan teori belajar kultural. Tylor telah menulis tentang berbagai macam masalah, tetapi yang terpenting ialah teori tentang ‘budaya’ yang diartikan oleh Tylor pada tahun 1871. Karena teorinya itu maka Tylor terus diingat dalam sejarah perkembangan antropologi. Teori itu berbunyi: "Budaya dalam arti kata etnografis yang luas, ialah gagasan keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila, adat, dan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat’. Sehingga teori awal yang dibuat oleh Tylor terhadap ‘budaya’ masih dianggap penting oleh kalangan antropologis.

E.B. Tylor menganut cara berpikir evolusionisme. Beliau berpendapat bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa yang disebabkan oleh dua hal yaitu perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dengan hal-hal yang mati, dan peristiwa mimpi. Pada saat tidur atau pikiran melayang hubungan jiwa dan raga akan tetap ada. Tetapi jika manusia mati hubungan jiwa dan raga akan terputus. Jiwa yang terputus dari raga akan bebas mengisi alam yang akan menjadi makhluk halus yang akan hidup berdampingan dengan manusia, ditempatkan pada posisi yang penting yaitu dijadikan obyek penghormatan dan penyembahan. E.B Tylor juga berpendirian bahwa bentuk religi paling tua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Penyembahan terhadap makhluk halus menurut E.B Tylor disebut sebagai animisme yang pada akhirnya merupakan bentuk religi tertua. Makhluk halus penghuni alam sering disebut sebagai Dewa. Semua Dewa pada hakekatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi. Dewa memiliki tingkatan dan tingkat tertinggi para dewa menurut keyakinan terhadap satu Dewa atau Tuhan dan akan timbul religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.

Teori yang lain tentang kebudayaan, E.B Tylor beranggapan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Keberadaan sistem religi ternyata mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya. Akulturasi dan asimilasi antara sistem religi dan kebudayaan dalam lingkup masyarakat pun menjadikan corak pendidikan yang beragam. Teori belajar kultural senantiasa mengambil bentuk aplikasi yang disesuaikan dengan keduannya.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 14 Oktober 2014

Teori Sosial Albert Bandura

Teori Belajar Sosial Albert Bandura. Bandura adalah seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial, serta efikasi diri. Bandura melakukan berbagai eksperimen teori pembelajaran imitatif yang kemudian dikembangkan pada eksperimen pembelajaran observasi. Dalam pembelajaran imitatif, ditemukan fakta bahwa pembelajar cenderung menunujukkan perilaku meniru tindakan model yang dilihatnya. Lain halnya dengan eksperimennya mengenai teori belajar observasi. Teori belajar observasi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari sekedar imitatif. Teori belajar observasi memposisikan peserta didik sebagai pengamat terhadap model maupun setting pembelajaran. Peserta didik sebagai pengamat tidak sekadar meniru apa yang diamatinya. Menurut teori belajar sosisal yang dikemukakan oleh Bandura (Gredrel, 1994: 370), hal yang sangat penting dalam pembelajaran observasi adalah: (1) kemampuan individu untuk mengambil sari informasi dari tingkah laku orang lain; dan (2) memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk melaksanakan tingkah laku tersebut. clip_image002

Teori belajar sosial Albert Bandura sebenarnya terintegrasi dalam teori belajar imitatif dan observasi, yang sebenarnya mendasarkan eksperimen belajar yang dilakukan dari teori belajar behavioristik. Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:

1. Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.

2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.

3. Reproduksi motori, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, dan keakuratan umpan balik.

4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Selain itu, juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan, diperoleh dnegan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik, kemudian melakukannya.

2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai, dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, belajar sosial (juga dikenal sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model) adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari pengamatan, penguasaan dan, dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di dalamnya ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan antara belajar sosial dengan belajar melalui pengkondisian klasik dan operant.

Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar observasional tanpa adanya imitasi.

Teori belajar sosial menurut bandura erat kaitannya dengan perilaku peserta didik yang terbentuk dari hubungan antara pembelajar dengan lingkungannya. Menurut pandangan faham belajar sosial, tingkah laku dan lingkungan dapat diubah, dan tidak satu pun merupakan penentu utama dari terjadinya perubahan tingkah laku. Pemerolehan tingkah laku kompleks tidak dapat diterangkan dengan hubungan dua arah antara lingkungan dan individu. Bandura mengajukan hubungan segitiga yang saling berkaitan. Berikut visualisasinya:

clip_image001

Hubungan segitiga (model deterministic resipkoral) oleh Albert Bandura: antara faktor pribadi (P) – faktor lingkungan (L) – faktor tingkah laku.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 23 September 2014

Definisi Teori Belajar Kultural

Definisi Teori Belajar Kultural.

Berbeda dengan teori-teori belajar yang muncul lebih dahulu, (seperti: teori belajar disiplin mental, teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, dan teori belajar humanisme), pengertian teori belajar kultural tidak dijabarkan secara eksplisit. Pendevinisian teori belajar kultural, oleh para ahli dirumuskan dalam bentuk pendekatan-pendekatan teori belajar yang lain, yakni: teori belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori belajar sosial, dan teori belajar sosio kutural atau banyak disebut dengan istilah teori belajar revolusi-sosio kultural. clip_image001

Lahirnya teori belajar kultural merupakan bentuk kritik atas teori-teori belajar pendahulunya. Para ahli berpandangan bahwa teori-teori belajar yang telah ada sebelumnya telah mengabaikan aspek bahwa manusia sebagai makhluk individu dan sosial telah terlepas dari lingkungan sosialnya dalam proses belajar yang dialami dan dilakukan. Lingkungan, melalui pola interaksinya merupakan setting sekaligus bahan belajar yang mampu membentuk dan merubah perilaku pembelajar. Oleh karenanya, belajar adalah proses integrasi antara individu dengan lingkungan. Devinisi lingkungan dalam hal ini memiliki cakupan yang luas, meliputi lingkungan sosial dan lingkungan alam dengan berbagai aspek yang mengitarinya, antara lain: interaksi antar individu, pola hubungan kelompok, kebudayaan, psikologi sosial, dan sebagainya. Terdapat tiga aspek penting dalam teori belajar kultural, antara lain:

1. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat.

2. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.

3. Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan di dalam kehidupan berbudaya, sehingga akan terjadi proses perubahan.

Penekanan pada aspek kebudayaan masyarakat dalam teori belajar kultural memiliki alasan yang kuat. Kebudayaan sebagai hasil pola hubungan dan interaksi masyarakat yang telah disepakati, dianut, dijalankan, dipertahankan, dan berlangsung secara kontinyu, oleh kelompok masyarakat tertentu, memiliki pengaruh signifikan terhadap corak pendidikan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 16 September 2014

Teori belajar kultural

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan bangsa dan negara. Kualitas pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mutu sumber daya manusia. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan mengenai pengertian pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. clip_image002

Melihat konsepsi pendidikan di atas, pendidikan harus dilakukan secara berkesinambungan sesuai dengan konsep long life education, yakni bahwa pendidikan sebagai suatu proses yang terjadi sepanjang hidup. Penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk memberikan perubahan perilaku peserta didik, dimana perubahan tersebut dapat terlihat, bersifat permanen, memiliki arahan yang positif bagi individu. Pelaksanaan pendidikan tidak hanya dimonopoli oleh pendidikan formal. Pelaksanaan pendidikan juga meliputi pendidikan informal dan non formal. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Setiap orang tentunya merasakan pendidikan informal. Bahkan pendidikan informal ini merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang pertama kali dialami oleh setiap individu. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Implementasi pendidikan non formal antara lain; berbagai kursus keterampilan, program Kejar Paket A, B, dan C.

Kenyataan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi kuantitas warga negara dalam mengenyam pendidikan formal, seharusnya tidak menjadikan masyarakat yang kurang mampu tidak dapat menikmati pendidikan. Keberadaan pendidikan non formal memiliki peranan penting untuk mengakomodir masyarakat yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal, dengan berbagai latar belakang alasan. Ditinjau dari fungsi, cakupan, dan jenis pembelajaran antara pelaksanaan pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan non formal memang berbeda. Salah satu perbedaannya terletak pada budaya belajar dalam kawasan tiga pelaksanaan pendidikan tersebut. Budaya belajar mempengaruhi proses pembelajaran, di lain sisi proses pembelajaran pun dapat mempengaruhi budaya belajar di lingkungan pendidikan.

Budaya belajar sebagai faktor pengaruh dan faktor yang dipengaruhi, terbentuk dari budaya (kultur) yang berkembang di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Baik kultur makro maupun kultur mikro. Teori belajar kultural sangat berkaitan erat dengan penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan formal, informal, maupun non formal. Teori belajar kultural memandang bahwa aspek-aspek sosial memasyarakatan, aspek kebudayaan, dan aspek lingkungan, merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran dan keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Patut diakui, bahwa kebudayaan yang berkembang dalam kelompok masyarakat tertentu akan menentukan bentuk maupun corak pembelajaran yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan.

Namun demikian, di negara-negara berkembang adopsi sistem pendidikan dari luar sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Asumsi-asumsi yang melandasi program-program pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat orang yang mengajar. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya mengagungkan pada pembentukan perilaku keseragaman, dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian.

Seorang siswa harus dididik untuk realis, mengakui kehidupan yang multi-dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan yang saling melengkapi demi persaudaraan yang sehat, menghargai hak dan kewajiban sosial yang saling solider. Mendidik juga berarti membantu anak untuk menjadi dirinya dan peka terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, harus berusaha diciptakan lingkungan belajar yang demokratis. Selain itu diperlukan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar sebagai modal dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Ini semua menjadi sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mental yang produktif.

Indonesia merupakan negara yang majemuk, dengan heterogenitas kebudayaan yang dimiliki masyarakat, menjadikan corak pendidikan di Indonesia pun menjadi beragam. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dari kepulauan Sematera hingga Papua, tidak boleh meminggirkan peranan kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Secara umum, pendidikan memang dimaksudkan agar setiap kelompok masyarakat dapat menerima perbedaan, sehingga tercipta masyarakat yang plural dengan tingkat toleransi yang tinggi.

Teori belajar kultural merupakan suatu konsepsi yang menempatkan budaya (kultur) menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Pendidikan akan lebih diterima oleh masyarakat bilamana kebudayaan mengambil bagian dan diberikan tempat dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan pun dimaksudkan untuk mengukuhkan kebudayaan yang telah ada sebagai kekayaan dan warisan leluhur suatu bangsa. Penyelenggaraan pendidikan juga dimaksudkan untuk membangun budaya baru yang positif, dinamis, dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman. Pendidikan berkebudayaan dipandang mampu menjadi filter bagi dampak sosial yang ditimbulkan oleh globalisasi. Teori belajar kultural selain dapat diaplikasikan dalam berbagai metode pembelajaran, juga menjadi solusi bagi sebagian permasalahan pendidikan di Indonesia.

BACA SELENGKAPNYA »

Minggu, 25 Agustus 2013

ASUMSI MENGENAI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai asumsi tentang belajar dan pembelajaran, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa andragogi didasdarkan pada sedikitnya empat asumsi tentang karakteristik warga belajar yang berbeda dari asumsi yang didasari paedagogik.
Asumsi ini ialah bahwa ketika individu menjadi dewasa :
1.    Konsep diri mereka bergerak dari seseorang dengan pribadi yang tergantung kepada orang lain kearah menjadi seseorang yang mampu mengarahkan diri sendiri.
2.    Mereka telah mengumpulkan segudang pengalaman yang selalu bertambah yang menjadi sumber belajar yang semakin kaya.
3.    Kesiapan belajar mereka menjadi semakin berorientasi kepada t8ugas-tugas perkembangan dari peranan sosial mereka. Menurut Robert J. Havigust peranan sosial pada masa dewasa adalah sebagai pekerja, kawan, orang tua, kepala rumah tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga negara, organisasi, kawan sekerja, agam keagamaan dan pemakai waktu luang.
4.    Perspektif waktu mereka berubah dari penerapan yang tidak seketika dari pengalaman yang mereka peroleh kepada penerapan yang segera, dan sesuai dengan itu orientasi belajar merkea bergeser dari yang berpusat pada mata pelajaran kepada yang berpusat pada masalah. image

Menurut Knowles, pendekatan yang bersifat andragogi dalam proses belajar mengajar, didasarkan kepada tiga tambahan asumsi sebagai berikut :

  1. Adults can learn (Orang dewasa dapat belajar)

Semula ada anggapan yang didasarkan pada laporan Thorndike yang menyatakan bahwa kemampuan untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun. Tetapi hasil studi yang dikemukakan oleh Irving Lorge menyatakan bahwa menurunnya itu hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan inteleknya.

Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa dasar kemampuan untuk belajar masih tetap ada sepanjang hidup orang tersebut, dan oleh karena itu apabila sesorang tidak menamplikan kemampuan belajar yang sebenarnya, hal ini disebabkan karena berbagai faktor seperti orang tersebut sudah lama meninggalkan cara belajar yang sistematik atau karena adanya perubahan-perubahan faktor fisiologik seperti menurunnya pendengaran, penglihatan dan tenaganya.

  1. Learning is an internal process (Belajar adalan suatu proses dari dalam)

Ada pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai informasi yang dirtransmisikan dan melihat belajar sebagai suatu proses intelektual dalam menyimpan fakta-fakta. Asumsi yang tersembunyi dari pandangan ini adalah bahwa belajar dipandang sebagai proses yang bersifat ekstrenal, dalam arti peserta didik terutama ditentukan oleh kekuatan-kakuatan dari luar. Seperti guru yang terampil dan bahan bacaan yang bagus.

Pandangan di atas tidak seluruhnya benar. Pandangan baru menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dari dalam yang dikontrol langsung oleh peserta sendiri serta melibatkan dirinya, termasuk fungsi intelek , emosi dan fisiknya. Belajar secara psikologis dipandang sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan dan tujuan. Ini berarti peserta merasakan adanya kebutuhan untuk melihat tujuan pribadi akan dapat tercapai dengan bantuan belajar.

Implikasi dari belajar mengajar orang dewasa dengan melihat belajar jadi proses dari dalam adalah metode atau teknik belajar yang melibatkan peserta secara mendalam akan menghasilkan belajar yang paling kuat. Prinsip pelibatan peserta secara aktif (partisipatif) dalam proses belajar merupakan inti dalam proses andragogik.

  1. Conditions of learning and principles of teaching (Kondisi-kondisi belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran)

Ada beberapa kondisi belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang perlu dianut dalam proses pembelajaran yang bersifat andragogik. Kondisi belajar dan prinsip pembelajaran tersebut oleh Knowles dalam tabel berikut :

 

Kondisi-kondisi Belajar

Prinsip-prinsip Pembelajaran

Peserta merasakan kebutuhan untuk belajar.

 

1.      Fasilitator memperlihatkan kepada peserta kemungkinan-kemungkinan baru untuk pemenuhan kebutuhan diri.

2.      Fasilitator membantu setiap peserta untuk meperjelas aspirasinya untuk peningkatan diri.

3.      Fasilitator membantu peserta mendiagnosa jarak antara aspirasinya dengan tingkat penampilan sekarang.

4.      Fasilitator membantu peserta mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mjereka alami karena kekurangan-kekurangan dalam kelengkapan-kelengkapan pribadi mereka.

Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik yang menyenangkan, saling percaya dan menghormati, saling membantu, kebebasan mengemukakan pendapat dan penerimaan adanya perbedaan.

5.      fasilitator menyiapkan kondisi fisik yang nyaman (seperti tempat duduk,tempat merokok, suhu, ventilasi, pencahayaan, dekorasi), dan kondusif untuk interaksi (sebaiknya tidak seorangpun duudk di belakang orang lain).

6.      Fasilitator memandang bahwa setiap peserta sebagai pribadi yang dihargai dan menghormati perasaan dan gagasan-gagasannya.

7.      Fasilitator berusaha membangun hubungan saling percaya dan membantu diantara peserta dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan kerja sama.

8.      Fasilitator menyatakan perasaan-perasaannya dan menyumbangkan sumber pengetahuannya selaku sejawat peserta dalam semangat saling belajar.

Peserta memandang tujuan-tujuan suatu pengalaman belajar sebagai tujuan mereka sendiri.

9.      Fasilitator melibatkan peserta dalam suatu proses merumuskan tujuan belajar dimana kebutuhan pesert6a, lembaga, pengajar dan masyarakat dipertimbangkan.

Peserta dapat menyetujui untuk saling urun tanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan suatu pengalaman belajar dan karenanya dan memiliki keterkaitan terhadapanya.

10.  Fasilitator ikut urun pemikirannya dalam merancang pengalaman-pengalaman belajar dan pemilihan bahan-bahan dan metode, serta melibatkan peserta dalam menentukan dalam setiap keputusan bersama-sama.

Peserta berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar.

11.  Fasilitator membantu peserta mengorganisir diri (misal kelompok proyek, tim belajar mengajar dan lain-lain) untuk urun tanggung jawab dalam proses belajar bersama.

Proses belajar dikaitkandan memanfaatkan pengalaman peserta.

12.  Fasilitator membantu peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui pengunaan teknik-teknik seperti diskusi, bermain peran, kasus dan sejenisnya.

13.  Fasilitator mengaitkan penyajian dari bahan pengetahuan dari dirinya terhadap tingkat pengalaman peserta.

14.  Fasilitator membantu peserta untuk mengaplikasikan kegiatan belajar barunya pada pengalaman mereka, dengan demikian membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.

Peserta merasakan adanya kemajuan kearah tujuan-tujuan mereka

15.  Fasilitator melibatkan peserta dalam mengembangkan kriteria dan metode untuk mengukur kemajuan-kemajuan terhadap tujuan belajar.

16.  Fasilitator membantu peserta mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur untuk mengevaluasi diri sendiri berdasarkan kriteria itu.

 

BACA SELENGKAPNYA »

Minggu, 09 Juni 2013

Prinsip prinsip Belajar

Berikut ini disajikan sepuluh prinsip belajar yang semestinya diketahui oleh seorang trainer dan juga mesti disadari oleh seseorang yang ingin belajar lebih efektif. Item-item berikut disarikan dari buku “The Trainer’s Handbook, Mitchell, 1987“:

1. Mempelajari apa yang siap untuk dipelajari

2. Kita pelajari yang terbaik dari apa yang pernah kita lakukan

3. Kita belajar dari Kesalahan

4. Kita belajar lebih mudah terhadap sesuatu yang kita kenal

5. Kita menyukai adanya perbedaan sense dalam belajar

6. Kita belajar secara metodik dan sistematik

7. Kita tidak dapat mempelajari sesuatu yang tidak dimengerti

8. Kita belajar melalui latihan

9. Kita belajar lebih baik ketika kita mengetahui kemajuan kita

10. Kita menanggapi dengan lebih baik ketika apa yang kita pelajari disajikan secara unik terhadap setiap orang

image

Rogers : Dalam bukunya Freedom to Learn , ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya ialah :

1. Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.

2. Belajar yang signifikan terjadi apabila Subject mater dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.

3. Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.

5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.

6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.

8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.

9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting.

10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu.

BACA SELENGKAPNYA »

Senin, 12 November 2012

Pengertian Belajar

Dalam dunia pendidikan dikenal berbagai macam pengertian belajar di antaranya menurut Piaget dalam Eggen (1979) dalam Irawati (2003). Menurutnya, bahwa perkembangan kognitif merupakan hasil interaksi antara dua elemen, yaitu lingkungan  dan  struktur  kognitif  anak.  Struktur  intelektual  terbentuk  pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Dengan kata lain belajar merupakan aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku, ketrampilan dan sikap (Hasan, 1994).

Menurut Gagne dalam Purwanto (1997), belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum mengalami situasi itu ke waktu sesudah mengalami situasi tersebut. Pada dasarnya belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman (Sudjana, 1989). Menurut Mursell  &  Nasution (2002),  pengalaman  yang  dilakukan  tersebut  haruslah membentuk makna atau pengertian. Hal ini didukung oleh Depdiknas (2002a), bahwa belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pengertian.
Hal di atas sesuai dengan teori konstruktivisme. Prinsip teori ini adalah belajar merupakan suatu proses pencapaian makna. Menurut Eggen dan Kauchak
(1996), agar siswa bisa belajar dengan bermakna maka guru perlu menghadirkan fenomena atau permasalahan yang ada di lingkungan ke dalam pembelajaran. Oleh karena itu, belajar harus dimulai dengan hal-hal yang berada di sekitar siswa, sehingga siswa dapat secara aktif mencoba memberi makna pada hal-hal yang ada di sekitarnya.

Roger, sebagai penganut paham humanisme mengemukakan beberapa prinsip belajar.
a.  Belajar bermakna
Keberhasilan belajar antara lain ditentukan oleh bermakna tidaknya bahan
yang dipelajari. Kebermaknaan ini dikaitkan dengan relevansi materi dengan
kenyataan. Darsono dkk., 2000
b.  Belajar atas inisiatif sendiri
Belajar dengan inisiatif sendiri menyebabkan belajar lebih bermakna. Untuk mencapainya motivasi siswa harus ditumbuhkan sebelum mempelajari materi yang akan diajarkan.
c.  Belajar dan perubahan
Dinamika masyarakat mengisyaratkan terjadinya perubahan. Perubahan ini  harus  diantisipasi  dengan  persiapan  yang  diperoleh  dari  belajar.  Yang dibutuhkan sekarang adalah kemampuan belajar dalam lingkungan yang terus berubah ().

Sumber :
  • Darsono, Max, dkk. 2000. ”Belajar dan Pembelajaran”. Semarang : CV. IKIP Semarang Press.
  • Eggen, P.D. dan Kauchak, D.P. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill. United States of America: Allyn & Bacon. Gulő, W. 2000. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Gramedia.
  • Hasan, Ch. 1994. Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Surabaya: Al- Ikhlas.
  • Irawati, DE.     2003. Menerapkan Pendekatan SETS sebagai Upaya Meningkatkan Mutu  Kegiatan  Belajar  Mengajar  Biologi  Kajian  Kelangsungan  Hidup Organisme. Skripsi. Semarang: FMIPA Unnes.
  • Mursell, J. dan S. Nasution. 2002. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Purwanto, N. 1997. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  • Sudjana, N.    1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
  • Depdiknas. 2002a. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas.
BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit