Tampilkan postingan dengan label pembelajaran ctl. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pembelajaran ctl. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Desember 2011

Pengertian Pembelajaran Kontekstual CTL / Contextual Teaching and Learning

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel da-pat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.

CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja ber-sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesu-atu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan-nya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidu-pan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Langkah-langkah CTL
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut:
1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan masyarakat belajar.
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai cara.
Karakteristik Pembelajaran CTL
1. Kerjasama.
2. Saling menunjang.
3. Menyenangkan, tidak membosankan.
4. Belajar dengan bergairah.
5. Pembelajaran terintegrasi.
6. Menggunakan berbagai sumber.
7. Siswa aktif.
8. Sharing dengan teman.
9. Siswa kritis guru kreatif.
10. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain.
11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, lang-kah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya.

Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (je-las dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual le-bih menekankan pada skenario pembelajarannya.
Beberapa komponen utama dalam pembelajaran Kontekstual menurut Johnson (2000: 65), yang dapat di uraikan sebagai berikut:

1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik, ilmu pengetahuan alam. Atau sejarah dengan pengalamannya mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL.


2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works)
Model pembelajaran ini menekankan bahwa semua proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus punya arti bagi siswa sehingga mereka dapat mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sisw
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning)
Pembelajaran yang diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri, memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
4. Bekerjasama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking)
Pembelajaran kontekstual membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, nerpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian, ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual)
Dalam pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian: integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dsb. Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor, dan mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan, asalkan sia dibantu oleh gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya.
8. Menggunakan Penilaian yang otentik (using authentic assessment)
Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari ujian stanar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari.


Pustaka
Depdiknas. Direktorat Pembinaan SMA. 2009. Pengembangan Pembelajaran Yang Efektif. Bahan Bimbingan Teknis KTSP. Jakarta.
Ibrahim R, Syaodih S Nana. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Menga-jar. Bandung: Sinar Baru.


 

BACA SELENGKAPNYA »

Kamis, 15 Desember 2011

Sekilas tentang Metode Kontekstual CTL (Contextual Teaching and Learning)

Penerapan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Amerika Serikat bermula dari pandangam ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progressivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam proses belajar di sekolah. Pokok-pokok pandangan progressivisme antara lain:
1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri.
2. Siswa harus bebas agar dapat berkembang wajar.
3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti.
5. Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progressivisme John Dewey, teori kognitif melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. siswa menunjukkan belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipendang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkit ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Sejauh ini pendidikan kita masih di dominasi oleh pandangan bahawa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruksivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkontruksikan sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi konstruksivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi, siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal.

Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif, temporer, dan selalu berubah. Segala sesuatu bersifat temporer, berubah dan tidak menentu. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagain kegiatan atau menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Dengan paham kontruksivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri dari pengalaman/pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalam belajar bermakna. Siswa diharapkan memapu mempraktikkan pengetahuan/pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.

Hakikat teori kontruksivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. teori kontruksivisme memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dn memperbaiki aturan-aturan yang tidak sesuai lagi. Teori konstruksivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa aktif, maka strategi kontruksivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat kepada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori kontruktivistik dalam praktek pembeljaran di sekolah-sekolah kita sekarang adalah sebagai berikut:
1. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru
2. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.
3. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.
4. Belajar pada hakikatnya memiliki aspeksosial dan budaya.
5. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
Dalam pandangan kontruksivistik, kebebasan dipandangan sebagai penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.

Referensi :
Depdiknas. Direktorat Pembinaan SMA. 2009. Pengembangan Pembelajaran Yang Efektif. Bahan Bimbingan Teknis KTSP. Jakarta.
Hamalik, Oemar. 1990. Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito
Nasution. S. 2005. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Menga-jar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Menga-jar. Bandung: Sinar Baru.
BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit