Tampilkan postingan dengan label Learning. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Learning. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Juli 2014

Pembelajaran discovery learning di SMA

Contoh Langkah Pembelajaran discovery learning di SMA image

Sekolah

Mata pelajaran

: SMA Upakarti

: Biologi

Kelas/semester

: X MIPA/1

Materi pokok

: Animalia Invertebrata

clip_image001

 

Kompetensi Dasar (KD)

1.1 Mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang keanekaragaman hayati, ekosistem, dan lingkungan hidup.

1.1 Berperilaku ilmiah: teliti, tekun, jujur terhadap data dan fakta, disiplin, tanggung jawab,dan peduli dalam observasi dan eksperimen, berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi, peduli lingkungan, gotong royong, bekerjasama, cinta damai, berpendapat secara ilmiah dan kritis, responsif dan proaktif dalam setiap tindakan dan dalam melakukan pengamatan dan percobaan di dalam kelas/labo ratorium maupun di luar kelas/laboratorium.

1.3. Peduli terhadap keselamatan diri dan lingkungan dengan mene rapkan prinsip keselamatan kerja saat melakukan kegiatan penga-matan dan percobaan di laborato-rium dan di lingkungan sekitar.

3.8 Menerapkan prinsip klasifikasi untuk menggolongkan hewan ke dalam filum berdasarkan peng amatan anatomi dan morfologi serta mengaitkan dalam kehidup-an.

Indikator:

1. mengidentifikasi ciri khas morfologi dari klasis insekta, krustasea, arachnoidea, kilopoda dan diplopoda.

2. menentukan klasis hewan yang diamati berdasarkan cirri morfologinya.

4.8. Menyajikan data tentang perban dingan kompleksitas jaringan penyusun tubuh hewan dan perannya pada ber bagai aspek kehidupan dalam bentuk laporan tertulis

Indikator:

Membuat laporan tertulis tentang data hasil pengamatan cirri-ciri klasis pada hewan berbuku-buku

Pertemuan Ke

Pendahuluan ( menit)

Guru menyampaikan salam dan menanyakan kehadiran peserta didik, menyampaikan KI, KD , tujuan pembelajaran.

Kegiatan inti ( menit)

Penciptaan Situasi ( stimulasi )

  1. Guru menunjukkan berbagai hewan ber buku-buku (Artropoda) misal capung, belalang, kelabang, keluwing, udang, laba-laba.
  2. Peserta didik memperhatikan (mengamati) berbagai hewan (invertebrata) yang dibawa guru.
  3. Peserta didik bertanya berbagai hewan yang dibawa guru.
  4. Peserta didik mengidentifikasi (mengumpulkan informasi) persamaan dan perbedaan yang terdapat pada hewan-hewan tersebut.

Pembahasan Tugas dan Identifikasi Masalah

1. Guru meminta peserta didik untuk mencari ciri-ciri khas yang dimiliki klasis artropoda.

2. Peserta didik mengidentifikasi: bagian-bagian tubuh, jumlah bagian tubuh, antena, ada tidaknya sayap, jumlah kaki, keadaan kaki

Observasi

Peserta didik mengamati ciri tiap klasis dari artropoda yang meliputi bagian-bagian tubuh, jumlah bagian tubuh, antena, ada tidaknya sayap, jumlah kaki, keadaan kaki

Pengumpulan data

Peserta didik, menuliskan hasil pengamatan tentang ciri klasis artropoda yang meliputi bagian-bagian tubuh, jumlah bagian tubuh, ada tidaknya sayap, antena, jumlah kaki, keadaan kaki pd tabel yang telah disiapkan.

Verifikasi data

Peserta didik melakukan pencermatan data (mengasosiasi) yang diperoleh mengenai ciri yang ada pada klasis dari artropoda yang meliputi bagian-bagian tubuh, jumlah bagian tubuh, ada tidaknya sayap, jumlah kaki, keadaan kaki, antena.

Generalisasi

1. Peserta didik menyimpulkan ciri-ciri klasis insekta

2. Peserta didik mempresentasikan (mengkomunikasikan) hasil pengamatan ciri-ciri klasis insekta di depan kelas dan dikonfirmasi oleh guru.

Penutup (… menit)

1) Guru melakukan tanya jawab dengan peserta untuk membuat rangkuman dan atau kesimpulan mengenai ciri-ciri dari klasis hewan berbuku-buku.

2) Guru memberikan tugas membuat insektarium secara berkelompok.

3) Peserta didik membersihkan lantai kelas dan membuang sampah pada tempatnya

BACA SELENGKAPNYA »

Senin, 14 Juli 2014

Proses Pembelajaran Discovery Learning

Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran Discovery Learningimage

1. Langkah Persiapan Strategi Discovery Learning

a. Menentukan tujuan pembelajaran

b. Melakukan identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya)

c. Memilih materi pelajaran.

d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari peserta didik secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi)

e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari peserta didik

f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik

g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik

2. Prosedur Aplikasi Strategi Discovery Learning

Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan strategi discovery learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:

a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi bahan.

b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)

Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Memberikan kesempatan peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun peserta didik agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

c. Data collection (pengumpulan data).

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah peserta didik belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja peserta didik menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

d. Data processing (pengolahan data)

Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan, dan semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut peserta didik akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis

e. Verification (pembuktian)

Pada tahap ini peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan peserta didik harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

 

Daftar Pustaka

Muhibbin, Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

BACA SELENGKAPNYA »

Jumat, 11 Juli 2014

Kelebihan Penerapan Discovery Learning

Kelebihan Penerapan Discovery Learning image

Berikut adalah kelebihan Penerapan Discovery Learning

1) Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.

2) Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.

3) Menimbulkan rasa senang pada peserta didik, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.

4) Strategi ini memungkinkan peserta didik berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.

5) Menyebabkan peserta didik mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.

6) Strategi ini dapat membantu peserta didik memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.

7) Berpusat pada peserta didik dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai peserta didik, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.

8) Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.

9) Peserta didik akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik;

10)  Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru;

11) Mendorong peserta didik berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri;

12) Mendorong peserta didik berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri;

13) Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik;

14) Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang;

15) Proses belajar meliputi sesama aspeknya peserta didik menuju pada pembentukan manusia seutuhnya;

16) Meningkatkan tingkat penghargaan pada peserta didik;

17) Kemungkinan peserta didik belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar;

18) Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

Daftar Pustaka
Barrows, H.S.  1996.  “Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview” Dalam Bringing problem-based learning to higher education: Theory and Practice (hal 3-12).  San Francisco: Jossey-Bass.
Delisle, R. (1997). How to Use Problem_Based Learning In the Classroom. Alexandria, Virginia USA: ASCD.
Gijselaers, W.H.  1996. “Connecting problem-based practices with educational theory.” Dalam Bringing problem-based learning to higher education: Theory and Practice (hal 13-21).  San Francisco: Jossey-Bass.
Nur, M. 2011. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: PSMS Unesa.
Tim Sertifikasi Unesa. 2010. Modul Pembelajaran Inovatif. Surabaya: PLPG Unesa.
Arend, R.I. 2001. Learning to Teach, 5th Ed. Boston: McGraw-Hill Company, Inc.
Baldwin, A.L. 1967. Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons.
Carin, A.A. & Sund, R.B. 1975. Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Carin, A.A. 1993. Teaching Science Through Discovery. ( 7th. ed. ) New York: Maxwell Macmillan International.
Muller, U.,  Carpendale, J.I.M.,  Smith, L. 2009.  The Cambridge Companion to PIAGET. Cambridge University Press.
Nur, M. 1998. Teori-teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya University Press.
Osborne, R.J. & Wittrock, M.C. 1985. Learning Science: A Generative Process, Science Education, 64, 4: 489-503.
Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Sutherland, P. 1992. Cognitive Development Today: Piaget and his Critics. London: Paul Chapman Publishing Ltd.

BACA SELENGKAPNYA »

Sabtu, 28 Juni 2014

Konsep Belajar discovery learning

Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya strategi discovery learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events). Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan peserta didik dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap peserta didik, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu peserta didik pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan discovery learning environment, yaitu lingkungan dimana peserta didik dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar peserta didik dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. image

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan peserta didik dalam berfikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactiv, iconic, dan symbolic. Tahap enaktiv, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam strategi discovery learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika. Dan melalui kegiatan tersebut peserta didik akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery sebagai strategi mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada strategi-strategi mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.

 

 

Daftar Pustaka
Barrows, H.S.  1996.  “Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview” Dalam Bringing problem-based learning to higher education: Theory and Practice (hal 3-12).  San Francisco: Jossey-Bass.
Delisle, R. (1997). How to Use Problem_Based Learning In the Classroom. Alexandria, Virginia USA: ASCD.
Gijselaers, W.H.  1996. “Connecting problem-based practices with educational theory.” Dalam Bringing problem-based learning to higher education: Theory and Practice (hal 13-21).  San Francisco: Jossey-Bass.
Nur, M. 2011. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: PSMS Unesa.
Tim Sertifikasi Unesa. 2010. Modul Pembelajaran Inovatif. Surabaya: PLPG Unesa.
Arend, R.I. 2001. Learning to Teach, 5th Ed. Boston: McGraw-Hill Company, Inc.
Baldwin, A.L. 1967. Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons.
Carin, A.A. & Sund, R.B. 1975. Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Carin, A.A. 1993. Teaching Science Through Discovery. ( 7th. ed. ) New York: Maxwell Macmillan International.
Muller, U.,  Carpendale, J.I.M.,  Smith, L. 2009.  The Cambridge Companion to PIAGET. Cambridge University Press.
Nur, M. 1998. Teori-teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya University Press.
Osborne, R.J. & Wittrock, M.C. 1985. Learning Science: A Generative Process, Science Education, 64, 4: 489-503.
Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Sutherland, P. 1992. Cognitive Development Today: Piaget and his Critics. London: Paul Chapman Publishing Ltd.

BACA SELENGKAPNYA »

Kamis, 26 Juni 2014

Pengertian discovery learning

Pada lampiran iv Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013, untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang: (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.

Di dalam pembelajaran, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan yang sudah ada dalam ingatannya, dan melakukan pengembangan menjadi informasi atau kemampuan yang sesuai dengan lingkungan dan jaman tempat dan waktu ia hidup. Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. image

Strategi discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Yang menjadikan dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.

Bruner memakai strategi yang disebutnya discovery learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Strategi discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalaui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).

Sebagai strategi belajar, discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada peserta didik semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga peserta didik harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian, sedangkan problem solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah.

 

Daftar Pustaka
Barrows, H.S.  1996.  “Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview” Dalam Bringing problem-based learning to higher education: Theory and Practice (hal 3-12).  San Francisco: Jossey-Bass.
Delisle, R. (1997). How to Use Problem_Based Learning In the Classroom. Alexandria, Virginia USA: ASCD.
Gijselaers, W.H.  1996. “Connecting problem-based practices with educational theory.” Dalam Bringing problem-based learning to higher education: Theory and Practice (hal 13-21).  San Francisco: Jossey-Bass.
Nur, M. 2011. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: PSMS Unesa.
Tim Sertifikasi Unesa. 2010. Modul Pembelajaran Inovatif. Surabaya: PLPG Unesa.
Arend, R.I. 2001. Learning to Teach, 5th Ed. Boston: McGraw-Hill Company, Inc.
Baldwin, A.L. 1967. Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons.
Carin, A.A. & Sund, R.B. 1975. Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Carin, A.A. 1993. Teaching Science Through Discovery. ( 7th. ed. ) New York: Maxwell Macmillan International.
Muller, U.,  Carpendale, J.I.M.,  Smith, L. 2009.  The Cambridge Companion to PIAGET. Cambridge University Press.
Nur, M. 1998. Teori-teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya University Press.
Osborne, R.J. & Wittrock, M.C. 1985. Learning Science: A Generative Process, Science Education, 64, 4: 489-503.
Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Sutherland, P. 1992. Cognitive Development Today: Piaget and his Critics. London: Paul Chapman Publishing Ltd.

BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 24 Juni 2014

Discovery Learning

According to Jerome Bruner (1915- ) Discovery Learning

Discovery Learning is an inquiry-based learning theory that takes place in problem solving situations where the learner draws on or his/her own past experience and existing knowledge to discover facts and relationships and new truths to be learned. Students interact with the world by exploring and manipulating objects, wrestling with questions and controversies, or performing experiments. image

 

As a result, students may be more likely to remember concepts and knowledge discovered on their own.

Advantages

  • Encourages active engagement
  • Promotes motivation
  • Fosters curiosity
  • Develops creativity and problem solving skills
  • Students take ownership of their learning
  • Builds on prior knowledge

Disadvantages

  • Potential to confuse if there is no initial framework, poor instructions, or no summarizing activity or follow up
  • Teacher may fail to detect problems and misconceptions
  • Can be time-consuming if not planned well or used to discover concepts which are overly complex
BACA SELENGKAPNYA »

Selasa, 20 November 2012

Konsep Cooperative Learning


Cooperative learning (CL) merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. 

Dalam CL, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Unsur-unsur dasar dalam CL adalah sebagai berikut :
  1. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
  2. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
  3. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
  4. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
  5. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
  6. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
BACA SELENGKAPNYA »

Minggu, 11 November 2012

Learning Management System (E-learning)


Uraian singkat tentang perkembangan e-Learning dari masa ke masa adalah seperti di bawah Era dimana mulai bermunculan aplikasi e-Learning yang berjalan dalam PC standalone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi berupa materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (video dan audio) dalam format MOV, MPEG-1 atau AVI. seiring dengan perkembangan teknologi internet di dunia, masyarakat dunia mulai terkoneksi dengan Internet. Kebutuhan akan informasi yang cepat diperoleh menjadi mutlak, dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi.
Disinilah muncul sebutan Learning Management System atau biasa disingkat dengan LMS. Perkembangan LMS menuju ke aplikasi e-Learning berbasis Web secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs portal yang pada saat ini boleh dikata menjadi barometer situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar dunia. Isi juga semakin kaya dengan berpaduan multimedia, video streaming, serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standard, berukuran kecil dan stabil.
 Pengetahuan dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengetahuan yang didapat oleh seseorang takkan pernah ada bila tanpa melalui proses pembelajaran. Sedangkan hakekat daripada pembelajaran itu sendiri adalah untuk memperoleh pengetahuan.Untuk memperoleh tersebut dapat mengikuti pelatihan atau dapat juga untuk membaca buku.Dapat dibayangkan bila pelatihan tersebut dapat digantikan dengan menggunakan bantuan teknologi informasi yang kini berkembang sedemikian pesatnya dan telah merambah berbagai aspek kehidupan manusia.
Bayangkan pula berapa waktu dan biaya yang dapat dihemat bila proses pelatihan dan pembelajaran tersebut dapat dilakukan tanpa memandang siapa pelakunya, tanpa batasan tempat dan waktu. Dalam terminology perkembangan teknologi informasi bentuk pelatihan dan pembelajaran demikian dikenal dengan istilah e-Learning.
Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang semakin pesat, kebutuhan akan suatu konsep dan mekanisme belajar mengajar (pendidikan) berbasis TI menjadi tidak terelakkan lagi. Konsep yang kemudian terkenal dengan sebutan e-Learning ini membawa pengaruh terjadinya proses transformasi pendidikan konvensional ke dalam bentuk digital, baik secara isi (contents) dan sistemnya.
Saat ini konsep e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah, training dan universitas) maupun industri (Cisco System, IBM, HP, Oracle, dsb). John Chambers yang merupakan CEO dari perusahaan Cisco System mengatakan bahwa untuk era ke depan, aplikasi dalam dunia pendidikan akan menjadi “killer application” yang sangat berpengaruh. Departemen perdagangan dan departemen pendidikan Amerika Serikat bahkan bersama-sama mencanangkan Visi 2020 berhubungan dengan konsep pendidikan berbasis Teknologi Informasi (e-Learning).
BACA SELENGKAPNYA »

Sabtu, 10 November 2012

Model Cooperative Learning pada SMK

Perkembangan internet dalam beberapa tahun terakhir ini  memungkinkan dunia pendidikan saat ini untuk memanfaatkan teknologi internet dalam proses pembelajaran, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)dalam upaya meningkatkan mutu dan layanan pendidikan guna menghasilkan lulusan yang berkualitas dan terserap dalam dunia usaha/dunia industri (DU/DI),  diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas dari sarana dan prasarana serta pengajar, tetapi peningkatan jumlah sarana dan pengajar tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah pelajar ehingga waktu dan tenaga yang dialokasikan oleh pengajar kepada pelajarnya semakin terbatas[22], secara otomatis peningkatan kualitas pendidikan yang diharapkan tidak akan tercapai. 

Kurangnya interaksi antara pengajar dan pelajar serta keterbatasan ruang dan waktu menjadi kendala utama. Untuk itu perlu ada metoda lain yang dapat menangani kondisi tadi. Salah satunya sistem pembelajaran atau dengan menggunakan teknologi internet. 

Proses pembelajaran dengan menggunakan teknologi internet tetap mengacu kurikulum SMK yang berlaku saat ini. Salah satu unsur utama yang harus ada dalam pembelajaran menggunakan internet adalah adanya interaksi antara siswa dengan guru. Interaksi dapat berlangsung dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di internet, tetapi sistem dan pembelajaran yang digunakan umumnya masih mengacu pada sistem pembelajaran dengan model pembelajaran yang berpusat pada pengajar/guru (teacher centered learning) yang lebih bersifat searah seperti pada sistem pembelajaran tatap muka dikelas, sehingga siswa kurang dipacu untuk lebih aktif menggali materi pelajaran yang ada, selain itu di SMK saat ini, model pembelajaran yang digunakan oleh para guru umumnya masih banyak menggunakan model pembelajaran kompetisi dan individual untuk memacu para siswanya dalam proses pembelajaran sehingga para siswa akan saling bersaing dan saling mengalahkan teman. Disatu sisi ini hal ini sangat posistif sehingga siswa terpacu menjadi yang terbaik, namun sisi negatifnya adalah siswa tidak mempunyai social skill dan kurang dapat menghargai perbedaan antar siswa serta toleransi, sementara siswa SMK yang setelah lulus dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja, dimana dalam dunia kerja tidak hanya dituntut kemampuan “hard skill” saja tetapi perlu juga “soft skill” seperti kemampuan bekerjasama dalam tim dan berkomunikasi. Sehingga perlu kiranya dirancang sistem pembelajaran berbasis web yang memasukan unsur-unsur model cooperative learning.
BACA SELENGKAPNYA »

Minggu, 29 April 2012

Penelitian Kolaboratif mplemetasi Pembelajaran Cooperaive Learning

A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah sarana dan alat yang tepat dalam membentuk masyarakat dan bangsa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang berbudaya dan dapat menyelesaikan masalah kehidupan yang dihadapinya. Sebab hingga saat ini dunia pendidikan dipandang sebagai sarana yang efektif dalam berusaha melestarikan dan mewariskan nilai-nilai hidup. Salah satu pendidikan yang dapat dilakukan masyarakat adalah pendidikan di sekolah mulai SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA dengan segala aspeknya. Kurikulum, pendekatan, metode, strategi dan model yang sesuai, fasilitas yang memadai dan sumber daya manusia yang profesional adalah aspek yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang direncanakan. clip_image002

Salah satu tujuan pengajaran matematika adalah agar siswa mempunyai kemampuan yang dapat digunakan. Dengan memiliki kemampuan matematika, siswa diharapkan dapat menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam menghadapi masalah-masalah dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas, guru hendaknya memilih tugas-tugas matematika, model, strategi dan pendekatan pembelajaran matematika sedemikian hingga dapat memotivasi minat siswa dan meningkatkan keterampilan siswa, menciptakan suasana kelas yang mendorong dicapainya penemuan dan pengembangan ide matematika, dan membimbing secara individual, secara kelompok serta secara klasikal.

Matematika sebagai Queen of Sciences mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun kenyataannya bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit dipahami siswa (Wahyudin, 1999). Sehingga tidak heran kalau banyak siswa yang tidak senang terhadap matematika yang kemungkinan disebabkan oleh sulitnya memahami mata pelajaran matematika.

Kemampuan berpikir matematik telah banyak mendapat perhatian para peneliti maupun pendidik. Banyak perhatian yang difokuskan pada batasan dalam pemahaman siswa terhadap konsep dan juga pada keterampilan berpikir, penalaran, dan penyelesaian masalah mereka dalam matematika (Henningsen dan Stein; 1997). Gagasan aktivitas matematika yang berfokus pada kemampuan tersebut memandang matematika sebagai proses aktif dinamik, generatif, dan eksploratif. Proses matematika itu dinamakan dengan istilah bernalar dan berpikir matematika tingkat tinggi (high-level mathematical thinking and reasoning). Beberapa aspek berpikir matematika tingkat tinggi adalah pemecahan masalah matematik, komunikasi matematik, penalaran matematik dan koneksi matematik (Romberg dalam NCTM, 1989; NCTM. 2000).

Kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi bersifat kompleks dan memerlukan prasyarat konsep dan proses dari yang lebih rendah baik dari segi materi maupun cara mempelajari/mengajarkannya, sehingga dalam pembelajarannya perlu dipertimbangkan tugas matematika serta suasana belajar yang mendukung untuk mendorong kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi tersebut. Hal ini menyangkut pengambilan keputusan pembelajaran yang digunakan di kelas.

Keterkaitan antara berpikir tingkat tinggi dengan pelajaran matematika dijelaskan oleh Romberg (dalam NCTM, 1989) dengan menyatakan bahwa beberapa aspek berpikir tingkat tinggi yaitu pemecahan masalah matematika, komunikasi matematik, penalaran matematik dan koneksi matematik.

Polya (1985) menyebutkan empat langkah dalam penyelesaian masalah, yaitu: 1) memahami masalah; 2) merencanakan pemecahan; 3) melakukan perhitungan; dan 4) memeriksa kembali. Setiap aspek dalam berpikir matematik tingkat tinggi mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga agar tidak terlalu melebar, dalam penelitian ini yang akan diukur hanya dua aspek, yaitu pemecahan masalah matematik dan koneksi matematik.

Salah satu metode pembelajaran yang kreatif, inovatif dan efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi adalah metode pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode pembelajaran yang siswanya dibentuk menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4 sampai 6 orang, bekerja secara kolaboratif dengan struktur kelompok heterogen (Slavin, 1995), dengan pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang, untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerjasama selama berlangsungnya proses pembelajaran dan mencari sendiri dengan didasari pada pengetahuan yang telah dimilikinya (Sunal & Hans, dalam Haryanto, 2000).

Implementasi metode pembelajaran ini diupayakan agar meningkatkan penguasaan konsep matematika dan penumbuhan kreativitas siswa, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi siswa dalam pengembangan daya nalar dan berpikir tingkat tingginya. Pengembangan pembelajaran ini hanya dimungkinkan jika hubungan kerjasama antar siswa terjalin dengan baik, komunikasi tercipta secara dialogis, Kolaborasi dan partisipasi dapat terbentuk dan terbina secara efektif serta hubungan persahabatan yang saling percaya dapat terjalin dengan baik. Pembelajaran yang berorientasi kepada penciptaan iklim yang kondusif dapat membangun hubungan kerjasama, berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman antar sesama siswa maupun guru dengan siswa. Penciptaan suasana kooperatif dapat membangun hubungan interaksi secara intensif dan saling menguntungkan. Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi maka pengaruh pembelajaran kooperatif secara umum hasilnya positif (Slavin, dalam Grouws; 1984). Peneliti langsung mengujicobakan pembelajaran kooperatif di kelas dan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (biasa) di kelas lain pada sekolah yang sama.

Belajar kontekstual akan terjadi ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang telah diajarkan yang berkaitan dengan masalah nyata, dengan peranan dan tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga, warganegara,peserta didik dan pekerja. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berfikir yang tinggi, transfer pengetahuan yang lintas disiplin akademik, pengumpulan, analisis, dan sintesis informasi atau data dari berbagai sumber dan sudut pandang. Blanchard (2001) memandang pembelajaran kontekstual sebagai suatu konsepsi yang membantu guru menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata yang berguna untuk memotivasi peserta didik dalam membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan sebagai anggota keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja. Dengan demikian, inti dari pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata sebagai sumber maupun terapan materi pelajaran.

Parnel dalam Owens (2001) menyatakan bahwa dalam pengajaran kontekstual, tugas utama guru adalah memperluas persepsi peserta didik sehingga makna atau pengertian itu menjadi mudah ditangkap dan tujuan pembelajaran segera mudah dimengerti. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan kontekstual sangat diharapkan pada siswa di SMAN 1 Kempo sehingga output (keluaran) dari siswa terhadap mata pelajaran matematika dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian sangat diharapkan model pembelajaran kontekstual terutama pada mata pelajaran matematika oleh guru mata pelajaran dan termasuk kepala sekolah.

Dari uraian masalah tersebut, pemasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana motivasi belajar siswa di SMAN 1 Kempo melalui pembelajaran kontekstual Cooperative Learning?

  1. Bagaimana kemampuan matematik siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif?

3. Bagaimana tingkat prestasi belajar siswa di SMA 1 Kempo dengan bahan ajar yang digunakan oleh guru ?

  1. Bagaimana tanggapan siswa terhadap penerapan pembelajaran kooperative dan soal-soal yang kontekstual .

Dari masalah di atas dibatasi hal-hal sebagai berikut :(1) Implementasi pembelajaran matematika di kelas melalui pendekatan kontekstual. (2) peningkatan penguasaan siswa terhadap standar kompetensi matematika, yang meliputi penguasaan kognitif, apektif, dan psikomotor.

Pada penelitian tindakan ini, peneliti secara kolaboratif melakukan tindakan-tindakan siklus sebanyak 3 siklus. Setiap siklus akan memiliki tahapan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi permasalahan kualitas proses belajar mengajar yang mengakibatkan rendahnya prestasi belajar matematika siswa dan memberikan solusi pemecahan masalah pada proses belajar mengajar, (2) mengkaji seluruh komponen pembelajaran dan keterampilan menggunakan pendekatan pembelajaran sesuai dengan materi yang disajikan, (3) mengaplikasikan model pendekatan pembelajaran dengan kontekstual melalui kegiatan pelatihan, (4) mengaplikasikan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam kegiatan real teacing. Perubahan dari siklus pertama sampai dengan siklus berikutnya dilakukan secara simultan, artinya siklus awal merupakan dasar bagi perubahan pada siklus sebelumnya. Siklus terakhir dikatakan berhasil jika indikator kerja yang telah ditetapkan telah terpenuhi secara optimal.

Penelitian tindakan ini bertujuan : (a). untuk mengetahui minat atau motivasi belajar siswa SMAN 1 KEMPO dalam belajar matematika jika menggunakan pendekatan kontekstual. (b). Untuk mengetahui tingkat prestasi belajar siswa SMAN 1 KEMPO terhadap bahan ajar yang telah disiapkan oleh guru. (c).Mendeskripsikan keterampilan kooperatif siswa selama bekerja dalam kelompok. (d).mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap penerapan pembelajaran kooperatif dan soal-soal koneksi dan pemecahan masalah matematik

Melalui kajian tindakan kelas oleh Pengawas dan guru secara kolaboratif ini akan memberikan kontribusi pada: (a).Proses pembelajan, dimana para rancangan, proses, maupun evaluasi dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan seluruh kompetensi siswa dan sumber belajar. (b).Inovasi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, terlihat pada rancangan dan tindakan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif pada kegiatan yang bervariasi dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada, di samping itu guru akan melakukan evaluasi terhadap kemampuan siswa baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor.

Beberapa konsep dan istilah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.(a). Merencanakan Pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental ( developmentally appropriate) siswa. (b). Membentuk group belajar yang saling tergantung ( inredepwendent learning groups). (c).Mempertimbangkan keragaman siswa ( disversity of students). (d). Menyediakan lingkunag yang mendukung pembelajaran mandiri dengan 3 karakteristrik yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi berkelanjutan. (e).memeperhatikan multi intelegensi. (f).menggunakan teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir timgkat tinggi, (g). mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika diberikan kesempatan untuk bekerja, menemukan, (h). Mengembagkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan ( questioning)menerapkan penilaian autentik. (i). Metode pembelajaran kooperatif adalah metode pembelajaran yang menekankan aktivitas belajar siswa secara bersama-sama dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 siswa. Untuk mempelajari materi dan mengerjakan tugas, anggota kelompok bertanggung jawab atas kesuksesan kelompoknya. Selain itu menekankan pada aspek sosial, diantaranya nilai gotong royong, saling percaya, kesediaan menerima dan memberi, serta saling menghargai pendapat teman. (j).Keterampilan kooperatif siswa adalah tingkat penguasaan keterampilan kooperatif yang meliputi : berada dalam tugas, menghargai pendapat orang lain, mendengarkan dengan aktif, mengambil giliran dan berbagi tugas, bertanya serta memeriksa ketepatan.

Hipotesis Tindakan dalam penelitian ini adalah : (a).Dengan bahan ajar yang digunakan oleh guru maka dapat membuat motivasi atau minat belajar siswa SMA Negeri 1 Kempo menjadi meningkat. (b). Melalui pembelajaran dengan pendekatan Cooperative Learning maka dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa SMAN 1 Kempo

B. METODOLOGI PENELITIAN TINDAKAN

  1. Desaian Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan model Kemmis dan Tanggart dengan tahapan perencanaan, tindakan dan pengamatan serta refleksi untuk setiap siklus. Penelitian ini bersifat kolaboratif karena melibatkan guru SMAN 1 KEMPO yang dipilih. Penelitian ini dirasa cocok untuk pemecahan masalah masalah karena memungkinkan peneliti untuk melakukan tindakan atau peningkatan terhadap suatu program Supervisi pembelajaran dengan melibatkan guru di sekolah lokasi binaan.

2. Setting Penelitian

Lokasi penelitian di pilih SMAN 1 KEMPO karena sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang tergolong rendah dalam hal peningkatan prestasi belajar matematika, hal ini peneliti peroleh dari data UAN tahun pelajaran 2007/2008 dengan nilai rata-rata 3,75. Untuk pemecahan masalah dilakukan sebanyak 3 (tiga) siklus atau sebanyak 3 (tiga) bulan efektif. Setiap siklus memiliki tahapan sebagai berikut:

a. Tahap Perencanaan, pada tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan meliputi:

· Tim mengidentifikasi permasalahan kualitas proses belajar mengajar, penguasaan siswa terhadap standar materi/prestasi belajar siswa sebagai acuan dalam memetakan permasalahan pokok pada penguasaan metode/pendekatan pembelajaran, serta hasil evaluasi

· Tim peneliti berdiskusi merumuskan kriteria yang tepat dalam implementasi pendekatan pembelajaran kontektual dan tingkat penguasaan siswa terhadap standar materi matematika;

· Tim peneliti bersama-sama menyusun model pembelajaran dengan pendekatan kontektual terhadap materi yang akan disampaikan;

· Tim peneliti bersama-sama menyusun alat evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa pada aspek kognitif, apektif dan psikomotor berdasarkan standar materi matematika;

· Tim peneliti menyusun instrumen yang digunakan untuk mengetahui bagaimana aktivitas siswa dalam mengikuti proses pembelajaran;

· Tim peneliti mengadakan micro teaching untuk mengetahui efektifitas implementasi pendekatan kontekstual;

· Tim peneliti menetapkan model yang tepat untuk kegiatan tindakan.

b. Tahap Tindakan,

pada tahap ini, Team (Pengawas bersama guru matematika) melaksanakan seluruh isi pesan dalam tahap perencanaan pada proses pembelajaran berdasarkan pendekatan yang digunakan dan diakhiri dengan kegiatan evaluasi.

c. Tahap Observasi,

pada tahap ini hakekatnya dimaksudkan untuk mengatahui:

· Apakah seluruh materi pembelajaran sesuai dengan metode/pendekatan yang digunakan;

· Apakah seluruh materi pembelajaran telah dilaksanakan oleh guru sesuai dengan pendekatan yang telah ditetapkan;

· Apakah alat evaluasi telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan;

· Adakah kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh guru dalam menggunakan pendekatan kontektual seperti yang telah ditetapkan dalam KBK;

· Faktor-faktor apakah yang menyebabkan hal itu terjadi;

· Alternatif-alternatif apakah yang dapat ditempuh untuk memecahkan masalah yang ada;

· Apakah hasil yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut.

d. Tahap Refleksi dan Evaluasi,

Pada tahap ini seluruh anggota tim peneliti berkumpul dan berdiskusi untuk membahas temuannya selama kegiatan observasi. Hasil yang telah diperoleh dari sebelumnya dan sesudah dilakukannya tindakan, kemudian hasil keduanya dibandingkan. Kegiatan komparasi ini untuk mengetahui kualitas implementasi pendekatan kontekstual dan tingkat penguasaan siswa terhadap standar matematika.

Siklus pertama:

1) melaksanakan tahapan perencanaan,

2) tahapan tindakan,

3) tahapan Observasi, dan

4) tahapan Refleksi dan evaluasi.

Hasil akhir pada refleksi dan evaluasi siklus pertama digunakan sebagai dasar untuk melakukan perencanaan pada siklus kedua dan seterusnya sampai dengan siklus ketiga (terakhir). Pada bagian siklus ketiga, peneliti memperoleh model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

Indikator keberhasilan tindakan ini, meliputi:

1) motivasi atau minat belajar siswa dengan pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika, ditandai dengan unsur kreativitas siswa, keaktifan siswa, dan pelibatan sumber belajar secara menyeluruh;

2) peningkatan kemampuan siswa dalam penguasaan konsep matematika dengan ditandai dengan unsur penggunaan evaluasi pembelajaran yang meliputi aspek kognitif, dan apektif, dengan ukuran skor minimal KKM = 65 (ketuntasan belajar individual 65%) dan klsikal 85 %, berdasarkan standar materi yang telah ditetapkan.

Dengan mencermati seluruh uraian di atas, dapat ditetapkan bahwa sumber data penelitian ini berasal dari guru (tim peneliti) dan siswa. Dari guru, peneliti memperoleh data tentang implementasi pendekatan kontekstual pembelajaran matematika Dari siswa peneliti peroleh data prestasi belajar matematika. Data dari guru diperoleh dari lembar dokumentasi untuk memperoleh kesiapan proses pembelajaran di kelas, sedangkan dari siswa, lembar tes digunakan untuk mengetahui penguasan standar materi matematika, yaitu pemahaman (apektif) dan tindakan (psikomotor) siswa.

3. Analisa Data

Data yang diperoleh dari keseluruhan tindakan (siklus) selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan tahapan-tahapan meliputi:

1) Reduksi data, tim peneliti akan malakukan penyederhanaan data mentah dari keseluruhan tahapan siklus dengan jalan membuat fokus, klsifikasi, abstraksi data kasar menjadi data yang bermakna untuk dianalisis;

2) Hasil tahapan pertama disajikan secara deskriptif melalui visualisasi bentuk tabel sehingga memudahkan untuk membaca data;

3) Penyimpulan atas sajian data hasil analisis. Hasil merupakan dampak yang diperoleh dari keseluruhan siklus sehingga dapat diketahui tingkat keoptimalan tindakan tentang implementasi pendekatan kontekstual dalam standar materi matematika.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Penelitian yang berlangsung tiga siklus dan masing-masing siklus terdiri dari tiga tahap yaitu tahap perencanaan, tindakan, diagnosa/observasi dan tahap refleksi dan evaluasi. Hasil seluruh siklus disajikan sebagai berikut:

Siklus Pertama

Siklus ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008, data yang diperoleh pada siklus ini dikelompokkan menjadi tiga bagian sekaligus menunjukkan tahapan kegiatan tiap satu siklus, yakni perencanaan, tindakan dan observasi, serta analisis dan refleksi. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.

No.

Tahap Kegiatan

Hasil Tindakan

1

Perencanaan

· Dalam proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh guru selama ini masih didominasi oleh guru, sehingga siswa cendrung pasif dalam menerima materi pelajaran.

   

· Selanjutnya pada tahap perencanaan ini diperoleh kesepakatan dan hasil diskusi untuk pembenahan proses pembelajaran matematika sesuai dengan rencana penelitian yaitu: tersusunnya rencana pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual.

2

Tindakan dan Observasi

Guru menerapkan skenario pembelajaran yang telah ada dengan memanfaatkan media pembelajaran dan strategi pembelajaran kontekstual dengan pendekatan cooperative leraning pada Kompetensi Dasar perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan masalah, serta merumuskan dan menentukan peluang kejadian dari berbagai situasi serta tafsirannya.

· Siswa sangat antosias dalam proses pembelajaran karena materi pelajaran menjadi menarik.

· Siswa aktif dalam proses pembelajaran, sementara guru hanya sebagai mediator dan fasilitator (semua siswa memiliki buku paket matematika sebagai acuan dalam pembelajaran).

· Ada beberapa hal yang belum terlaksana dengan baik yaitu ada bagian materi yang telah direncanakan untuk dibahas tidak terlaksanakan

   

karena cakupan materi terlalu luas. Oleh karena itu perlu dibatasi ruang lingkup sesuai dengan metode yang digunakan.

· Evaluasi dalam proses pembelajaran belum dapat dilaksanakan karena kurangnya waktu yang tersedia.

3

Refleksi dan Rencana Selanjutnya

Peneliti dan guru mata pelajaran melakukan diskusi bersama untuk membenahi kekurangan yang ada yaitu dalam perencanaan pembelajaran, kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan proses pembelajaran sesuai dengan indikator yang telah disepakati.

2. Siklus Kedua

Siklus ini dilaksanakan pada bulan September 2008, dan hasilnya dapat terlihat pada tabel berikut:

No.

Tahap Kegiatan dan Siklus

Hasil Tindakan

1

Perencanaan

· Peneliti dan guru menyusun model skenario pembelajaran dengan cakupan materi yang sesuai dengan jumlah jam pelajaran (2 jam pelajaran) dengan pendekatan pembelajarn kontektual

   

· Merancang evaluasi pembelajaran untuk mengukur kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor siswa dalam proses pembelajaran.

Ada kesepakatan antara peneliti dan guru bahwa guru sebagai pelaksana pembelajaran akan mempertahankan dan meningkatkan kemajuan yang telah diperolehnya.

2

Tindakan dan Observasi

Guru melaksanakan skenario pembelajaran yang hasilnya sebagai berikut:

· Guru tidak lagi merasa kesulitan dalam menyampaikan materi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, sedangkan minat dan motivasi siswa sangat tinggi dalam proses pembelajaran.

· Media pembelajaran yang dirancang dapat dimamfaatkan/dilaksanakan meskipun belum optimal.

· Pada akhir pembelajaran, guru telah melakukan evaluasi pembelajaran dan siswa

   

dibimbing untuk membuat resume pembelajaran.

Siswa lebih mudah untuk memahami materi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL Cooperative Learning pada Kompetensi Dasar perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan masalah, serta merumuskan dan menentukan peluang kejadian dari berbagai situasi serta tafsirannya.

· .

· Siswa cukup aktif dalam proses pembelajaran baik dari segi bertanya, menanggapi maupun mengerjakan tugas dalam aktivitas pembelajaran.

· Guru masih tidak cukup waktu dalam penyampaian materi pembelajaran, terutama dalam proses pembimbingan siswa dalam membuat resume pembelajaran.

3

Refleksi dan Rencana Selanjutnya

· Guru sebagai pelaksana tindakan menyadari kekurangan yang terjadi dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Untuk itu disepakati untuk melakukan pembebahan skenario pembelajaran agar dapat mengakomodasi alokasi waktu yang tersedia, sehingga dapat dilakukan kegiatan pembelajaran inti, evaluasi dan resume pembelajaran.

   

· Guru sudah mampu menerapkan media dan dan strategi pembelajaran. Hal ini perlu ditingkatkan lagi dalam pelaksanaan pembelajaran selanjutnya.

3. Siklus Ketiga

Siklus ini dilaksanakan selama bulan Oktober 2008. Hasilnya dapat terlihat pada tabel berikut:

No.

Tahap Kegiatan dan Siklus

Hasil Tindakan

1

Perencanaan

· Peneliti dan guru menyusun skenario pembelajaran untuk siklus ketiga (terakhir) dengan memperhatikan beberapa hal sebagai implementasi refleksi siklus sebelumnya, meliputi pentingnya sistem kerja sama (belajar kelompok) bagi siswa dan interaksi guru dengan siswa.

· Bagian penting yang tidak boleh diabaikan adalah dalam mengembangkan skenario pembelajaran, dengan memperhatikan tujuh kunci utama dalam pembelajaran kontekstual.

2

Tindakan dan Observasi

Guru melaksanakan skenario pembelajaran yang ada, dan hasil yang dicapai sebagai berikut:

· Terdapat peningkatan yang sangat berarti pada interaksi belajar guru-siswa. Aktivitas ini berlangsung dalam suasana menghargai potensi siswa pada seluruh aspek secara integrasi.

· Terdapat peningkatan jumlah siswa yang memberikan respon terhadap pembahasan materi faktorisasi bentuk aljabar sehingga semakin bertambah banyak yang telah tuntas dalam belajarnya.

Pola kerja kelompok dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap hasil perkembangan intelektual siswa dalam memahami materi Kompetensi Dasar perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan masalah, serta merumuskan dan menentukan peluang kejadian dari berbagai situasi serta tafsirannya.

· , sehingga hasil yang dicapai optimal.

· Siswa memberikan respon positif terhadap guru yang melakukan evaluasi secara komperehensif. Evaluasi yang hanya terfokus satu aspek dapat membosankan siswa.

3

Refleksi dan Rencana Selanjutnya

Seperti siklus sebelumnya, peneliti melakukan analisis terhadap perolehan data selama siklus, dan hasilnya adalah:

· Perolehan data pada siklus terakhir menunjukkan bahwa terdapat peningkatan perolehan hasil belajar siswa yaitu proses ketuntasan belajar siswa menjadi meningkat. Hal ini diperoleh dari hasil anlisa data yang telah dilakukan oleh peneliti.

· Intraksi guru-siswa dalam proses belajar mengajar semakin optimal, suasana belajar siswa sangat menyenangkan dan motivasi belajar siswa meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan kualitas siswa, kuantitas siwa yang memberikan respon, dan kuantitas siswa menurun tentang pemahaman konsep faktorisasi bentuk aljabar.

Pembahasan Hasil

1. Siklus Pertama

Pada tahap perencanaan, data menunjukkan bahwa pembelajaran matematika yang diterapkan oleh guru selama ini masih berorientasi pada penguasaan konsep secara kognitif. Anak lebih banyak belajar menghafal rumus-rumus atau cara memfaktorkan dari pada menentukan sendiri proses pemfaktoran, hal ini membuat anak menjadi bosan dan jenuh dalam belajar matematika. Pendekatan dan metode yang digunakan guru kurang bervariatif, masih terfokus pada guru, siswa kebanyakan pasif dalam menerima pelajaran. Dalam proses perencanaan ini diperoleh kesepakatan tentang model pembelajaran dan hasil diskusi untuk pembenahan proses pembelajaran kontekstual ,tersusunnya model evaluasi yang dapat mengukur pemehaman anak yang lebih dalam yaitu aspek afektif dan aspek psikomotor, dan guru telah memiliki kesiapan untuk menerapkan model pembelajaran yang ada.

Pada bagian tindakan dan observasi, nampak bahwa guru menerapkan skenario pembelajaran yang telah disusun dengan memanfaatkan media pembelajaran yang ada disekitar lingkungan sekolah dan implementasi pendekatan kontekstual pada pokok bahasan Faktorisasi Bentuk Aljabar. Hasil pengamatan jalannya proses pembelajaran menunjukkan bahwa cukup antusias dalam pembelajaran karena dilihat dari angket responden yang telah disebarkan sebagian besar dari siswa menjawab senang dan gembira dalam belajar matematika, sehingga motivasi siswa makin tinggi.

Beberapa hal yang belum terlaksana dengan baik adalah terdapat beberapa bagian materi yang belum sempat disampaikan karena cakupan materi cukup luas dan kurangnya waktu yang disediakan. Untuk itu perlu direncanakan media dan strategi pembelajaran yang bervareasi, sehingga pembelajaran lebih menarik lagi. Pelaksanaan evaluasi dan proses bimbingan untuk membuat resume belum sempat dilaksanakan karena kekurangan waktu.

Dari hasil analisa data dan refleksi diperoleh bahwa dari 39 0rang siswa kelas II diperoleh nilai tertinggi 100 dan terendah 50, jumlah siswa yang telah tuntas belajarnya 22 orang dengan prosesntase ketuntasan kelasikal 56, 4 %.

Dengan memperhatikan hasil pengolahan data, maka peneliti dan team sepakat untuk meningkatkan proses pembelajaran sesuai kriteria yang disepakati bersama, dan hal ini sangat penting untuk melaksanakan siklus kedua.

2. Siklus Kedua

Pada bagian perencanaan, setelah memperhatikan hasil analisis dan pengolahan data, maka pada siklus ini menunjukkan bahwa telah dilakukan penyusunan kembali skenario pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual dengan cakupan materi sesuai yang telah ditetapkan team dan jangka waktu 2 jam pelajaran (2 x 45 menit). Di samping itu telah dilaksanakan pula proses pembimbingan untuk membuat resume dari materi yang telah disampaikan, evaluasi berupa soal-soal latihan juga telah diterapkan dengan baik sesuai dengan yang telah direncanakan. Bagian-bagian penting yang telah dicapai pada siklus pertama akan dipertahankan dan sekaligus ditingkatkan pada siklus ini.

Setelah dilakukan serangkaian tindakan, maka hasil observasi menunjukkan bahwa guru melaksanakan skenario pembelajaran yang telah disusun, guru nampak lebih santai dalam proses pembelajaran karena siswa aktif berdiskusi tentang materi yang dipelajarinya. Di samping utu guru dengan leluasa memberikan bimbingan kepada kelompok siswa yang membutuhkan penjelasan. Siswa lebih mudah dan cepat dalam memahami materi pembelajaran, siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Pada akhir pembelajaran siswa sudah bisa membuat resum sendiri tanpa bimbingan dari guru dan dapat mengerjakan soal-soal yang diberikan guru., namun waktu yang tersedia cuka tidak cukup untuk menyelesaikan soal.

Dari hasil analisa data dan refleksi pada siklus ini diperoleh bahwa dari 39 0rang siswa kelas II diperoleh nilai tertinggi 98 dan terendah 58, jumlah siswa yang telah tuntas belajarnya 31 orang dengan prosesntase ketuntasan kelasikal 79,5 %.

Dengan memperhatikan hasil pengolahan data, maka peneliti dan team sepakat untuk meningkatkan proses pembelajaran sesuai kriteria yang disepakati bersama, dan hal ini sangat penting untuk melaksanakan siklus ketiga.

3. Siklus Ketiga

Peneliti bersama guru menyusun skenario pembelajaran untuk siklus terakhir (ketiga). Implementasi refleksi dari siklus sebelumnya adalah pentingnya masyarakat belajar (kelompok belajar) dalam memahami konsep-konsep matematika khususnya pada materi Faktorisasi Bentuk Aljabar. Bagian penting yang tidak boleh diabaikan adalah interaksi antara guru – siswa senantiasa harus dipertahankan dan dikembangkan. Dan yang tidak boleh diabaikan adalah penerapan ketujuh kunci utama dari pembelajaran kontekstual, sehingga sebagai dasar bagi implementasi refleksi siklus sebelumnya.

Berdasarkan implementasi dari semua siklus, diketaui bahwa pada siklus kelima (terakhir) data telah menunjukkan adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan optimal, hal ini dapat dilihat dari hasil pengolahan data pada siklus ketiga (terakhir) yaitu dari jumlah siswa 39 orang, yang telah tuntas belajarnya adalah sejumlah 35 orang atau dengan prosentase ketuntasan belajar secara kelasikal 89,7 %.

Adapun hasil perolehan pengolahan data dari siklus pertama sampai dengan siklus terakhir (ketiga) dapat dilihat pada tabel berikut:

clip_image002[6]

 

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dari semua siklus, diketahui bahwa :

1. Pada siklus ketiga (terakhir) data telah menunjukkan adanya perubahan kearah lebih optimal sebagai bentuk telah terjadinya suatu peningkatan prestasi belajar siswa dengan sistem ketuntasan belajar yang telah ditetapkan yaitu 65 % untuk individual dan 85 % secara kelasikal telah menguasai indicator atau KD yang diujikan.

2. Keoptimalan implementasi skenario pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan kontekstual ditandai dengan adanya penyusunan dan penerapan skenario pembelajaran yang telah memenuhi unsur keterlibatan aktif siswa, motivasi belajar siswa yang semakin tinggi (semangat belajar siswa menjadi bergairah) serta pelibatan sumber belajar secara menyeluruh.

3. Penerapan ini berdampak pada peningkatan kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep matematika yang ditandai dengan unsur penguasaan evaluasi pembelajaran. Di samping itu peningkatan prestasi belajar yang diperoleh siswa sebagai wujud dari implementasi tindakan setiap siklus.

4. Bagian penting yang tidak boleh diabaikan dalam mengembangkan skenario pembelajaran adalah dengan memperhatikan ketujuh kunci utama dalam proses pembelajaran kontekstual sebagai dasar bagi penyelenggaraan pembelajaran.

5. Peningkatan kemampuan matematik siswa yang memperoleh pembelajaran cooperative menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional (biasa).karena pembelajaran kooperatif memunculkan sikap aktif dan kreatif siswa, terutama mencoba menyelesaikan soal-soal yang diberikan, berdiskusi dengan temannya sesama kelompok, dan siswa berani mengemukakan atau mengajukan pertanyaaan kepada guru.

6. Tanggapan atau respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif adalah positif. Pembelajaran ini juga membuat siswa merasa senang, tertarik, tertantang, terbantu dan dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dalam belajar oleh kegiatan kelompok. Selain itu, selama proses pembelajaran siswa juga terlihat tidak bosan belajar. Hal ini terlihat dari antusias dan semangat belajarnya meningkat, tumbuhnya sikap saling menghargai dan keberanian dalam menyampaikan suatu pertanyaan atau tanggapan.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. SMA Negeri 1 Kempo diharapkan dukungan dan berpartisipasi aktif dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya pada mata pelajaran matematika. mengatasi kekurangan-kekurangan yang dialami oleh guru dalam menyelenggarakan pembelajaran.

2. Guru mata pelajaran matematika hendaknya selalu memperhatikan implementasi skenario pembelajaran matematika sesuai dengan pendekatan kontekstual, yang ditandai dengan adanya penerapan ketujuh kunci utama pembelajaran CTL.

3. Kepada guru matematika SMA, disarankan sebaiknya menciptakan suasana belajar yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam bahasa dan cara mereka sendiri, sehingga dalam belajar siswa menjadi berani berargumentasi, lebih percaya diri, dan kreatif. Siswa dapat saling bekerja sama dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif, salah satu yang dapat memunculkan suasana tersebut adalah belajar kooperatif.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri S. (2003). Penerapan Pembelajaran Kooperatif dengan Pemberian Bahan Ajar Pada Topik Rangkaian Listrik Arus Searah. Tesis PPS UPI: tidak diterbitkan.

Berlin, D. F. dan Hillen, J.A. (1994). Making Connections in Math and Science: Identifying Student Outcomes. School Science and Mathematics Volume 94.

Hamalik, O. (2003). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Pembelajaran Kooperatif, Surabaya : Universitas Negeri Surabaya

Ibrahim, M dan Nur, M (2000) Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya : UNESA University P

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conseptual Learning Gain in Physics. American Journal of Physics. Vol. 70. Page. 1259-1268.

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning : Theory, Research, and Practice. Second Edition. Massachusetts : Allyn and Bacon Publishers

Sudjana. (1992). Metode Statistika, Edisi ke-5. Bandung : Tarsito

Sugiono (2002) Statistika untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung.

Suharsimi_Arikunto. (2002), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi), Bumi Angkasa, Jakarta.

_________ (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Jogjakarta, Kanisus

Turmudi (Ed). (2001) Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, JICA, FPMIFA-UPI

_________ (2000). Kecenderungan Pembelajaran Matematika pada Abad 21: Bandung: Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika FP MIPA

________ (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI Bandung : Tidak Diterbitkan

_________ (2001). Belajar Tuntas dalam Pembelajaran Matematika Perlu Dipertanyakan. Makalah pada Seminar Nasional JICA. FMIPA UPI Bandung.

 

IDENTITAS PENGIRIM

Judul Artikel : Implemetasi Pembelajaran Cooperaive Learning Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi belajar Matematika Pada SMA Negeri 1 Kempo(Penelitian Kolaboratif)

Suaidin Pengawas Sekolah Dinas Dikpora Dompu-NTB

Nama Pengarang :Suaidin

Nomor Identitas, NIP, NIY :196301081987031013

Institusi Kerja :Pengawas Sekolah Dinas Dikpora Dompu-NTB

Email :dinusmath63@gmail.com

Alamat Blog :http://suaidinmath.wordpress.com

Kirimkan artikel anda DISINI

BACA SELENGKAPNYA »

Sabtu, 24 Desember 2011

Pengertian Pembelajaran Kontekstual CTL / Contextual Teaching and Learning

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel da-pat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.

CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja ber-sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesu-atu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan-nya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidu-pan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Langkah-langkah CTL
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut:
1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan masyarakat belajar.
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai cara.
Karakteristik Pembelajaran CTL
1. Kerjasama.
2. Saling menunjang.
3. Menyenangkan, tidak membosankan.
4. Belajar dengan bergairah.
5. Pembelajaran terintegrasi.
6. Menggunakan berbagai sumber.
7. Siswa aktif.
8. Sharing dengan teman.
9. Siswa kritis guru kreatif.
10. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain.
11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, lang-kah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya.

Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (je-las dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual le-bih menekankan pada skenario pembelajarannya.
Beberapa komponen utama dalam pembelajaran Kontekstual menurut Johnson (2000: 65), yang dapat di uraikan sebagai berikut:

1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik, ilmu pengetahuan alam. Atau sejarah dengan pengalamannya mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL.


2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works)
Model pembelajaran ini menekankan bahwa semua proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus punya arti bagi siswa sehingga mereka dapat mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sisw
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning)
Pembelajaran yang diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri, memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
4. Bekerjasama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking)
Pembelajaran kontekstual membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, nerpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian, ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual)
Dalam pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian: integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dsb. Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor, dan mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan, asalkan sia dibantu oleh gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya.
8. Menggunakan Penilaian yang otentik (using authentic assessment)
Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari ujian stanar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari.


Pustaka
Depdiknas. Direktorat Pembinaan SMA. 2009. Pengembangan Pembelajaran Yang Efektif. Bahan Bimbingan Teknis KTSP. Jakarta.
Ibrahim R, Syaodih S Nana. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Menga-jar. Bandung: Sinar Baru.


 

BACA SELENGKAPNYA »

Kamis, 15 Desember 2011

Sekilas tentang Metode Kontekstual CTL (Contextual Teaching and Learning)

Penerapan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Amerika Serikat bermula dari pandangam ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progressivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam proses belajar di sekolah. Pokok-pokok pandangan progressivisme antara lain:
1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri.
2. Siswa harus bebas agar dapat berkembang wajar.
3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti.
5. Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progressivisme John Dewey, teori kognitif melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. siswa menunjukkan belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipendang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkit ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Sejauh ini pendidikan kita masih di dominasi oleh pandangan bahawa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruksivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkontruksikan sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi konstruksivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi, siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal.

Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif, temporer, dan selalu berubah. Segala sesuatu bersifat temporer, berubah dan tidak menentu. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagain kegiatan atau menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Dengan paham kontruksivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri dari pengalaman/pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalam belajar bermakna. Siswa diharapkan memapu mempraktikkan pengetahuan/pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.

Hakikat teori kontruksivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. teori kontruksivisme memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dn memperbaiki aturan-aturan yang tidak sesuai lagi. Teori konstruksivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa aktif, maka strategi kontruksivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat kepada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori kontruktivistik dalam praktek pembeljaran di sekolah-sekolah kita sekarang adalah sebagai berikut:
1. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru
2. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.
3. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.
4. Belajar pada hakikatnya memiliki aspeksosial dan budaya.
5. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
Dalam pandangan kontruksivistik, kebebasan dipandangan sebagai penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.

Referensi :
Depdiknas. Direktorat Pembinaan SMA. 2009. Pengembangan Pembelajaran Yang Efektif. Bahan Bimbingan Teknis KTSP. Jakarta.
Hamalik, Oemar. 1990. Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito
Nasution. S. 2005. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Menga-jar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Menga-jar. Bandung: Sinar Baru.
BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit