Tampilkan postingan dengan label Model Pembelajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Model Pembelajaran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 April 2012

Model pembelajaran Group Investigation

Model Pembelajaran Group Investigation, Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan adalah:

  1. siswa hendaknya aktif, learning by doing;
  2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik;
  3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap;
  4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa;
  5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting;
  6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata. Model Pembelajaran Group Investigation

Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu:

  • Grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan),
  • Planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya),
  • Investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi),
  • Organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis),
  • Presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan
  • Evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.

Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.

 

Referensi

  • Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill.
BACA SELENGKAPNYA »

Rabu, 25 April 2012

Model Pembelajaran Perubahan Konseptual

Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu:

  1. Mempertahankan intuisinya semula,
  2. Merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan
  3. Merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru. pembelajaran

Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual. Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared knowledge.

Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu:

  1. Sajian masalah konseptual dan kontekstual,
  2. Konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut,
  3. Konfrontasi sangkalan berikut trategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan,
  4. Konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah,
  5. Konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, dan
  6. Konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan memberi peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .

Referensi

  • Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
  • Parkins, D.N. 1995. What Creative Thinking Is. Costa, A.L. (Ed). Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. (hlm. 58-61) Alexandra, Virginia: Assosiation for Supervisions and Curriculum Development (ASCD).

  • Santyasa, I Wayan. 2004. Pengaruh Model Pembelajaran Perubahan Kognitif dan Belajar Kooperatif terhadap Remidiasi Miskonsepsi dan Hasil Belajar Fisika Siswa SMU. Desertasi. (tidak diterbitkan). Malang: Universitas Negeri Malang.

BACA SELENGKAPNYA »

Rabu, 18 April 2012

Model Pembelajaran Inquiry Training

Model Pembelajaran Inquiry Training (Model Pembelajaran Latihan Inkuiri),

Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah. Model Pembelajaran Inquiry Training

Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980), yaitu:

  1. Menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan),
  2. Menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisiyang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah),
  3. Mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis),
  4. Mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan, dan
  5. Menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.

Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan. Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang.

Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.

Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang siswa untuk melakukan penelitian. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

Referensi

  • JOYCE, Bruce. Marsha Weil (1980) Models Of Teaching, Prentice Hall International. 2nd Ed.
BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit