Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu:
- Mempertahankan intuisinya semula,
- Merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan
- Merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.
Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual. Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu:
- Sajian masalah konseptual dan kontekstual,
- Konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut,
- Konfrontasi sangkalan berikut trategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan,
- Konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah,
- Konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, dan
- Konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan memberi peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
Referensi
- Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
-
Parkins, D.N. 1995. What Creative Thinking Is. Costa, A.L. (Ed). Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. (hlm. 58-61) Alexandra, Virginia: Assosiation for Supervisions and Curriculum Development (ASCD).
-
Santyasa, I Wayan. 2004. Pengaruh Model Pembelajaran Perubahan Kognitif dan Belajar Kooperatif terhadap Remidiasi Miskonsepsi dan Hasil Belajar Fisika Siswa SMU. Desertasi. (tidak diterbitkan). Malang: Universitas Negeri Malang.
Dan kami sangat berterimakasih, kepada anda yang telah meninggalkan komentarnya dibawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar