Tampilkan postingan dengan label kurikulum sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kurikulum sekolah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Juni 2012

MANAJEMEN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN SEKOLAH

Menurut BSNP Depdiknas (2006) dan Mulyasa (2006), penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah: kurikulum pendidikan

  1. Melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan setempat
  2. Melakukan analisis konteks
  3. Penyiapan dan penyusunan draf
  4. Reviu dan revisi draf
  5. Finalisasi draf
  6. Pemberlakuan KTSP

Koordinasi perlu dilakukan oleh kepala sekolah dalam

merencanakan dan menyusun KTSP. Kegiatan koordinasi sekurangkurangnya menyangkut dua kegiatan sebagai berikut:

  1. Melakukan koordinasi mengenai rencana penyusunan KTSP dengan dinas pendidikan kabupaten/kota setempat
  2. Menghubungi ahli pendidikan setempat untuk diminta bantuannya sebagai nara sumber dalam kegiatan penyusunan KTSP. Analisis konteks merupakan kegiatan yang mengawali penyusunan KTSP.

Kegiatan ini dapat dilakukan dalam rapat kerja atau lokakarya yang diikuti oleh tim penyusun KTSP. Kegiatan menganalisis konteks mencakup dua hal pokok, yaitu:

  1. Analisis potensi dan kekuatan/kelemahan yang ada di sekolah (peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-program yang ada di sekolah).
  2. Analisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar (komite sekolah, dewan pendidikan, dinas  pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya).
  3. Mengidentifikasi standar isi dan standar kompetensi lulusan sebagai acuan dalam penyusunan KTSP.
  4. Setelah tim penyusun KTSP memahami potensi dan

kekuatan/kelemahan sekolahnya, serta peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungannya, tibalah saatnya tim mulai bekerja menyiapkan dan menyusun draft KTSP. Kegiatan ini dapat juga dilakukan dalam suatu rapat kerja atau lokakarya yang dihadiri oleh seluruh anggota tim penyusun KTSP.

Tahapan-tahapan dalam manajemen mutu KTSP, dimulai dari
perumusan perangkat KTSP dengan melibatkan stake holders sekolah,
yang terdiri atas: (1) pengembangan silabus, (2) penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan (3) penyusunan perangkat evaluasi berbasis kelas. Adapun stake holder sekolah yang dilibatkan dalam

perumusan perangkat KTSP adalah: kepala sekolah (ketua merangkap
anggota), guru (anggota), konselor sekolah (anggota), komite sekolah
(anggota), ahli pendidikan (nara sumber), dinas pendidikan (koordinasi
dan supervisi). Dalam KTSP tersebut juga dirumuskan kriteria
ketuntatasan minimal (KKM) yang harus dicapai oleh peserta didik pada
masing-masing mata pelajaran dan kelas. Pengontrolan atas mutu KTSP
yang dirumuskan oleh sekolah beserta dengan stake holdersnya
dilakukan dengan membandingkan dengan kisi-kisi evaluasi KTSP baik
dari segi rumusannya, pihak-pihak yang terlibat dan dari segi
substansinya.

Manajemen pembelajaran adalah sebagai kelanjutan dari
manajemen mutu kurikulum. Jika manajemen mutu kurikulum terkait
dengan aspek rumusannya, maka manajemen mutu pembelajaran terkait
dengan implementasi kurikulum di tingkat kelas. Dalam perspektif KTSP,
menurut BSNP Depdiknas (2006) dan Mulyasa (2006), manajemen mutu
pembelajaran adalah suatu aktivitas yang mengupayakan agar siswa
terkondisi untuk belajar. Belajar sendiri merupakan kegiatan aktif siswa
dalam membangun makna atau pemahaman. Guru memberikan dorongan
kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun
gagasan. Tanggungjawab belajar ada pada diri siswa, tetapi guru
bertanggungjawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa,
motivasi dan tanggungjawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.

Agar manajemen mutu pembelajaran berjalan dengan efektif, ada sejumlah prinsip yang menurut perspektif KTSP harus dipedomani. Prinsip tersebut diangkat dari bebagai perspektif psikologi (behavioristik, kognitif, humanistik dan gestal), yaitu:

  1. Berpusat pada siswa, ialah bahwa kegiatan pembelajaran
    hendaknya mengkondisikan agar siswa belajar sesuai dengan
    bakat, minat, kemampuan dan potensinya,
  2. Belajar dengan melakukan, ialah memberikan pengalaman nyata
    sehari-hari, terkait penerapan konsep, kaidah dan prinsip disiplin ilmu yang dipelajari,
  3. Mengembangkan kemampuan sosial, ialah memberikan
    kesempatan kepada siswa mengkomunikasikan gagasannya
    kepada siswa lain dan guru,
  4. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi dan fitrah bertuhan,
    sebagai model dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri dan kreatif
    serta bertakwa kepada tuhan,
  5. Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, karena
    keberhasilan hidup banyak ditentukan oleh kemampuan untuk
    memecahkan masalah,
  6. Mengembangkan kreativitas siswa, dengan cara memberi
    kesempatan dan kebebasan kepada siswa untuk berkarya secara
    bersinambung,
  7. Membangun kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi,
    dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
    informasi dari berbagai media,
  8. Menumbuh-kembangkan kesadaran sebagai warga negara yang
    baik,
  9. Belajar sepanjang hayat, ialah bahwa pembelajaran perlu
    mendorong siswa untuk melihat dirinya secara positif, mengenali
    diri sendiri, percaya diri, memahami diri sendiri dan orang lain serta
    mendorong dirinya sendiri untuk terus belajar sepanjang hayat, dan
  10. Adanya perpaduan antara kompetisi, kerja sama dan solidaritas.
    Sementara itu, manajemen mutu kelas adalah pengaturan terhadap fisik dan psikologis kelas agar teroskestrasi sehingga menjadi sebuah panggung yang menarik siswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Mengingat kelas yang kondusif adalah prasyarat bagi pembelajaran yang kondusif, maka manajemen mutu kelas juga menjadi prasyarat mutu pembelajaran. Ruang kelas harus diorkestrasikan sehingga memungkinkan aksesibilitas (siswa mudah menjangkau alat dan sumber belajar), interaksi (hubungan timbal balik siswa-siswa dan siswa-guru), dan variasi kerja siswa (bekerja perorangan, berpasangan dan kelompok). DePorter (2002) melalui Quantum Teaching mengedepankan

perlunya mengorkestrasi kelas dengan label lingkungan yang mendukung.
Kelas yang baik menurutnya didukung dengan poster ikon, poter afirmasi,
warna yang disukai dan menggairahkan, serta alat bantu belajar. Guna
menguji bermutu tidaknya suatu kelas, seorang kepala sekolah dapat
membunyikan bel tanda istirahat sebelum pembelajaran selesai. Ketika
siswa cepat berhamburan keluar dari ruangan kelas dan merespon
dengan teriak ”hore”, maka kelas tersebut dipandang tidak begitu bermutu. Sebaliknya jika siswa merespon dengan ungkapan ”huu...” dan mereka tidak mau keluar dari kelasnya, maka itu adalah indikator kelas yang bermutu. Dengan perkataan lain, kelas yang bermutu adalah menarik secara fisik dan secara psikologis. Baik kemenarikan secara fisik maupun psikologis, sengaja didisain oleh manajer sekolah dan diimplementasikan serta diperbaiki secara berulang.

Sumber : DIREKTORAT JENDERAL PMPTK, 2009, Dimensi Kompetensi Manajerial, Jakarta, DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

BACA SELENGKAPNYA »

Minggu, 20 Mei 2012

Aktivitas Guru dalam Menilai Kurikulum

Guru melakukan penilaian kurikulum untuk mengetahui kelebih­an dan kelemahan kurikulum yang digunakan, sehingga diharapkan dapat ditindaklanjuti menuju per­baikan di masa yang akan datang. Penilaian kurikulum bukanlah suatu pe­kerjaan yang mudah, hal ini didasarkan pada banyaknya aspek yang harus dinilai dan banyaknya pihak yang terkait dalam penilaian. Bahkan ada se­mentara kalangan mengatakan bahwa jika ingin melakukan penilaian ter­hadap kurikulum maka yang pertama harus memahami terlebihdahulu mak­na dari penilaian itu sendiri .

kurikulum sekolah

Guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah harus senantiasa melakukan evaluasi atau penilaian kurikulum secara kontinyu dan kompre­henship. Penilaian terhadap kurikulum sesungguhnya sangat luas, oleh karena itu untuk dapat melakukan penilaian secara akurat terlebih dahulu harus dipahami pengertian kurikulum yang dianutnya, sebab penilaian terhadap kurikulum berarti menyangkut kurikulum sebagai ide, kuriku­lum sebagai rencana, kurikulum sebagai hasil, kurikulum sebagai proses, dan kurikulum sebagai hasil dan lain sebagainya. Berkenaan dengan kemampuan guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah, mka sangatlah relevan uraian-uraian yang dikemukakan di atas.

Dikatakan demikian, karena dalam melaksanakan tugasnya seorang guru dituntut mampu melaksakan aktivitasnya mulai dari merencanakan kuri­kulum, melaksanakan kurikulum, dan mampu menilai kurikulum tersebut, sehingga guru dituntut mampu mengaktualisasikan dirinya dengan seopti­mal mungkin.

BACA SELENGKAPNYA »

Senin, 14 Mei 2012

Aktivitas Guru dalam Merencanakan Kurikulum

Pada dasarnya kegiatan merencanakan meliputi: penentuan tujuan pengajaran, menentukan bahan pelajaran, menentukan alat dan metode dan alat pengajaran dan merencanakan penilaian pengajaran (Sudjana, 1989: 31). Dengan demikian kegiatan merencanakan merupakan upaya yang sistematis dalam upaya mencapai tujuan, melalui perencanaan yang diharapkan akan mempermudah proses belajar mengajar yang kondusif. kurikulum pendidikan

Dalam kegiatan perencanaan langkah pertama yang harus ditempuh oleh guru adalah menentukan tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari tujuan yang kongkrit akan dapat dijadikan patokan dalam melakukan lang­kah dan kegiatan yang harus ditempuh termasuk cara bagaimana melak­sanakanya. Dalam pandangan Zais (1976: 297) .

Taba (1962: 200-105) memberi beberapa pentujuk tentang cara me­rumuskan tujuan pengajaran yaitu:

  1. Tujan hendaknya mengandung unsure proses dan produk.
  2. Tujuan harus bersifat spesifik dan dinyatakan dalam bentuk prilaku nyata.
  3. Mengandung pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tu­juan yang dimaksudkan.
  4. Pencapaian tujuan kadang kala membutuhkan waktu ralatif lama (tak dapat dicapai dengan segera).
  5. Harus realistis dan dapat dimaknai sebagai kegiatan belajar atau pe­ngalaman belajar tertentu.
  6. Harus komprehensif, artinya mencakup semua aspek dan tujuan yang ingin dicapai sekolah.

Dalam merencanakan proses pembelajaran maka langkah kedua ada­lah menetapkan bahan pelajaran. Dalam pandangan Ansary (1988: 120) bahan pelajaran mencangkup tiga komponen, yaitu ilmu pengetahuan, pro­ses dan nilai-nilai. Dalam hal ini tiga kompunen tersebut dapat dirinci se­suai dengan tujuan yang ingin dicapai sekolah.

Dalam menentukan bahan pelajaran bukanlah pekerjaan yang mudah akan tetapi pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi yang serius, karena bahan pelajaran harus disesuaikan dengan perkembangan sosial di samping­perkembanga ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam menentu­kan bahan pelajaran perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: signifikan­si, kegunaan, minat, dan perkembangan manusiawi (Zais, 1976: 343). Yang harus diperhatikan adalah bagaimana bahan pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik dirancang dan diogarnisir dengan baik. Nasution (1988: 142) mengartikan organisasi kurikulum sebagai pola atau bentuk bahan pelajaran yang disusun dan disampaikan pada murid. Sedangkan menurut Ansyar (1988: 122) bahwa “organisasi kurikulum mencangkup urutan, aturan dan integrasi kegiatan-kegiatan sedemikian rupa guna mencapai tujuan-tujuan.

Sukmadinata (1988: 123) menjelaskan beberapa jenis organisasi ku­rikulum yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran yaitu sebagai berikut: (a) organisasi kurikulum berdasarkan atas pelajaran, (b) organisasi kurikulum berdasarkan kebutuhan anak, (c) organisasi kuriku­lum berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Karena itu guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah sudah seharusnya data memilih jenis organisasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Penentuan metode mengajar adalah merupakan langkah ketiga dari tugas guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah. Menentukan me­tode mengajar ini erat dengan hubungannya pemilihan strategi belajar me­ngajar yang paling efektif dan efensien dalam melakukan proses belajar mengajar guna mencapai tujuan pengajaran. Warijan dkk. (1984: 32) mengartikan strategi pengajaran sebagai kegiatan yang dipilih guru dalam proses belajar mengajar, yang dapat diberikan kemudahan atau fasilitas kepada anak didik menuju tercapainya tujuan pengajaran.

Menurut Sudjana (1989: 57) ada beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan metode mengajar yang akan di­gunakan, yaitu: (a) tujuan pengajaran yang ingin dicapai, (b) bahan pela­jaran yang akan diajarkan, (c) jenis kegiatan belajar anak didik yang dii­nginkan. Ada beberapa metode mengajar yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar, yaitu ceramah, tanya jawab, diskusi, resitasi, belajar kelompok, dan sebagainya.

Sedangkan langkah ke empat dalam merencanakan pembelajaran adalah merencanakan penilaian pelajaran. Penilaian pada dasarnya adalah suatu proses menentukan nilai dari suatu obyek atau peristiwa dalam kon­teks situasi tertentu (Sudjana dan Ibrahim, 1989: 119). Di sisi lain Hasan (1988: 11) mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan tes dan pengukur­an. Tes merupakan bagian integral dari pengukuran, sedangkan pengukur­an hanya merupakan salah satu langkah yang mungkin digunakan dalam kegiatan penilaian.

 

Referensi

  • Hilda Taba, 1962, Curiculum Development, Theory and Practice, Brance and Woerld, inc Hartcourt, New York
  • Nasution, Drs. 1988. Asas-asas Kurikulum. Bandung : Jemmars Bandung.
  • Robert s Zais, 1976, Curiculum Principless and Foundation, Harper & Row Publisher, New York
  • Sujana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru.
  • Sujana, Nana. 2000. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
  • Sukmadinata, Nana Syaodih, (1988), Prinsip Dan Landasan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
  • Warijan. 1984. Dinamika Kelompok dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit