Tampilkan postingan dengan label mendidik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mendidik. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2013

Pelajar Arisan PSK, Tantangan guru dalam mendidik siswa

Luar biasa aktifitas pelajar-pelajar kita saat ini. Ada yang berprestasi di bidang mata pelajaran dan seni budaya baik di tingkat lokal maupun internasional. Ada juga yang ‘juara’ di bidang kenakalannya baik di tingkat lokal maupun internasional. Kalau berita prestasi pelajar yang sukses meraih emas, perak atau perunggu di berbagai kejuaraan tentu sangat membanggakan dan melegakan. Akan tetapi bila ‘prestasi’ pelajar yang meraih ‘juara’ arisan PSK, hal itu tentu sangat menyesakkan dada dan memalukan. Inilah pukulan telak menampar wajah semua manusia yang masih memiliki iman. Barangkali inilah satu-satunya model ‘kejuaraan’ yang pernah ada baik di level daerah maupun di dunia internasional. Karena saya sendiri, selama bertahun-tahun mengikuti berita, baru kali ini tahu ada ‘kejuaraan’ semacam arisan PSK. Setahu saya, justru ‘arisan’ itu kegiatan seorang PSK bukan kegiatan seorang pelajar. image

Fakta Di Depan Mata

Ini merupakan fakta riil yang harus benar-benar menjadi perhatian serius, bukan dianggap sekedar angin lalu, oleh siapapun. Tak peduli kita ini hanya rakyat biasa atau rakyat yang ‘luar biasa’ yang saat ini duduk sebagai Kepala Dikbud Kabupaten/Kota, anggota Legislatif maupun Eksekutif. Semua harus buka mata buka telinga dan buka hati nuraninya dengan fakta bahwa telah ada ‘kejuaraan’ arisan PSK oleh pelajar tingkat SMA. Beberapa hari yang lalu, koran ini dengan jeli memuat pengakuan PSK di eks Lokalisasi Gunung Sampan, Desa Kotakan, Situbondo kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Situbondo bahwa mereka menjadi objek arisan siswa-siswa SMA disana. Dan kegiatan arisan telah berjalan tiap pekan dan tidak hanya sekali. Artinya setiap pekan para pelajar ini ‘sukses’ menyisihkan uang jajannya untuk ‘jajan’ PSK lewat arisan. Nama yang keluar sebagai ‘pemenang’ arisan, berhak mengencani PSK yang telah di-booking. Astaghfirullah, dimanakah orang tua mereka? Dimanakah guru-guru mereka? Dimanakah aparat pemerintah mereka? Potret ini pelakunya masih baru para pelajar SMA, belum lagi yang sudah mahasiswa.

Tentu sangat mengkhawatirkan sekali model pergaulan antar pelajar dan mahasiswa saat ini. Membaca rubrik Jati Diri di harian Jawa Pos (12/12), maka sudah waktunya semua stake holder pendidikan dan masyarakat luas harus full-concern dengan pergaulan bebas dan tingkah pola anak-anaknya. Di rubrik ini memberitakan bahwa pada tahun 1999, seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Iip Wijayanto melakukan penelitian dan menemukan kesimpulan bahwa 97,05 persen mahasiswi Jogjakarta tidak perawan. Artinya bila ada 100 orang mahasiswi, maka 97 orang diantaranya pernah melakukan hubungan layaknya suami istri, entah hubungan itu dalam ikatan resmi atau tidak. Ini baru penelitian untuk mahasiswi saja belum untuk yang mahasiswa, mungkin persentasenya tidak jauh beda. Dan penelitian ini telah dilakukan 13 tahun yang lalu, bagaimana dengan sekarang?

Kita semua tahu, pergaulan sudah sangat bebas, keluarga dan masyarakat sangat permissive (serba boleh), norma-norma agama dan sosial hanya ‘bersuara keras dan tegas’ ada di atas kertas dan di pengajian-pengajian. Pantas saja di Indonesia setiap tahun terdapat 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700.000 pelaku aborsi itu adalah remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun. Data ini dipaparkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Kondisi ini semakin parah ketika membaca hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di sembilan provinsi pada tahun 2012. KPAI mencatat sedikitnya 86,6 persen anak menjadi korban tindak kekerasan di sekolah. Jadi, sekolah-sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk belajar. Bisa baca beritanya di harian Jawa Pos (12/12).

Sinergi Komprehensif Stake Holder

Memang tidak semua pelajar terlibat dalam perilaku negatif dan menyimpang seperti ini. Memang tidak semua keluarga dan masyarakat acuh tak acuh dengan life sytle anak-anaknya. Memang pemerintah telah bekerja semaksimal mungkin menyelenggarakan pendidikan dan mendidik pelajar-pelajarnya dengan sebaik-baiknya. Namun merebaknya kasus-kasus pelajar bak tumbuhnya jamur di musim penghujan, menggambarkan stake holder pendidikan di negeri ini pasti lebih banyak yang tidak peduli daripada yang peduli. Maka sudah saatnya stake holder pendidikan melakukan perubahan kebijakan secara komprehensif (luas dan lengkap), jangan sebagian-sebagian.

Pertama, pihak sekolah wajib memberikan perhatian serius dan kebijakan yang ketat untuk urusan pergaulan antara siswa dengan siswi. Contoh: dilarang berboncengan antara siswa-siswi baik saat pergi dan pulang dari/ke sekolah. Memang hal ini terkesan masalah sepele, akan tetapi bila pihak sekolah tidak memberikan batasan-batasan yang tegas dan jelas, maka akibatnya pergaulan siswa-siswinya bisa seperti pergaulan antara suami-istri.

Kedua, pihak keluarga tentu lebih wajib lagi memantau setiap saat perkembangan putra-putrinya. Dimanapun mereka berada, apapun aktifitasnya, dan dengan siapapun mereka bergaul, jangan lupa selalu up date perkembangannya. Berikan batasan-batasan pergaulan dan aktifitas yang jelas, mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Contoh: boleh bermain di luar rumah asalkan bersama sesama jenis. Boleh ke warung internet (warnet), setelah waktu belajar dan ditemani oleh kakak/adik.

Ketiga, pihak masyarakat harus lebih sensitif dan peduli terhadap aktifitas pelajar yang dilakukan di luar sekolah. Tentu masyarakat bisa membedakan antara kegiatan siswa yang memang terprogram oleh pihak sekolah dan program pribadi pelajar itu sendiri. Contoh: komunitas PSK, yang merupakan bagian dari masyarakat, tentu saja tahu pelanggan mereka adalah pelajar. Harusnya para PSK ini menolak mentah-mentah bahkan mengusir pelajar-pelajar yang berbuat maksiat, bukan malah mempersilahkan bersenang-senang dengannya.

Terakhir, pihak pemerintah tentu harus menggunakan ‘tangannya’ untuk merubah kemaksiatan menjadi kebajikan. Dalam terminologi agama tentu saja ber-amar ma’ruf nahi mungkar sebagai manifestasi kuatnya iman sebagai wakil rakyat. Contoh: membuat regulasi pelajar dilarang berkeliaran di luar sekolah selama jam efektif belajar, kecuali ada tugas khusus dari sekolah.

Ke-4 pihak di atas harus segera mensinergikan diri dan menjalin komunikasi intensif dalam menjaga putra-putrinya. Karena tanggungjawab anak didik bukan milik salah satu pihak. Mana mungkin pihak sekolah harus terus menerus menjaga siswa-siswinya sampai ke tempat-tempat PSK. Tentu tidak mungkin, maka masyarakat, keluarga dan aparat pemerintahlah yang bertanggungjawab. Dan bila semua sudah bersinergi, satu perasaan, satu pemikiran dan satu tindakan, insya Allah kenakalan-kenakalan pelajar bisa di-minimalisir. Semoga!

Referensi :

- Koran Jawa Pos tanggal 12 Desember 2012

 

Identitas Penulis

image Judul Artikel : Pelajar Arisan PSK

Nama Pengarang : Eka Sugeng Ariadi

Nomor Identitas, NIP, NIY : 19800812 200710 1 005

Institusi Kerja : MIN Beji Kabupaten Pasuruan

Email : ekasugengariadi@yahoo.com

Alamat Blog : ekasugengariadi.guru-indonesia.net

Facebook : Eka Sugeng Ariadi

BACA SELENGKAPNYA »

Rabu, 20 Juni 2012

Mendidik Dan Mengajar

Secara teoritis pengertian mendidik dan mengajar tidaklah sama. Mengajar berarti menyerahkan atau manyampaikan ilmu pengaetahuan atau keterampilandan lain sebagainya kepada orang lain, dengan menggunakan cara – cara tertentu sehingga ilmu – ilmu tersebut bisa menjadi milik orang lain. mendidik dan mengajar

     Lain halnya mendidik, bahwa mendidik tidak hanya cukup dengan hany memberikan ilmu pengetahuan ataupun keterampilan, melainkan juga harus ditanamkan pada anak didik nilai – nilai dan norma – norma susila yang tinggi dan luhur.

     Dari pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa mendidik lebih luas dari pada mengajar. Mengajar hanyalah alat atau sarana dalam mendidik .dan mendidik harus mempunyai tujuan dan nilai – nilai yang tinggi.

 

A.    Batas – Batas Kemampuan Pendidikan

     Adapun factor – factor yang membatasi kemampuan pendidikan ialah :

Ø  Faktor anak didik, Anak didik adalah pihak yang dibantu. Pada dasarnya dalam diri anak tersebut sudah terdapat potensi – potensi yang kemungkinan dapat dikembangkan yang mana dalam pengembangannya membutuhkan bantuan pihak lain.

Ø  Factor si pendidik, Pendidik adalah pihak yang memberi bantuan kepada anak didik . dalam hal ini pendidik memberi bantuan guna mengemabangkan potensi – potensi yang ada dalm diri anak didik.para pendidik tentunya mempunyai cara – cara tersendiri guna memberikan bantuan anak dan cara tersebut belum tentu sesuai dengan anak, inilah yang menjadi penentu pada akhirnya dalam keberhasilan pendidikan.

Ø  Factor lingkungan, Lingkungan disini dapat berupa benda – benda, orang –orang , dan lain sebagainya yang ada di sekitar anak didik. Suatu hal disekitar anak dapat memberi pengaruh langsung terhadap pembentukan dan perkembangan anak.

 

B.     Lama Pendidikan Dan Kedewasaan

     Yang dimaksud lama pendidikan disini adalah hal yang menyangkut kapan pendidikan itu dimulai (batas bawah) dan kapan pendidikan itu berakhir (batas atas). Menurut langeveld batas bawah dari pendidikan itu ialah saat dimana anak mulai mengakui dan menerima pengaruh atau anjuran yang datang dari orang lain.

     Sedangkan batas atas dari pendidikan adalah apabila anak telah mencapai tinggkat dewasa dalam arti rohaniah. Adapun ciri – cirinya yaitu : adanya sifat kestabilan (kemantapan), adanya sifat tanggung jawab, adanya sifat kemandirian.

BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit