Tampilkan postingan dengan label karakter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label karakter. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Agustus 2013

Budaya dan Karakter Wajah Kurikulum Baru

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara perlahan telah menyiapkan penerapan kurikulum 2013 yang akan segera dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2013-2014 mendatang. Hal itu terlepas dari pro dan kontra yang ada dalam masyarakat saat ini. Kurikulum 2013 diharapkan mampu merubah wajah pendidikan nasional saat ini yang masih tertinggal dari negara-negara lain. Salah satu hal yang ditekankan dlam kurikulum 2013 yaitu pengimplentasian ragam budaya dan karakter nasional dalam pembelajaran di sekolah. Wacana pendidikan karakter tampaknya sangat ditonjolkan untuk perkembangan pendidikan nantinya. clip_image002

Persoalan pendidikan dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan.

Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Namun, dalam kenyataannya hal tersebut kurang mendapat respon dari pribadi yang tak tanggap akan sebuah masalah. Dalam dunia pendidikan saat ini juga kerap terjadi persoalan seperti kekerasan, pelecehan seksual, serta pemakaian obat terlarang. Hal ini tentu tak sejalan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri, sehingga ketimpanganlah yang terjadi.

Menurut Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut merupakan suatu acuan dalam pendidikan untuk membentuk pribadi yang baik. Selain itu, budaya adalah salah satu faktor untuk membentuk karakter seseorang.

Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh umat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa.

Hal ini akan menyebabkan peserta didik rentan dengan pengaruh budaya asing yang bersifat negatif. Budaya asing yang masuk tersebut diterima tanpa adanya seleksi dan pertimbangan, sehingga berdampak buruk bagi diri peserta didik. Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Karakter dalam pendidikan dibutuhkan sebagai konsep bertindak dan membentuk pribadi positif peserta didik.

Budaya dalam dunia pendidikan memiliki peranan yang strategis sebagai pembentuk karakter individu dan untuk membentuk itu semua diperlukan terobosan dan cara yang tepat. Salah satunya yaitu bidang kebudayaan diselipkan dalam kurikulum pendidikan serta adanya suatu usaha dari pihak sekolah dalam meningkatkankan suatu kegiatan pengembangan diri khususnya dalam bidang budaya.

Selain itu, peran budaya dalam pendidikan juga tercermin dalam penanaman nilai-nilai yang merupakan muara dari kebudayaan itu sendiri. Keteladanan, keagamaan, kebersihan, kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan rangkaian perwujudan budaya yang terwujud dalam nilai-nilai tersebut yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran peserta didik Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP, sehingga akan mencetak sikap dan perilaku yang positif baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.

Pendidikan tanpa penanaman budaya dan karakter akan mudah goyah dan penyimpangan akan semakin sering terdengar di dunia pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan yang berbasis budaya dan karakter perlu dikembangkan dan diatur secara berkala untuk membentuk insan pendidikan yang berkarakter kuat dan cerdas dan mampu bersaing dengan dunia global tanpa mengesampingkan nilai dan karakter bangsa Indonesia.

Referensi :

A. Sudiarja. (Yogyakarta: Kanisius, 2004). A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

Suharso dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

Identitas Pengirim

clip_image002[1]Judul Artikel : “Budaya dan Karakter Wajah Kurikulum Baru

Nama Pengarang : Yanuri Natalia Sunata

Nomor Identitas, NIP, NIY : 3316150101910003

Institusi Kerja : Editor

Email : uthux_uns@yahoo.com

Alamat Blog : -

Facebook : Yanuri Natalia Sunata

BACA SELENGKAPNYA »

Rabu, 03 Juli 2013

PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan Karakter, Guru adalah pendidik professional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik atau siswa. Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan karakter, Guru menjadi ujung tombak keberhasilan tersebut.

Guru, sebagai sosok yang digugu dan ditiru, mempunyai peran penting dalam aplikasi pendidikan karakter di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai seorang pendidik, guru menjadi sosok figur dalam pandangan anak, guru akan menjadi patokan bagi sikap anak didik. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional diamanatkan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang baik. Kompetensi kepribadian tersebut menggambarkan sifat pribadi dari seorang guru. Satu yang penting dimiliki oleh seorang guru dalam rangka pengambangan karakter anak didik adalah guru harus mempunyai kepribadian yang baik dan terintegrasi dan mempunyai mental yang sehat.image

Profesi guru mempunyai 2 (dua) tugas penting, yaitu mengajar dan mendidik. Kedua tugas tersebut selalu mengiringi langkah sang guru baik pada saat menjalankan tugas maupun diluar tugas (mengajar). Mengajar adalah tugas membantu dan melatih anak didik dalam memahami sesuatu dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan mendidik adalah mendorong dan membimbing anak didik agar maju menuju kedewasaan secara utuh. Kedewasaan yang mencakup kedewasaan intelektual, emosional, sosial, fisik, seni spiritual, dan moral.

Pendidikan karakter dewasa ini menjadi solusi alternatif bagi perkembangan siswa mejadi insan ideal. Pendidikan karakter diarahkan untuk menanamkan karakter bangsa secara menyeluruh, baik pengetahuan (kognitif), nilai hidup (afektif), maupun tindakan terpuji (psikomotor). Tujuannya adalah membentuk siswa supaya mereka mampu menjadi insan kamil.

Pelaksanaan pendidikan karakter diprioritaskan pada penanaman nilai-nilai transeden yang dipercayai sebagai motor penggerak sejarah (Koesoema, 2007). Tujuannya adalah meningkatkan mutu pendidikan yang menekankan kepada pembentukan karakter dan akhlak mulia para siswa secara utuh dan seimbang sesuai dengan SKL yang ditentukan.

Dengan pendidikan karakter diharapkan lahir manusia Indonesia yang ideal seperti yang dirumuskan dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas tersebut menyatakan bahwa fungsi pendidikan Indonesia adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan dan fungsi pendidikan nasional tersebut mengandung makna secara substansi bahwa pendidikan kita diarahkan kepada pendidikan berbasis pembangunan karakter. Oleh karena itu Pendidikan di sekolah harus diselenggarakan dengan sistematis sehingga bisa melahirkan siswa yang kompetitif, bertika, bermoral, sopan santun dan interaktif dengan masyarakat.

Pendidikan tidak hanya difokuskan pada aspek kognitif yang bersifat teknis, tetapi harus mampu menyentuh kemampuan soft skill seperti aspek spiritual, emosional, social, fisik, dan seni. Yang lebih utama adalah membantu anak-anak berkembang dan menguasai ilmu pengetahuan yang diberikannya. Berdasarkan penelitian Harvard University AS (Sudrajat, 2010) mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang (siswa) 80% ditentukan oleh kemampuan mengelola diri (soft skill) dan 20% ditentukan oleh kemampuan teknis (hard skill).

Dalam konteks pendidikan karakter, pendidikan dilaksanakan untuk mendidik siswa menjadi manusia ihsan, yang berbuat baik dengan tindakan yang baik berdasarkan ketaqwaan kepada Tuhan semata.

Dalam konsep ulul albab (Rahmat, 2007), pendidikan bertujuan untuk mendorong siswa menjadi manusia pembelajar, manusia aktif yaitu menyampaikan ilmu kepada orang lain, membeir peringatan, dan untuk memperbaiki ketidakberesan di masyarakat.

Presiden SBY mengharapkan bahwa pendidikan karakter ini akan menciptakan manusia Indonesia yang unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden SBY mencanangkan 5 dasar yang menjadi tujuan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter, yaitu:

1. Manusia Indonesia harus bermoral, akhlak mulia dan berperilaku yang baik.

2. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional.

3. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang inovatif, bergerak maju dan mau bekerja keras.

4. Membangun semangat harus bisa

5. Menjadi patriot sejati yang mencitai bangsa, Negara, dan tanah air Indonesia.

Oleh karena itu, Konsep keteladanan dalam pendidikan sangat penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Dalam pandangan Islam, keteladanan merupakan metode pendidikan yang terbaik dan yang paling membekas. (Mualiffah, 2009). Prinsip tersebut sejalan dengan metode pendidikan karakter di atas.

Selain dengan prinsip keteladanan, metode yang juga bisa diterapkan adalah metode dialog partisipatif. Metode ini akan mampu menstimulus siswa untuk lebih kreatif, kritis, mandiri, dan komunikatif. Sebagai pendidik, guru bisa menjadi mitra siswa dalam berkembang maupun dalam menilai perkembangan siswa tersebut.

Untuk itu, guru harus terlebih dahulu mengenal siswa secara pribadi. Hal ini bisa ditempuh dengan cara, pertama, guru harus mengenali dan memperhatikan pengertian-pengertian yang dibawa siswa pada awal proses pembelajaran. Kedua, guru harus mengetahui kemampuan, pendapat, dan pengalaman siswa. Ketiga, pengenalan dan pemahaman konteks nyata para siswa sebagai dasar dalam merumuskan tujuan, sasaran, metode, dan sarana pembelajaran.

Menurut Q-Anees, syarat utama bagi guru adalah guru harus mengetahui dan mempraktekkan karakter yang hendak diajarkan kepada siswa. Syarat kedua adalah guru harus memahami dan menguasai seluruh materi yang akan diajarkan.

Peran Guru di Sekolah

Di sekolah, Pendidikan karakter dikaitkan dengan manajemen sekolah. Kepala sekolah dan guru memegang peranan penting dalam merancang, merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol kegiatan di sekolah. Situasi ini bisa dijadikan sebagai potensi untuk bisa merancang tujuan pendidikan jangka panjang di sekolah tersebut.

Sudah saatnya setiap satuan pendidikan di Indonesia melaksanakan pendidikan karakter di sekolah masing-masing. Guru harus mampu mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam setiap mata pelajaran, termasuk kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian setiap satuan pendidikan telah proaktif dalam proses internalisasi dan pengamalan nilai dan norma dalam kehidupan nyata.

Pendidikan karakter dikembangkan dan dilaksanakan di sekolah dengan harapan mampu membentuk karakter ideal dalam diri siswa. Namun, sekolah harus menyadari bahwa idealism tersebut akan terhalang oleh sifat bawaan seseorang maupun lingkungan mereka. Berdasarkan prinsip dasar pendidikan karakter, siswa adalah manusia atau makhluk yang dipengaruhi oleh sumber kebenaran dari dalam diri (intern) dan dorongan dari luar yang mempengaruhinya (Q-anees, 2009).

Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design yang merupakan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural, meliputi Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) (Sudrajat, 2010).

Tahap awalnya dimulai dari proses penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Disinilah peran guru diperlukan. Kepala sekolah dan guru harus mampu menentukan visi dan misi sekolah yang diarahkan untuk membentuk manusia yang utuh.

Penentuan visi dan misi sekolah harus terpola dengan baik sehingga mampu mendeskripsikan hasil pembelajaran secara utuh. Visi dan misi tersebut diimplementasikan dalam perumusan tujuan sekolah, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Hal ini sejalan dengan Anzizhan (2004) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan pada kegaitan perencanaan dimulai dengan penentuan visi, misi, strategi, tujuan dalam sasaran strategic. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mampu membentuk struktrur organisasi dengan job description yang jelas dan terarah antar personil yang ada.

Q-Anees mengutip pendapat Doni A Koesoma, ada lima metode pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah, yaitu:

1. Mengajarkan, yakni mengajar dengan melibatkan siswa. Dengan kata lain, pembelajaran yang dilaksanakan tidak bersifat monolog.

2. Keteladanan, baik dari guru maupun dari seluruh warga sekolah.

3. Menentukan prioritas.

4. Praksis prioritas, yaitu melakukan verifikasi sejauh mana realisasi terhadap prioritas yang ditentukan.

5. Refleksi.

Akhirnya, dengan diterapkannya sistem pendidikan yang ideal maka bangsa Indonesia ini akan terbentuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang mampu menterjemahkan sebuah perbedaan menjadi rahmat. Selain itu, sinergitas antara idealisme sistem pendidikan dengan profesionalitas guru akan mampu menelorkan siswa-siswa yang ideal pula, yakni menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehingga ke depan, tidak ada lagi pelaku-pelaku bom bunuh diri yang dilakukan oleh para pemuda belia. Dengan kata lain, pendidikan yang ideal akan mengikis akar-akar terorisme yang ada di Indonesia

Wallahu a’lam

Referensi :

Muallifah. 2009. Psycho Islamic Smart Parenting. Jogjakarta: DIVA Press.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Q-Anees, Bambang, dan Adang Hambali. 2009. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Rahmat, Jalaludin. 2007. SQ for Kids. Bandung: Mizan.

Sudradjat, Akhmad. 2008. Pengertia Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran. Makalah. www.google.com diakses 5 April 2008.

Suparno, Paul. 2004. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: PT. Grasindo.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

www.kompas.com

Identitas Penulis

clip_image002Judul Artikel : PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Nama Pengarang : Jasman, S.Pd

Nomor Identitas, NIP, NIY : 19811121 201001 1 013

Institusi Kerja : SMP Negeri 6 Toboali, Kab. Bangka Selatan

Email : jasman_2111@yahoo.com, jsm_jibran@yahoo.co.id

Alamat Blog : -

Facebook : Jasman Jibran

BACA SELENGKAPNYA »

Sabtu, 06 April 2013

Pelajar Arisan PSK, Tantangan guru dalam mendidik siswa

Luar biasa aktifitas pelajar-pelajar kita saat ini. Ada yang berprestasi di bidang mata pelajaran dan seni budaya baik di tingkat lokal maupun internasional. Ada juga yang ‘juara’ di bidang kenakalannya baik di tingkat lokal maupun internasional. Kalau berita prestasi pelajar yang sukses meraih emas, perak atau perunggu di berbagai kejuaraan tentu sangat membanggakan dan melegakan. Akan tetapi bila ‘prestasi’ pelajar yang meraih ‘juara’ arisan PSK, hal itu tentu sangat menyesakkan dada dan memalukan. Inilah pukulan telak menampar wajah semua manusia yang masih memiliki iman. Barangkali inilah satu-satunya model ‘kejuaraan’ yang pernah ada baik di level daerah maupun di dunia internasional. Karena saya sendiri, selama bertahun-tahun mengikuti berita, baru kali ini tahu ada ‘kejuaraan’ semacam arisan PSK. Setahu saya, justru ‘arisan’ itu kegiatan seorang PSK bukan kegiatan seorang pelajar. image

Fakta Di Depan Mata

Ini merupakan fakta riil yang harus benar-benar menjadi perhatian serius, bukan dianggap sekedar angin lalu, oleh siapapun. Tak peduli kita ini hanya rakyat biasa atau rakyat yang ‘luar biasa’ yang saat ini duduk sebagai Kepala Dikbud Kabupaten/Kota, anggota Legislatif maupun Eksekutif. Semua harus buka mata buka telinga dan buka hati nuraninya dengan fakta bahwa telah ada ‘kejuaraan’ arisan PSK oleh pelajar tingkat SMA. Beberapa hari yang lalu, koran ini dengan jeli memuat pengakuan PSK di eks Lokalisasi Gunung Sampan, Desa Kotakan, Situbondo kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Situbondo bahwa mereka menjadi objek arisan siswa-siswa SMA disana. Dan kegiatan arisan telah berjalan tiap pekan dan tidak hanya sekali. Artinya setiap pekan para pelajar ini ‘sukses’ menyisihkan uang jajannya untuk ‘jajan’ PSK lewat arisan. Nama yang keluar sebagai ‘pemenang’ arisan, berhak mengencani PSK yang telah di-booking. Astaghfirullah, dimanakah orang tua mereka? Dimanakah guru-guru mereka? Dimanakah aparat pemerintah mereka? Potret ini pelakunya masih baru para pelajar SMA, belum lagi yang sudah mahasiswa.

Tentu sangat mengkhawatirkan sekali model pergaulan antar pelajar dan mahasiswa saat ini. Membaca rubrik Jati Diri di harian Jawa Pos (12/12), maka sudah waktunya semua stake holder pendidikan dan masyarakat luas harus full-concern dengan pergaulan bebas dan tingkah pola anak-anaknya. Di rubrik ini memberitakan bahwa pada tahun 1999, seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Iip Wijayanto melakukan penelitian dan menemukan kesimpulan bahwa 97,05 persen mahasiswi Jogjakarta tidak perawan. Artinya bila ada 100 orang mahasiswi, maka 97 orang diantaranya pernah melakukan hubungan layaknya suami istri, entah hubungan itu dalam ikatan resmi atau tidak. Ini baru penelitian untuk mahasiswi saja belum untuk yang mahasiswa, mungkin persentasenya tidak jauh beda. Dan penelitian ini telah dilakukan 13 tahun yang lalu, bagaimana dengan sekarang?

Kita semua tahu, pergaulan sudah sangat bebas, keluarga dan masyarakat sangat permissive (serba boleh), norma-norma agama dan sosial hanya ‘bersuara keras dan tegas’ ada di atas kertas dan di pengajian-pengajian. Pantas saja di Indonesia setiap tahun terdapat 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700.000 pelaku aborsi itu adalah remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun. Data ini dipaparkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Kondisi ini semakin parah ketika membaca hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di sembilan provinsi pada tahun 2012. KPAI mencatat sedikitnya 86,6 persen anak menjadi korban tindak kekerasan di sekolah. Jadi, sekolah-sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk belajar. Bisa baca beritanya di harian Jawa Pos (12/12).

Sinergi Komprehensif Stake Holder

Memang tidak semua pelajar terlibat dalam perilaku negatif dan menyimpang seperti ini. Memang tidak semua keluarga dan masyarakat acuh tak acuh dengan life sytle anak-anaknya. Memang pemerintah telah bekerja semaksimal mungkin menyelenggarakan pendidikan dan mendidik pelajar-pelajarnya dengan sebaik-baiknya. Namun merebaknya kasus-kasus pelajar bak tumbuhnya jamur di musim penghujan, menggambarkan stake holder pendidikan di negeri ini pasti lebih banyak yang tidak peduli daripada yang peduli. Maka sudah saatnya stake holder pendidikan melakukan perubahan kebijakan secara komprehensif (luas dan lengkap), jangan sebagian-sebagian.

Pertama, pihak sekolah wajib memberikan perhatian serius dan kebijakan yang ketat untuk urusan pergaulan antara siswa dengan siswi. Contoh: dilarang berboncengan antara siswa-siswi baik saat pergi dan pulang dari/ke sekolah. Memang hal ini terkesan masalah sepele, akan tetapi bila pihak sekolah tidak memberikan batasan-batasan yang tegas dan jelas, maka akibatnya pergaulan siswa-siswinya bisa seperti pergaulan antara suami-istri.

Kedua, pihak keluarga tentu lebih wajib lagi memantau setiap saat perkembangan putra-putrinya. Dimanapun mereka berada, apapun aktifitasnya, dan dengan siapapun mereka bergaul, jangan lupa selalu up date perkembangannya. Berikan batasan-batasan pergaulan dan aktifitas yang jelas, mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Contoh: boleh bermain di luar rumah asalkan bersama sesama jenis. Boleh ke warung internet (warnet), setelah waktu belajar dan ditemani oleh kakak/adik.

Ketiga, pihak masyarakat harus lebih sensitif dan peduli terhadap aktifitas pelajar yang dilakukan di luar sekolah. Tentu masyarakat bisa membedakan antara kegiatan siswa yang memang terprogram oleh pihak sekolah dan program pribadi pelajar itu sendiri. Contoh: komunitas PSK, yang merupakan bagian dari masyarakat, tentu saja tahu pelanggan mereka adalah pelajar. Harusnya para PSK ini menolak mentah-mentah bahkan mengusir pelajar-pelajar yang berbuat maksiat, bukan malah mempersilahkan bersenang-senang dengannya.

Terakhir, pihak pemerintah tentu harus menggunakan ‘tangannya’ untuk merubah kemaksiatan menjadi kebajikan. Dalam terminologi agama tentu saja ber-amar ma’ruf nahi mungkar sebagai manifestasi kuatnya iman sebagai wakil rakyat. Contoh: membuat regulasi pelajar dilarang berkeliaran di luar sekolah selama jam efektif belajar, kecuali ada tugas khusus dari sekolah.

Ke-4 pihak di atas harus segera mensinergikan diri dan menjalin komunikasi intensif dalam menjaga putra-putrinya. Karena tanggungjawab anak didik bukan milik salah satu pihak. Mana mungkin pihak sekolah harus terus menerus menjaga siswa-siswinya sampai ke tempat-tempat PSK. Tentu tidak mungkin, maka masyarakat, keluarga dan aparat pemerintahlah yang bertanggungjawab. Dan bila semua sudah bersinergi, satu perasaan, satu pemikiran dan satu tindakan, insya Allah kenakalan-kenakalan pelajar bisa di-minimalisir. Semoga!

Referensi :

- Koran Jawa Pos tanggal 12 Desember 2012

 

Identitas Penulis

image Judul Artikel : Pelajar Arisan PSK

Nama Pengarang : Eka Sugeng Ariadi

Nomor Identitas, NIP, NIY : 19800812 200710 1 005

Institusi Kerja : MIN Beji Kabupaten Pasuruan

Email : ekasugengariadi@yahoo.com

Alamat Blog : ekasugengariadi.guru-indonesia.net

Facebook : Eka Sugeng Ariadi

BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit