Tampilkan postingan dengan label pendidikan karakter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan karakter. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Juli 2013

PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan Karakter, Guru adalah pendidik professional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik atau siswa. Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan karakter, Guru menjadi ujung tombak keberhasilan tersebut.

Guru, sebagai sosok yang digugu dan ditiru, mempunyai peran penting dalam aplikasi pendidikan karakter di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai seorang pendidik, guru menjadi sosok figur dalam pandangan anak, guru akan menjadi patokan bagi sikap anak didik. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional diamanatkan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang baik. Kompetensi kepribadian tersebut menggambarkan sifat pribadi dari seorang guru. Satu yang penting dimiliki oleh seorang guru dalam rangka pengambangan karakter anak didik adalah guru harus mempunyai kepribadian yang baik dan terintegrasi dan mempunyai mental yang sehat.image

Profesi guru mempunyai 2 (dua) tugas penting, yaitu mengajar dan mendidik. Kedua tugas tersebut selalu mengiringi langkah sang guru baik pada saat menjalankan tugas maupun diluar tugas (mengajar). Mengajar adalah tugas membantu dan melatih anak didik dalam memahami sesuatu dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan mendidik adalah mendorong dan membimbing anak didik agar maju menuju kedewasaan secara utuh. Kedewasaan yang mencakup kedewasaan intelektual, emosional, sosial, fisik, seni spiritual, dan moral.

Pendidikan karakter dewasa ini menjadi solusi alternatif bagi perkembangan siswa mejadi insan ideal. Pendidikan karakter diarahkan untuk menanamkan karakter bangsa secara menyeluruh, baik pengetahuan (kognitif), nilai hidup (afektif), maupun tindakan terpuji (psikomotor). Tujuannya adalah membentuk siswa supaya mereka mampu menjadi insan kamil.

Pelaksanaan pendidikan karakter diprioritaskan pada penanaman nilai-nilai transeden yang dipercayai sebagai motor penggerak sejarah (Koesoema, 2007). Tujuannya adalah meningkatkan mutu pendidikan yang menekankan kepada pembentukan karakter dan akhlak mulia para siswa secara utuh dan seimbang sesuai dengan SKL yang ditentukan.

Dengan pendidikan karakter diharapkan lahir manusia Indonesia yang ideal seperti yang dirumuskan dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas tersebut menyatakan bahwa fungsi pendidikan Indonesia adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan dan fungsi pendidikan nasional tersebut mengandung makna secara substansi bahwa pendidikan kita diarahkan kepada pendidikan berbasis pembangunan karakter. Oleh karena itu Pendidikan di sekolah harus diselenggarakan dengan sistematis sehingga bisa melahirkan siswa yang kompetitif, bertika, bermoral, sopan santun dan interaktif dengan masyarakat.

Pendidikan tidak hanya difokuskan pada aspek kognitif yang bersifat teknis, tetapi harus mampu menyentuh kemampuan soft skill seperti aspek spiritual, emosional, social, fisik, dan seni. Yang lebih utama adalah membantu anak-anak berkembang dan menguasai ilmu pengetahuan yang diberikannya. Berdasarkan penelitian Harvard University AS (Sudrajat, 2010) mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang (siswa) 80% ditentukan oleh kemampuan mengelola diri (soft skill) dan 20% ditentukan oleh kemampuan teknis (hard skill).

Dalam konteks pendidikan karakter, pendidikan dilaksanakan untuk mendidik siswa menjadi manusia ihsan, yang berbuat baik dengan tindakan yang baik berdasarkan ketaqwaan kepada Tuhan semata.

Dalam konsep ulul albab (Rahmat, 2007), pendidikan bertujuan untuk mendorong siswa menjadi manusia pembelajar, manusia aktif yaitu menyampaikan ilmu kepada orang lain, membeir peringatan, dan untuk memperbaiki ketidakberesan di masyarakat.

Presiden SBY mengharapkan bahwa pendidikan karakter ini akan menciptakan manusia Indonesia yang unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden SBY mencanangkan 5 dasar yang menjadi tujuan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter, yaitu:

1. Manusia Indonesia harus bermoral, akhlak mulia dan berperilaku yang baik.

2. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional.

3. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang inovatif, bergerak maju dan mau bekerja keras.

4. Membangun semangat harus bisa

5. Menjadi patriot sejati yang mencitai bangsa, Negara, dan tanah air Indonesia.

Oleh karena itu, Konsep keteladanan dalam pendidikan sangat penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Dalam pandangan Islam, keteladanan merupakan metode pendidikan yang terbaik dan yang paling membekas. (Mualiffah, 2009). Prinsip tersebut sejalan dengan metode pendidikan karakter di atas.

Selain dengan prinsip keteladanan, metode yang juga bisa diterapkan adalah metode dialog partisipatif. Metode ini akan mampu menstimulus siswa untuk lebih kreatif, kritis, mandiri, dan komunikatif. Sebagai pendidik, guru bisa menjadi mitra siswa dalam berkembang maupun dalam menilai perkembangan siswa tersebut.

Untuk itu, guru harus terlebih dahulu mengenal siswa secara pribadi. Hal ini bisa ditempuh dengan cara, pertama, guru harus mengenali dan memperhatikan pengertian-pengertian yang dibawa siswa pada awal proses pembelajaran. Kedua, guru harus mengetahui kemampuan, pendapat, dan pengalaman siswa. Ketiga, pengenalan dan pemahaman konteks nyata para siswa sebagai dasar dalam merumuskan tujuan, sasaran, metode, dan sarana pembelajaran.

Menurut Q-Anees, syarat utama bagi guru adalah guru harus mengetahui dan mempraktekkan karakter yang hendak diajarkan kepada siswa. Syarat kedua adalah guru harus memahami dan menguasai seluruh materi yang akan diajarkan.

Peran Guru di Sekolah

Di sekolah, Pendidikan karakter dikaitkan dengan manajemen sekolah. Kepala sekolah dan guru memegang peranan penting dalam merancang, merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol kegiatan di sekolah. Situasi ini bisa dijadikan sebagai potensi untuk bisa merancang tujuan pendidikan jangka panjang di sekolah tersebut.

Sudah saatnya setiap satuan pendidikan di Indonesia melaksanakan pendidikan karakter di sekolah masing-masing. Guru harus mampu mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam setiap mata pelajaran, termasuk kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian setiap satuan pendidikan telah proaktif dalam proses internalisasi dan pengamalan nilai dan norma dalam kehidupan nyata.

Pendidikan karakter dikembangkan dan dilaksanakan di sekolah dengan harapan mampu membentuk karakter ideal dalam diri siswa. Namun, sekolah harus menyadari bahwa idealism tersebut akan terhalang oleh sifat bawaan seseorang maupun lingkungan mereka. Berdasarkan prinsip dasar pendidikan karakter, siswa adalah manusia atau makhluk yang dipengaruhi oleh sumber kebenaran dari dalam diri (intern) dan dorongan dari luar yang mempengaruhinya (Q-anees, 2009).

Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design yang merupakan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural, meliputi Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) (Sudrajat, 2010).

Tahap awalnya dimulai dari proses penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Disinilah peran guru diperlukan. Kepala sekolah dan guru harus mampu menentukan visi dan misi sekolah yang diarahkan untuk membentuk manusia yang utuh.

Penentuan visi dan misi sekolah harus terpola dengan baik sehingga mampu mendeskripsikan hasil pembelajaran secara utuh. Visi dan misi tersebut diimplementasikan dalam perumusan tujuan sekolah, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Hal ini sejalan dengan Anzizhan (2004) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan pada kegaitan perencanaan dimulai dengan penentuan visi, misi, strategi, tujuan dalam sasaran strategic. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mampu membentuk struktrur organisasi dengan job description yang jelas dan terarah antar personil yang ada.

Q-Anees mengutip pendapat Doni A Koesoma, ada lima metode pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah, yaitu:

1. Mengajarkan, yakni mengajar dengan melibatkan siswa. Dengan kata lain, pembelajaran yang dilaksanakan tidak bersifat monolog.

2. Keteladanan, baik dari guru maupun dari seluruh warga sekolah.

3. Menentukan prioritas.

4. Praksis prioritas, yaitu melakukan verifikasi sejauh mana realisasi terhadap prioritas yang ditentukan.

5. Refleksi.

Akhirnya, dengan diterapkannya sistem pendidikan yang ideal maka bangsa Indonesia ini akan terbentuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang mampu menterjemahkan sebuah perbedaan menjadi rahmat. Selain itu, sinergitas antara idealisme sistem pendidikan dengan profesionalitas guru akan mampu menelorkan siswa-siswa yang ideal pula, yakni menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehingga ke depan, tidak ada lagi pelaku-pelaku bom bunuh diri yang dilakukan oleh para pemuda belia. Dengan kata lain, pendidikan yang ideal akan mengikis akar-akar terorisme yang ada di Indonesia

Wallahu a’lam

Referensi :

Muallifah. 2009. Psycho Islamic Smart Parenting. Jogjakarta: DIVA Press.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Q-Anees, Bambang, dan Adang Hambali. 2009. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Rahmat, Jalaludin. 2007. SQ for Kids. Bandung: Mizan.

Sudradjat, Akhmad. 2008. Pengertia Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran. Makalah. www.google.com diakses 5 April 2008.

Suparno, Paul. 2004. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: PT. Grasindo.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

www.kompas.com

Identitas Penulis

clip_image002Judul Artikel : PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Nama Pengarang : Jasman, S.Pd

Nomor Identitas, NIP, NIY : 19811121 201001 1 013

Institusi Kerja : SMP Negeri 6 Toboali, Kab. Bangka Selatan

Email : jasman_2111@yahoo.com, jsm_jibran@yahoo.co.id

Alamat Blog : -

Facebook : Jasman Jibran

BACA SELENGKAPNYA »

Sabtu, 06 April 2013

Pelajar Arisan PSK, Tantangan guru dalam mendidik siswa

Luar biasa aktifitas pelajar-pelajar kita saat ini. Ada yang berprestasi di bidang mata pelajaran dan seni budaya baik di tingkat lokal maupun internasional. Ada juga yang ‘juara’ di bidang kenakalannya baik di tingkat lokal maupun internasional. Kalau berita prestasi pelajar yang sukses meraih emas, perak atau perunggu di berbagai kejuaraan tentu sangat membanggakan dan melegakan. Akan tetapi bila ‘prestasi’ pelajar yang meraih ‘juara’ arisan PSK, hal itu tentu sangat menyesakkan dada dan memalukan. Inilah pukulan telak menampar wajah semua manusia yang masih memiliki iman. Barangkali inilah satu-satunya model ‘kejuaraan’ yang pernah ada baik di level daerah maupun di dunia internasional. Karena saya sendiri, selama bertahun-tahun mengikuti berita, baru kali ini tahu ada ‘kejuaraan’ semacam arisan PSK. Setahu saya, justru ‘arisan’ itu kegiatan seorang PSK bukan kegiatan seorang pelajar. image

Fakta Di Depan Mata

Ini merupakan fakta riil yang harus benar-benar menjadi perhatian serius, bukan dianggap sekedar angin lalu, oleh siapapun. Tak peduli kita ini hanya rakyat biasa atau rakyat yang ‘luar biasa’ yang saat ini duduk sebagai Kepala Dikbud Kabupaten/Kota, anggota Legislatif maupun Eksekutif. Semua harus buka mata buka telinga dan buka hati nuraninya dengan fakta bahwa telah ada ‘kejuaraan’ arisan PSK oleh pelajar tingkat SMA. Beberapa hari yang lalu, koran ini dengan jeli memuat pengakuan PSK di eks Lokalisasi Gunung Sampan, Desa Kotakan, Situbondo kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Situbondo bahwa mereka menjadi objek arisan siswa-siswa SMA disana. Dan kegiatan arisan telah berjalan tiap pekan dan tidak hanya sekali. Artinya setiap pekan para pelajar ini ‘sukses’ menyisihkan uang jajannya untuk ‘jajan’ PSK lewat arisan. Nama yang keluar sebagai ‘pemenang’ arisan, berhak mengencani PSK yang telah di-booking. Astaghfirullah, dimanakah orang tua mereka? Dimanakah guru-guru mereka? Dimanakah aparat pemerintah mereka? Potret ini pelakunya masih baru para pelajar SMA, belum lagi yang sudah mahasiswa.

Tentu sangat mengkhawatirkan sekali model pergaulan antar pelajar dan mahasiswa saat ini. Membaca rubrik Jati Diri di harian Jawa Pos (12/12), maka sudah waktunya semua stake holder pendidikan dan masyarakat luas harus full-concern dengan pergaulan bebas dan tingkah pola anak-anaknya. Di rubrik ini memberitakan bahwa pada tahun 1999, seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Iip Wijayanto melakukan penelitian dan menemukan kesimpulan bahwa 97,05 persen mahasiswi Jogjakarta tidak perawan. Artinya bila ada 100 orang mahasiswi, maka 97 orang diantaranya pernah melakukan hubungan layaknya suami istri, entah hubungan itu dalam ikatan resmi atau tidak. Ini baru penelitian untuk mahasiswi saja belum untuk yang mahasiswa, mungkin persentasenya tidak jauh beda. Dan penelitian ini telah dilakukan 13 tahun yang lalu, bagaimana dengan sekarang?

Kita semua tahu, pergaulan sudah sangat bebas, keluarga dan masyarakat sangat permissive (serba boleh), norma-norma agama dan sosial hanya ‘bersuara keras dan tegas’ ada di atas kertas dan di pengajian-pengajian. Pantas saja di Indonesia setiap tahun terdapat 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700.000 pelaku aborsi itu adalah remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun. Data ini dipaparkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Kondisi ini semakin parah ketika membaca hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di sembilan provinsi pada tahun 2012. KPAI mencatat sedikitnya 86,6 persen anak menjadi korban tindak kekerasan di sekolah. Jadi, sekolah-sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk belajar. Bisa baca beritanya di harian Jawa Pos (12/12).

Sinergi Komprehensif Stake Holder

Memang tidak semua pelajar terlibat dalam perilaku negatif dan menyimpang seperti ini. Memang tidak semua keluarga dan masyarakat acuh tak acuh dengan life sytle anak-anaknya. Memang pemerintah telah bekerja semaksimal mungkin menyelenggarakan pendidikan dan mendidik pelajar-pelajarnya dengan sebaik-baiknya. Namun merebaknya kasus-kasus pelajar bak tumbuhnya jamur di musim penghujan, menggambarkan stake holder pendidikan di negeri ini pasti lebih banyak yang tidak peduli daripada yang peduli. Maka sudah saatnya stake holder pendidikan melakukan perubahan kebijakan secara komprehensif (luas dan lengkap), jangan sebagian-sebagian.

Pertama, pihak sekolah wajib memberikan perhatian serius dan kebijakan yang ketat untuk urusan pergaulan antara siswa dengan siswi. Contoh: dilarang berboncengan antara siswa-siswi baik saat pergi dan pulang dari/ke sekolah. Memang hal ini terkesan masalah sepele, akan tetapi bila pihak sekolah tidak memberikan batasan-batasan yang tegas dan jelas, maka akibatnya pergaulan siswa-siswinya bisa seperti pergaulan antara suami-istri.

Kedua, pihak keluarga tentu lebih wajib lagi memantau setiap saat perkembangan putra-putrinya. Dimanapun mereka berada, apapun aktifitasnya, dan dengan siapapun mereka bergaul, jangan lupa selalu up date perkembangannya. Berikan batasan-batasan pergaulan dan aktifitas yang jelas, mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Contoh: boleh bermain di luar rumah asalkan bersama sesama jenis. Boleh ke warung internet (warnet), setelah waktu belajar dan ditemani oleh kakak/adik.

Ketiga, pihak masyarakat harus lebih sensitif dan peduli terhadap aktifitas pelajar yang dilakukan di luar sekolah. Tentu masyarakat bisa membedakan antara kegiatan siswa yang memang terprogram oleh pihak sekolah dan program pribadi pelajar itu sendiri. Contoh: komunitas PSK, yang merupakan bagian dari masyarakat, tentu saja tahu pelanggan mereka adalah pelajar. Harusnya para PSK ini menolak mentah-mentah bahkan mengusir pelajar-pelajar yang berbuat maksiat, bukan malah mempersilahkan bersenang-senang dengannya.

Terakhir, pihak pemerintah tentu harus menggunakan ‘tangannya’ untuk merubah kemaksiatan menjadi kebajikan. Dalam terminologi agama tentu saja ber-amar ma’ruf nahi mungkar sebagai manifestasi kuatnya iman sebagai wakil rakyat. Contoh: membuat regulasi pelajar dilarang berkeliaran di luar sekolah selama jam efektif belajar, kecuali ada tugas khusus dari sekolah.

Ke-4 pihak di atas harus segera mensinergikan diri dan menjalin komunikasi intensif dalam menjaga putra-putrinya. Karena tanggungjawab anak didik bukan milik salah satu pihak. Mana mungkin pihak sekolah harus terus menerus menjaga siswa-siswinya sampai ke tempat-tempat PSK. Tentu tidak mungkin, maka masyarakat, keluarga dan aparat pemerintahlah yang bertanggungjawab. Dan bila semua sudah bersinergi, satu perasaan, satu pemikiran dan satu tindakan, insya Allah kenakalan-kenakalan pelajar bisa di-minimalisir. Semoga!

Referensi :

- Koran Jawa Pos tanggal 12 Desember 2012

 

Identitas Penulis

image Judul Artikel : Pelajar Arisan PSK

Nama Pengarang : Eka Sugeng Ariadi

Nomor Identitas, NIP, NIY : 19800812 200710 1 005

Institusi Kerja : MIN Beji Kabupaten Pasuruan

Email : ekasugengariadi@yahoo.com

Alamat Blog : ekasugengariadi.guru-indonesia.net

Facebook : Eka Sugeng Ariadi

BACA SELENGKAPNYA »

Rabu, 15 Agustus 2012

Pengertian Media Pendidikan

Media pendidikan mempunyai peran yang sangat penting di dalam kegiatan pengajaran. Kehadiran media di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam rangka efektifitas dan defisiensi pengajaran sangat di perlukan. Dalam dunia pengajaran, pada umumnya atau informasi tersebut berasal dari sumber informasi, yakni guru sedangkan sebagai penerima informasinya adalah siswa. Pesan atau informasi yang dikomunikasikan sejumlah kemampuan yang perlu dikuasai oleh siswa, meliputi kemampuan kognitif bersifat intelektual, kemampuan psikomotorik yang bersifat jasmaniah atau keterampilan fisik. Kemampuan itu dikomunikasikan melalui berbagai saluran, yaitu saluran penglihatan (visual), saluran pendengaran (audio), saluran penglihatan dan pendengaran (audio visual), saluran perasaan (sense), dan saluran yang berwujud penampilan (performance).


Kata media dari bahasa Latin medium yang berarti ‘perantara’ atau ‘pengantar’. Dalam aktivitas pembelajaran, media adalah sesuatu yang merupakan bagian di dalam interaksi yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik seperti yang diungkapkan Gearlach dan Ely dalam Fathurrohman dan Sutikno (2007: 65) bahwa “media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun suatu kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap”.

Dari definisi-definisi para ahli kebahasaan dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran dan perasaan dalam interaksi antara pengajar dan pembelajar. Media pembelajaran bertindak sebagai suatu sarana fisik yang dapat mempengaruhi situasi belajar mengajar baik di dalam maupun di luar kelas. Dapat diartikan bahwa media bukan merupakan pelengkap melainkan adalah komponen yang tidak dapat dilepaskan dari proses belajar mengajar.

BACA SELENGKAPNYA »

Jumat, 27 April 2012

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA

Dewasa ini dunia pendidikan kita sedang gencar menyoroti Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Berbagai media cetak dan elektronik kini banyak memuat pentingnya Budaya karakter bangsa. Berbagai seminar dan gelar wicarapun dilakukan para ahli dan pemuka masyarakat mengenai masalah korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan dan perkelahian yang dilakukan sebagian pemuda kita yang begitu anarkhi kian marak diperbincangkan. Alhasil dari perbincangan dan kupasan media oleh para ahli dan pemuka masyarakat menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi sebagai tindak preventif. pramuka indonesia

Bicara Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa Undang - undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas telah jelas-jelas mengamanatkan dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis, serta bertanggung jawab".

Dengan melihat pasal 3 UU Sisdiknas telah jelas bahwa tujuan dari pendidikan di Indonesia khususnya telah merumuskan kualitas manusia Indonesia yang mutlak harus dikembangkan disetiap satuan pendidikan.

Pendidikan Kepramukaan sebagai salah satu wadah pembinaan generasi muda yang nota bene Gudep yang berbasis satuan pendidikan sebagai salah satu lini terdepanya juga telah jelas dirumuskan dalam UU No 12 tahun 2010 pasal 1 ayat 4 bahwa "Pendidikan Kepramukaan adalah proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan".

Gerakan Pramuka dengan kode kehormatannya satya dan dharma pramuka merupakan mutiara, sumber lahirnya nilai nilai karakter positif yang mampu menempatkan pribadinya sebagai insan Indonesia yang seutuhnya. Satya dan dharma pramuka adalah mutiara, apabila mutiara tersebut telah bersemayam dalam hati maka akan menyinari setiap gerak dan langkahnya, karena apa yang bersemayam dalam hati kita itulah yang akan keluar sebagai tindakan dan perilaku. Jika mutiara ini telah tertanam kuat maka akan melahirkan dan membentuk suatu karakter dalam individu.

Pembina pramuka sebagai stakeholder pendidikan kepramukaan hendaknya memahami bahwa praktek penghayatan melalui kegiatan ulang janji merupakan satu hal yang paling inti dan sakral, karena inilah awal yang menentukan keberhasilan dalam rangka pembentukan karakter adik adik kita.

Apabila kita gali lebih dalam tentang metode pendidikan kepramukaan sebetulnya banyak cara yang kita tempuh dalam rangka pembentukan karakter yang sesuai dengan jati diri bangsa, namun ada hal lain yang juga sering kita lupakan bahwa kepiawaian,kesungguhan dan ketulusan hati seorang pembina juga memegang peranan penting. Karena ketulusan seorang pembina dapat menimbulkan aura tersendiri yang juga akan mewarnai adik-adik kita.

Dalam Pendidikan budaya dan karakter bangsa yang bersumber pada Agama, Pancasila, Budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional teridentifikasi 18 Nilai karakter, dan ternyata bila kita cermati dari 18 nilai tersebut juga merupakan bentuk pengamalan satya dan dharma pramuka. Nilai tersebut antara lain :

  1. Religius, Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran  terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. ( merupakan bentuk pengamalan dharma ke 1. Takwa kepada Tuhan yang maha esa )
  2. Jujur, Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. ( Bentuk pengamalan dharma ke 10. Suci dalam fikiran perkataan dan perbuatan )
  3. Toleransi, Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. ( merupakan bentuk pengamalan dharma ke 1. Takwa kepada Tuhan yang maha esa )
  4. Disiplin, Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. ( Bentuk pengamalan darma ke 8. Disiplin Berani dan setia )
  5. Demokratis, Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. ( bentuk pengamalan darma ke 4. Patuh dan suka bermusyawarah )
  6. Semangat Kebangsaan, Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya ( bentuk pengamalan darma ke 3. Patriot yang sopan dan ksatria )
  7. Cinta Tanah Air, Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. ( bentuk pengamalan darma ke 3. Patriot yang sopan dan ksatria )
  8. Peduli Lingkungan, Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. ( Bentuk pengamalan darma ke 2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia )
  9. Peduli Sosial, Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. ( Bentuk pengamalan darma ke 2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia )
  10. Tanggung-jawab, Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. ( Bentuk pengamalan darma ke 9. bertanggung jawab dan dapat dipercaya )

Pramuka sebagai salah satu organisasi yang tetap konsisten dengan karakter bangsa tentu memiliki pola pembinaan yang terstruktur dan berimbang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Gerakan pramuka sebagai suatu gerakan yang telah terbukti dengan konsistensinya akan karakter bangsa akan dapat berhasil mencapai tujuan sebagaimana tercantum dalam UU No.12 tahun 2010 apabila peserta didik diberi kesempatan untuk mengikuti seluruh jenjang dalam pendidikan kepramukaan. Dari uraian di atas jelaslah sudah, jika Kegiatan pramuka apabila kita laksanakan dengan sungguh-sungguh maka Budaya dan Karakter Bangsa akan tetap terpelihara.

Referensi :

  • UU No.20 Th 2003
  • UU No 12 tahun 2010
  • buku bahan pelatihan Pengembangan Budaya dan karakter bangsa- badan penelitian dan pengembangan kurikulum,kemendiknas
  • Buku panduan KML

 

Judul Artikel :

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN  KARAKTER BANGSA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA

Iman Hadi Purwono, S.Pd SMP Negeri 1 Dukuhturi Kab Tegal

Nama Pengarang : Iman Hadi Purwono, S.Pd

Nomor Identitas, NIP, NIY : 19720805 200801 1 009

Institusi Kerja : SMP Negeri 1 Dukuhturi Kab Tegal

Email : langkapadane@gmail.com

Alamat Blog : www.blognyamapeltik.blogspot.com

Facebook : Pramuka Sturi

Kirimkan artikel anda disini.

BACA SELENGKAPNYA »

Minggu, 08 Januari 2012

Pendidikan Karakter dipertaruhkan dalam Kejujuran Ujian Nasional (UN)

Gema Pendidikan Karakter tersiar di seluruh pelosok negeri, sebentar lagi akan di pertaruhkan dalam kejujuran Ujian Nasional. Mungkin terlalu sempit atau bisa jadi dianggap sangat tidak  berdasar kalau kita katakan bahwa kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan Ujian Nasional menjadi indikator ketidak jujuran pendidikan kita. Namun, tidak salah, bila dijadikan sebagai salah satu indikator. Karena masih banyak unsur atau elemen lain yang bisa dijadikan indikator. Bila kita benar-benar jujur, maka kecurangan yang dilakukan oleh siswa,guru, kepala sekolah maupun para pengambil kibijakan pendidikan dengan manipulasi nilai Ujian Nasional tersebut, adalah sebuah bentuk bentuk ketidak jujuran tersebut. Sekolah sebagai salah satu basis atau learning center of honesty, selama ini sudah kehilangan makna kejujuran.

Banyak pihak tak setuju ada ujian nasional. Bukan karena takut ujian, melainkan mensinyalir pelaksanaan ujian nasional sering kali dinodai serangkaian ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu bisa berupa mencontek antarsiswa atau tindakan yang justru difasilitasi sekolah. Memang betul ujian nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan. Namun tanpa lulus ujian nasional, dijamin siswa tak lulus.

Mulai tahun 2003 Ujian Nasional diberlakukan, sering kita melihat atau mendengar adanya makelar jawaban, jual beli soal, pencurian soal. Dan tidak sedikit juga siswa yang bunuh diri, frustasi, serta dampak psikologis siswa/siswi yang tidak lulus Ujian Nasional. Selain itu, penyelenggaraan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan juga menjadi momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas 6 SD, kelas 9 SLTP maupun kelas 12 SLTA. Hal ini tidak hanya bagi siswa, pihak sekolah juga mengalaminya. Apalagi standar pendidikan kita yang belum merata, sehingga Ujian Nasional merugikan siswa dan pihak sekolah. Akibatnya pihak sekolah juga dapat berperan dalam kecurangan pendidikan itu.

 Sejak Ujian Nasional diberlakukan, banyak permasalahan yang terjadi. Semisal, Ujian Nasional yang mengerdilkan peran guru di sekolah karena dianggap tidak mampu memberikan kelulusan. Juga moral siswa, serta adanya anggapan yang meremehkan mata pelajaran yang tidak ikut diujiankan dalam Ujian Nasional, hingga kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat ujian. 

Ujian nasional adalah investasi yang mahal. Alur panjang mulai dari penyusunan soal, pencetakan soal, pendistribusian soal, penilaian sampai kepada supervisi memerlukan biaya besar. Di satu sisi Ujian Nasional juga telah bergeser fungsinya dari sekedar ujian untuk mengukur prestasi menjadi ujian untuk mengukur kejujuran. Baik untuk siswa, kepala sekolah, guru, orang tua dan dinas pendidikan.

Jujur adalah bibit unggul. Percuma baik tetapi tidak unggul. Ibarat padi, dia bisa dipanen dan dikonsumsi, tetapi kalau tidak unggul dia hanya mandeg sampai dikonsumsi saja.. Tetapi kalau unggul dia masih bisa dijadikan bibit lagi untuk menghasilkan butiran-butiran padi yang lain. Karenanya jangan gadaikan Ujian Nasional dengan sikap tidak jujur. Nilai kejujuran bisa dinilai dari pemahaman pada setiap diri yang tersangkut dalam Ujian Nasional. Apakah pendidik sudah mengajar dengan baik? Apakah bahan yang diajarkan telah memenuhi standar dan berkualitas? Apakah sarana dan prasarana sekolah telah dimanfaatkan dengan maksimal? Apakah siswa telah belajar dengan sungguh-sungguh, memahami materi dan mampu mengerjakan soal dengan baik?

Jika semua pihak bisa introspeksi diri dengan usaha yang telah dilakukan maka itulah takaran yang sesungguhnya. Hasil Ujian Nasional yang dicapai menunjukkan sejauh mana pihak yang terkait telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara benar. Kini Ujian Nasional bisa dijadikan tolok ukur kejujuran suatu bangsa. Bangsa yang jujur akan menghasilkan masyarakat yang jujur. Masyarakat yang jujur akan menghasilkan pemimpin yang jujur yang tentu dipilih oleh rakyat yang jujur.

Ujian Nasional tahun ini tinggal menghitung bulan atau hari, hampir setiap sekolah memadatkan pembelajaran atau memberikan les pada siswa jauh sebelum pelaksanan ujian nasional. Itu sebagai persiapan agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian nasional.

Kemudian, menjelang ujian nasional, beberapa sekolah "menginfus" siswa dengan mengadakan doa dan tahajud bersama. Langkah itu untuk menambah dorongan spiritual dan ketenangan ketika mereka mengerjakan soal ujian.

Ternyata di lapangan, banyak sekolah kurang mantap dengan hanya melakukan dua hal itu. Maka mereka membuat tim (Tim sukses Ujian Nasional) untuk mendukung kelulusan berdasarkan nilai minimal. Tim itu berupaya agar setiap siswa peserta ujian mendapatkan nilai minimal 5,5 untuk setiap pelajaran. Jika target itu tercapai berarti kerja tim dianggap sukses.

Tahun kemarin kita di kagetkan berita mengenai aduan “menyontek massal” yang dilakukan suatu sekolah saat Ujian Nasional berlangsung.Dan tahun sebelumnya di Medan, Komunitas Air Mata Guru (KAMG) menemukan bahwa sebelum ujian negara (ujian nasional) dilakukan, naskah soal sudah beredar di mana-mana. Dengan kata lain, terjadi kecurangan dengan membocorkan naskah soal Ujian Nasional. 

Keberanian Alif dan Siami, ibu kandung Alif, melaporkan adanya menyontek massal tersebut justru berujung petaka. Siami dicerca dan diusir masyarakat dari rumahnya, hingga harus mengasingkan diri. Masyarakat dan pihak sekolah tidak terima atas adanya aduan tersebut karena bisa merusak nama baik sekolah dan sekaligus bisa membuat Ujian Nasional di sekolah tersebut harus diulang.

Pemerintah bertindak cepat dengan memeriksa dugaan tersebut, dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti ada tindakan menyontek massal. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan tidak ada peristiwa mencontek massal di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. Bapak Muhammad Nuh memiliki sejumlah bukti  tidak ada insiden atau mobilisasi pencontekan massal dalam Ujian Nasional yang digelar 10 – 12 Mei 2011.Silahkan baca VivaNews untuk mengingat kembali peristiwa diatas, klik disini .
Sayang sekali kita lebih suka menjadi bangsa yang tidak jujur atas kondisi diri sendiri. Kita tidak mau jujur bahwa masih banyak persoalan terkait Ujian Nasional yang diseragamkan untuk seluruh sekolah di Indonesia, sementara kualitas pendidikan di setiap daerah berbeda-beda. Bagaimana menyamakan pendidikan di Jakarta dengan Papua ? Kita ingin semua kualitasnya sama, namun kita tidak memiliki kesungguhan untuk membuat semua sekolah di Indonesia setara kualitasnya. Jelas sekali, sangat kasat mata, perbedaan kualitas pendidikan di Jakarta dengan Papua, sebagai contoh yang sangat ekstrem.

Saat ini, kejujuran sangat sulit ditemukan. Baik di kalangan pemerintah, maupun lingkungan sekolah (pendidikan). Ketidakjujuran sering dipertontonkan kepada publik, seperti pemerintah yang korupsi dan tidak jujur dalam menjalankan tugasnya. Di lingkungan pendidikan ketidakjujuran  juga sering kita temui. Sepertinya nilai kejujuran dalam dunia pendidikan masih menjadi sesuatu yang amat mahal. Kejujuran mudah dikatakan, tetapi sangat sulit diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat bahwa siswa merupakan calon agen pembaharu (agent of change) yang akan berperan membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri ini, hendaknya makna pendidikan jangan menyempit, hanya dinilai dengan angka. Namun pendidikan  penting melihat aspek secara keseluruhan. Karena kejujuran dalam bertindak sangatlah diperlukan. Terlebih lagi kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Karena kejujuran yang didapatkan oleh generasi bangsa ini sangat mempengaruhi kondisi bangsa ke depan. Inilah sebenarnya penerapan pendidikan yang berkarakter itu.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari tujuan pendidikan tersebut, kita hendaknya menyadari betul bahwa kejujuran merupakan salah satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian sangat dibutuhkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka membangun bangsa. Pendidikan seharusnya menyemai benih kejujuran bukan menyemai benih kemunafikan, kecurangan, dengan cara instant yaitu melalui Ujian Nasional. Sebab pendidikan seharusnya membangun fondasi moral bangsa.

Kalau dalam Ujian Nasional terdapat kebohongan hal itu justru akan menjadi boomerang. Kualitas pendidikan dan lulusan akan menjadi taruhan. Karena hasil itu adalah semu dan rekayasa, inilah hasil Pendidikan Karakter yang di tanamkan disekolah akan dipertaruhkan dalam Kejujuran Ujian Nasional mendatang.

Akhirnya, jangan kotori Ujian Nasional dengan sikap tidak jujur. Jangan nodai pendidikan Indonesia dengan sikap tidak jujur. Kejujuran Ujian nasional adalah investasi yang mahal untuk mencetak generasi bangsa yang bermartabat. Sedikit saja dimasuki “kotoran” maka kualitasnya akan tercemar. Kejujuran perlu dijaga kemurnian dan dilestarikan selamanya terutama dalam Ujian Nasional.  Bagaimana mau memberantas korupsi kalau kecurangan di awali dari masa pendidikan di Sekolah. Mari para pendidikan, teman teman guru, kita meneladani Sosok Rasulullah Muhammad SAW sebagai Guru Peradaban Dunia dalam menyikapi Ujian Nasional mendatang.

Sumber :
Suara Merdeka
Viva News
medan bisnis daily
cahyadi-takariawan.web.id
Dunia Esai

BACA SELENGKAPNYA »

Senin, 10 Oktober 2011

Pendidikan Karakter Bangsa

Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.


Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya di berbagai media massa, seminar, dan sarasehan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada awal tahun 2010 menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional.

silahkan download selengkapnya di Pendidikan Karkater
BACA SELENGKAPNYA »

Artikel Favorit