Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan implementasi adanya UU Guru dan Dosen Nomor 14/2005, PP Standar Nasional Pendidikan Nomor 19/2005, serta PP Guru Nomor 74/2008. Implementasi tersebut telah berimplikasi pada penghapusan pendidikan program Akta IV yang telah berjalan kurang lebih selama dua dasa warsa dalam memecahkan persoalan pemenuhan kebutuhan guru dan menghasilkan banyak guru yang berkualitas.
Tujuan umum pemerintah melalui program PPG adalah untuk menghasilkan guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan tersebut tidaklah berbeda dengan tujuan yang diinginkan oleh kampus-kampus keguruan seperti IKIP PGRI, UNY, UNNES, UNJ dan kampus keguruan lain. Pun dengan tujuan khusus yang akan dicapai adalah sama, yaitu mencetak guru profesional yang memiliki kompetensi dalam: (a) merencanakan, melaksanakn dan menilai pembelajaran; (b) menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan bimbingan, dan pelatihan peserta didik; serta (c) mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesia secara berkelanjutan.
Tujuan tersebut tidaklah berbeda dengan tujuan yang diinginkan oleh kampus-kampus keguruan seperti IKIP PGRI, UNY, UNNES, UNJ dan kampus keguruan lain. Pun dengan tujuan khusus yang akan dicapai adalah sama, yaitu mencetak guru profesional yang memiliki kompetensi dalam: (a) merencanakan, melaksanakn dan menilai pembelajaran; (b) menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan bimbingan, dan pelatihan peserta didik; serta (c) mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesia secara berkelanjutan.
Dengan tujuan umum bahkan tujuan khusus yang sama, penulis memandang kebijakan tersebut adalah sebuah kemubadziran. Fenomena pelaksanaan PPG tersebut berdampak pada tergesernya makna penting guru ideal dan profesional sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh perguruan tinggi keguruan. Sudharto selaku pembina di IKIP PGRI Semarang berpendapat bahwa dampak implementasi kebijakan PPG tidak hanya “menggeser” makna guru profesional namun membuat sebuah universitas keguruan “tidak mampu menghargai produk sendiri”. Hal tersebut justru akan menurunkan kredibilitas universitas keguruan di mata masyarakat.
Kampus-kampus keguruan sudah berupaya untuk mencetak guru dengan kopetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional sebagaimana UU Nomor 14/2005 melalui kurikulum yang selama ini sudah diterapkan. Jika pemerintah menilai produk kampus keguruan selama ini tidak profesional, maka kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah melalui pembenahan kurikulum serta praktik pembelajaran di kampus keguruan dan bukan membuat wacana baru berupa PPG. Jika tujuan dari PPG adalah untuk “meningkatkan” kompetensi guru, maka jalan yang sebaiknya ditempuh adalah guru mengikuti pelatihan-pelatihan tertentu atau dapat juga dengan menempuh pendidikan lebih lanjut, yaitu jenjang magister pendidikan (S2) di bidang kependidikan. Bukan lantas membuat kebijakan baru berupa PPG.
Kebijakan ini sangat merugikan para mahasiswa S1/D IV program kegurun, karena untuk menjadi guru mereka harus (wajib) mengikuti PPG sebagaimana yang tercantum dalam dasar hukum PPG tersebut. Padahal mereka sudah mengorbankan waktu, tenaga, fikiran serta biaya yang tak sedikit sebagai mahasiswa S1/ D IV di kampus keguruan.
Lulusan PPG adalah mereka yang nantinya akan memiliki sertifikat profesional secara langsung. Untuk itu dapat dikatakan bahwa PPG adalah jalan pintas untuk mendapatkan sertifikat profesional tersebut. Namun, apakah bisa menjamin jika lulusan PPG ini adalah produk profesional sebagaimana yang diharapkan. Jangan-jangan dengan tujuan umum dan tujuan khusus PPG sebagaimana telah disebutkan, hasil yang diperoleh sama dengan lulusan S1/DIV program kependidikan.
Dalam teori ilmu kebijakan pendidikan disebutkan bahwa kebijakan ideal adalah kebijakan yang mampu mengatasi masalah dan bukan kebijakan yang menimbulkan masalah baru. Menurut hemat penulis, sebuah kemubadziran kebijakan dalam hal ini adalah kebijakan praktik PPG merupakan masalah baru sebagai implikasi dari kebijakan tidak ideal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah paling tidak merenungkan kembali perundangan yang ada terutama PP Guru No 74/2008 untuk diamandemen.
Dan kami sangat berterimakasih, kepada anda yang telah meninggalkan komentarnya dibawah ini.
4 komentar:
InnaliLLahi...
Maaf saudara2... tak sengaja posting di sini.
(tadinya mau posting di blog SQL, eh ternyata malah kebacut masuk di sini)
Mungkin argumen ini sedikit kontroversial..
Skalian argumennya Anda sy tunggu ^^
menurut saya lulusan s1 kependidikan atau non kependidikan tapi bersertifikat PPG kalau mau jadi guru perlu dites lagi, kalau berpotensi jadi guru profesional terima saja, karena saat ini yang saya rasakan mencari guru masih sulit, terutama sekolah swasta di pedesaan
Terimakasih Pak Sayyid untuk pendapatnya. sedang menampung pendapat sebanyak-banyaknya baik dari kalangan guru maupun non guru. untuk selanjutnya semoga bermanfaat untuk kemajuan pendidikan meski "secuil"
Di kampsu saya semua mahasiswa wajib mengikuti pelatihan enterpreneur, katanya agar tidak melulu mau jadi pegawai di bidang yang ditekuni.
Kami diajari berbisnis dan tidak harus sesuai bidangnya, termasuk mahasiswa pendidikan.
*Seolah-olah mahasiswa diajak pesimis
Posting Komentar